Cerpen Nurul Aziza Putri Amin
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Suatu malam aku asik scrolling sosial media, tertegun mendapati sebuah video biasanya aku akan melewatkan pembahasan berat tapi kali ini, Aku berhenti bergerak menggeser layar. Sebuah video yang menampilkan seorang pria yang begitu bersahaja dengan sorot mata tajam dengan lantang membahas “pagar laut’ bambu-bambu berjejer sepanjang puluhan kilometer membentang membatasi nelayan mencari nafkah, sebagai mahasiswa ilmu kelautan ini sangat menarik.
Aku mengambil laptop mengetik kata kunci itu “Pagar Laut” membaca satu artikel membuatku cukup pesimis, apa yang pria ini perjuagkan tidak akan mudah ada banyak orang yang berkuasa yang akan membungkamnya . Aku beralih ke video lain-dan terkejut.
“Sepertinya aku kenal, dia…..” bisikku.
“Kak Damar!” Aku berteriak terlambat menutup mulut, sungguh itu kak Damar
“Ada apasih Zah, udah malam, kalo mau heboh besok pagi aja, sana tidur” gerutu Anggika, temanku membalikkan badan melanjutkan tidurnya.
Oh iya, Perkenalkan namaku Aziza, biasa disapa Zah atau Azah ….. mahasiswa semeseter dua, salah satu universitas di ibukota provinsi.
Aku mematikan laptop segera membaringkan badanku pikiran melayang membayangkan wajah kak Damar di video tadi, Damar Mubaraq Hemawan. Ketua bidang penalaran dan keilmuan himpunan jurusanku, yang paling vokal membela rakyat kecil, tapi mengapa di video pagar laut tadi dia berada di pihak yang bersebrangan.
Besok harinya aku yang sudah buru-buru datang ke kampus menghentikan langkahku mengambil napas, memandang ponsel, dosen baru saja memindahkan jadwal kuliah kami, belum selesai menaruh kembali ponsel ke saku aku melihat Kak Damar duduk santai di taman kampus.
“Azah sini” Dia memanggilku ramah, tersenyum memperlihatkan lesung pipinya.
Meski ragu aku menghampirinya. “Iya, Kak”
Dari dekat rambut ikalnya itu tampak kemerahan, wajahnya juga sedikit lebih gelap.
Aku duduk tepat di hadapannya sembari mengipas-ngipasi wajahku yang penuh peluh.
“Mau kemana?” tanya kak Damar.
“Ada kelas?” lanjutnya lagi.
“Ga ada, Kak”
“Terakhir baca buku apa?”Tanya Kak Damar langsung.
Aku sudah lama tidak membaca buku, jujur saja aku lupa. Aku terdiam Kak Damar masih sama ya, masih menyenangkan diajak ngobrol, masih peduli dengan semangat membacaku. Tapi, video itu, rasanya aku masih tidak bisa percaya.
“Zah?” Dia memecah lamunanku.
“Eh iya, Kak” Aku menjawab.
“Kak, maaf aku harus pergi” Aku tersenyum kemudian melangkah menjauh.
Di kejauhan pandanganku tetap ke arah dia, dia mengobrol dengan teman-temanya, tertawa, seperti tidak terjadi apa-apa. Kembali ku ambil ponselku memutar video kemarin, itu betulan Kak Damar dengan celana jeans favoritnya kemeja kotak, dan gelang khas miliknya, itu dia, tapi kenapa dia duduk di sana menjadi pihak yang kontra nelayan bukannya setiap aksi selalu dia yang paling depan menentang penindasan. Kenapa dia berubah?
Kasus pagar laut ini tidak membuat kita cukup bodoh untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi kan, perusahaan yang punya kekuatan itu cukup mudah untuk mengambil alih pantai itu entah bagaimana caranya mungkin menego pemerintahan saat itu, pemerintah sudah seringkali membuat masyarakat kecewa dengan kebijakannya, siapa yang memberi izin jika bukan mereka dan sejak kapan laut bangsa ini menjadi kepemilikan seseorang atau sebuah perusahaan?
Aku masih memandang orang itu, apa yang terjadi dengannya, dia yang selalu berdiri memecah riuh meneriakkan keadilan untuk semua, tapi lihatlah dia sekarang, santai sekali menyilangkan kakinya membaca buku, seperti lupa atas apa yang dilakukannya beberapa hari lalu, itu tentu saja bukan dia, ingin sekali bertanya padanya tapi aku merasa canggung jika harus memulai obrolan dengannya meskipun dia kakak tingkat yang cukup akrab.
Keesokan harinya di kelas aku membuka laptop kembali melihat berita terbaru tentang pagar laut itu ternyata presiden sudah bergerak. Tentara Angkatan Laut bersama nelayan mencabuti bambu-bambu dari laut, perjuangan mereka tidak sia-sia, tapi aku segera menutup laptop karena kakak himpunan segera masuk ke kelas kami ada program literasi intesif dengan kak Damar sebagai pemantik namun yang masuk justru bukan kak Damar, tapi Kak Afgan sebagai staf bidang penalaran dan keilmuan.
“Selamat Siang teman-teman…untuk hari ini kelas progresif ditunda dulu ya, kak Damar lagi ada urusan,” ucap Kak Afgan.
Aku termenung ada urusan apa ya….aku segera membuka Instagram melihat akun Kak Damar, nihil. Kak Damar bukan sosok yang suka membuat update di Instragram. Arghh. Semenjak melihatnya di video tentag pagar laut itu aku selalu penasaran tentangnya. Mungkin urusannya berkaitan dengan pagar laut yang sudah memiliki penyelesaian itu, tapi syukurlah jika sudah selesai.
Sepulang dari kampus aku menunggu di halte kampus, mengambil buku dari dalam tas mencoba mengalihkan pikiranku dengan membaca, karena terlalu berat buku itu terjatuh dari tanganku, aku menunduk mengambilnya tapi tangan seseorang lebih dulu meraih buku itu,
Gelang itu,
aku segera mendongak “Kak Damar?”
“Kenapa kaget, ” tanya Kak Damar memberikan buku itu dan duduk di sampingku, wajahnya tampak gusar, rambut ikalnya semakin acak-acakan.
Aku merasa kikuk harus melakukan apa, sepertinya melanjutkan membaca kesannya kurang sopan, tapi mengajakknya bicara juga membuatku sangat bingung.
“Ada Air, Dek’ tanya kak Damar.
Aku membuka tasku mengambil sebotol air, memberikannya kepada Kak Damar, dia tersenyum, mengambil dan menengukknya, lalu memberikanku lagi botol itu bilang terima kasih.
Belum sempat aku memberanikan diri membuka obrolan ponsel Kak Damar berdering mengambil dari sakunya menatap ponsel itu lama sebelum menjauh dan mengangkatnya.
Beberapa menit Ia kembali dengan wajah yang lebih kusut sebelum pergi aku memberikan botol airku entah kenapa aku melakukan itu.
Kasus pagar laut sudah menemukan titik terang tapi kenapa wajahnya kak Damar justru terlihat cemas.
“Duluan ya, Dek”
“Tunggu, Kak”Aku menelan ludah, kali ini aku memberanikan diri.
Kak Damar berhenti
“Aku ngerasa ada yang beda dengan kakak akhir-akhir ini, aku gak mau ikut campur tapi ini aneh,” ucapku dengan gugup.
Dia hanya memandangku sebentar.
“Ayok” hanya kata itu yang keluar dari mulut Kak Damar, memintaku mengikuti langkahnya
Kami menyebrang ke arah rumah sakit, aku tertengun sebentar kenapa rumah sakit. Aku terus mengikutinya hingga kami sampai ke sebuah ruangan, Di dalam seorang bapak terbaring dengan selang infus, aku mengenalinya.
Kenapa Kak Damar membawaku kemari, aku mencoba mencerna ini semua, arghh.
“Itu…..bapak yang di video?”
Kak Damar mengangguk “Itu Ayahku, Dek”
Mataku membelalak.
“Ayahku menderita gagal ginjal kronis, dua kali seminggu harus cuci darah, Ironi memang ketika seorang ayah berjuang paling depan untuk memperjuangkan hak masyarakat banyak, namun di sisi lain ada seorang anak yang akan melakukan apa saja untuk memperjuangkan hidup satu-satunya keluarga yang dia punya sekarang,” jelas kak Damar
Aku menatap Kak Damar lama. Aku mengerti sekarang.
Tapi, apa yang bisa kulakukan?