Cerpen Nurul Indah S.
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ombak bergulung-gulung di kejauhan, pecah menjadi buih putih sebelum menjalar lembut ke bibir pantai. Adrian berdiri di tepi perahu ayahnya, matanya yang sehitam arang menatap jauh ke arah cakrawala. Di batas laut yang kini dihiasi pagar-pagar besi tegak, jantungnya berdesir—ada sesuatu yang mengusik batinnya.
Sejak kecil, laut adalah dunianya. Ayahnya, Pak Hasan, seorang nelayan yang hidup dari tangkapan ikan yang dihamparkan lautan. Bagi Adrian, laut bukan hanya sekadar tempat mencari nafkah, tapi juga rumah kedua, tempat ia belajar membaca angin, memahami arus, bahkan mendengar bisikan riak gelombang yang seolah memiliki bahasa rahasia sendiri.
Namun kini, lautnya berubah. Beberapa bulan lalu, proyek pagar laut dimulai. Pemerintah beralasan bahwa ini demi melindungi pesisir dari abrasi dan menjaga ekosistem laut. Tapi bagi nelayan seperti Pak Hasan, pagar itu adalah belenggu. Jaring tak bisa dilempar sembarangan, arus berubah, dan ikan-ikan tak lagi mudah didapat.
“Laut ini dulu milik kita, Nak,” suara Pak Hasan parau, tangannya mengeratkan genggaman pada dayung. “Sekarang, kita seperti tamu di rumah sendiri.” Adrian terdiam. Ia ingat bagaimana dulu perahu-perahu nelayan memenuhi pantai, anak-anak kecil berlari-lari di pasir, dan para ibu tersenyum lebar menyambut suami mereka yang kembali dari laut dengan ember penuh ikan segar. Tapi kini, pantai terasa lengang. Beberapa perahu sudah tak lagi melaut, pemiliknya memilih pergi ke kota mencari pekerjaan lain.
Adrian menarik napas panjang, dadanya terasa sesak. Ia tidak mengerti sepenuhnya apakah pagar laut ini berkah atau kutukan. Guru di sekolah bilang ini proyek besar yang akan menyelamatkan masa depan pesisir. Tapi di rumah, ayahnya hanya semakin sering pulang dengan jaring kosong dan wajah muram.
Malam itu, saat langit diselimuti bintang, Adrian duduk di beranda rumah panggungnya, menatap laut yang bergemuruh pelan di bawah sinar rembulan. Angin membawa aroma garam yang khas, namun ada sesuatu yang berbeda—bau besi, bau perubahan yang memaksa datang tanpa permisi.
“Aku ingin tahu,” gumamnya lirih.
***
Esok paginya, dengan semangat menyala di dadanya, Adrian menyusup keluar sebelum fajar. Ia mengayuh perahu kecilnya mendekati pagar laut yang menjulang di kejauhan. Pagar itu kokoh, seakan menantang gelombang yang tak henti menerjangnya. Dengan hati-hati, ia menyentuh besi dingin itu. Ia melihat ada beberapa ikan kecil berenang di antara celahnya, tapi di kejauhan, perairan yang dulu kaya kini tampak hening, sepi.
Suara mesin kapal mendekat. Adrian buru-buru bersembunyi di balik perahu. Ia melihat beberapa orang berseragam turun dari kapal patroli, memeriksa pagar dan mencatat sesuatu di papan tulis elektronik mereka.
“Ekosistem di area ini mulai stabil,” ujar salah satu dari mereka.
“Tapi populasi ikan di luar pagar masih berkurang. Nelayan lokal protes terus.”
Adrian mengernyit.
“Tetap saja, ini proyek jangka panjang. Mereka harus beradaptasi,” kata petugas lain.
“Lagi pula, ini bukan hanya soal nelayan. Ini tentang masa depan garis pantai.”
Adrian menggigit bibirnya. Ada dua sisi yang bertarung di benaknya. Ia paham pentingnya melindungi laut, tapi bagaimana dengan mereka yang hidup dari hasil tangkapannya? Haruskah perubahan selalu berarti pengorbanan?
Setelah petugas pergi, Adrian mendayung pulang, pikirannya penuh dengan pertanyaan.
Beberapa hari kemudian, di balai desa, diadakan pertemuan antara pemerintah, akademisi, dan para nelayan. Pak Hasan datang, wajahnya tegang. Adrian ikut duduk di sudut ruangan, mendengarkan dengan saksama.
“Kami tak menolak perubahan,” suara Pak Hasan lantang. “Tapi kami butuh solusi, bukan sekadar pagar!” Seorang ahli lingkungan angkat bicara. “Kami mengerti keresahan kalian. Tapi pagar laut ini juga membantu menumbuhkan kembali terumbu karang yang rusak.”
“Tapi kalau kami tak bisa menangkap ikan, bagaimana kami hidup?” sergah seorang nelayan lain. Suasana semakin panas. Adrian merasa semua orang berbicara, tapi tak ada yang benar-benar mendengar.
Tiba-tiba, ide terlintas di kepalanya. Ia berdiri, suaranya bergetar tapi mantap.
“Bagaimana kalau kita bekerja sama?” Semua mata tertuju padanya. Adrian melanjutkan, “Jika pagar ini memang untuk kebaikan laut, lalu mengapa tidak ada tempat bagi nelayan di dalamnya? Kita bisa buat jalur khusus, atau tambak ramah lingkungan. Bukan sekadar memisahkan manusia dari laut, tapi menjadikannya bagian dari solusi.”
Ruangan hening sejenak. Beberapa orang mulai saling berpandangan, mencerna gagasan itu. Seorang akademisi mengangguk. “Itu mungkin… Jika ada penelitian lebih lanjut.”
Para nelayan bergumam, sebagian tampak ragu, tapi ada cahaya harapan di mata mereka.
Malam itu, Adrian kembali duduk di beranda rumahnya, memandang laut. Pagar itu masih berdiri tegak di kejauhan, tapi kali ini, ia melihatnya bukan hanya sebagai batas, melainkan juga sebagai awal.
Perubahan memang tak bisa dihindari. Tapi seperti laut yang selalu menemukan arusnya sendiri, manusia juga harus belajar menyesuaikan diri—tanpa kehilangan jati diri.
Beberapa hari setelah pertemuan di balai desa, diskusi tentang pagar laut masih terus bergulir. Adrian melihat ayahnya dan para nelayan lain berbincang lebih sering dari biasanya, mencoba mencari titik temu antara kehidupan mereka dan proyek pemerintah. Namun, di sisi lain, tak sedikit yang sudah kehilangan harapan, memilih pasrah pada keadaan.
Suatu sore, Adrian duduk di tepi pantai, memperhatikan air laut yang perlahan naik mengikuti pasang. Ia menggenggam segenggam pasir, membiarkannya jatuh satu per satu di sela-sela jarinya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan yang belum terjawab.
“Adrian,” suara Pak Hasan membuyarkan lamunannya.
Adrian menoleh. Ayahnya berjalan mendekat, wajahnya masih dihiasi kerutan kekhawatiran, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—semacam harapan kecil yang mulai tumbuh.
“Kau serius tentang gagasan itu?” tanya Pak Hasan.
Adrian mengangguk mantap. “Aku pikir itu satu-satunya cara agar kita tetap bisa melaut tanpa harus kehilangan laut itu sendiri.”
Pak Hasan menghela napas, menatap ke arah pagar laut yang berdiri kokoh di kejauhan. “Kalau begitu, kita harus bertindak. Bukan hanya menunggu keputusan dari mereka.”
***
Malam itu, Adrian dan beberapa nelayan berkumpul di rumah panggungnya. Mereka mendiskusikan berbagai cara agar bisa bekerja berdampingan dengan proyek pagar laut. Beberapa mengusulkan budidaya rumput laut, yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga bisa menjadi sumber penghasilan baru. Yang lain mengusulkan jalur perairan khusus bagi nelayan, agar mereka tetap bisa mencari ikan tanpa merusak ekosistem yang sedang dipulihkan.
“Kita harus membuktikan bahwa kita bisa menjaga laut ini juga,” ujar Adrian.
Dalam beberapa minggu berikutnya, mereka mulai bekerja. Beberapa nelayan mencoba sistem budidaya ikan di dekat pagar, sementara yang lain mulai menanam kembali mangrove di pesisir untuk mengurangi abrasi.
Suatu hari, sebuah kapal pemerintah kembali datang untuk mengecek pagar laut. Para petugas terkejut melihat apa yang telah dilakukan para nelayan. Mereka mencatat perkembangan itu, lalu berjanji akan membawa laporan ini ke pihak yang lebih tinggi.
Adrian tahu ini baru permulaan. Tapi kali ini, ia tak lagi hanya melihat pagar itu sebagai penghalang—melainkan sebagai jembatan menuju masa depan yang lebih mapan.