Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Nurul Nurjanah | Langit yang Tertup Ombak

Cerpen Nurul Nurjanah


 

(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di ujung kota yang terlupakan, di tepi laut yang tak pernah sepi, berdirilah sebuah kampus kecil yang menjadi tempat berkumpulnya sekumpulan mahasiswa dengan mimpi-mimpi yang tak pernah padam. Salah satunya adalah Zia, gadis sederhana dengan rambut panjang yang sering tergerai dihembus angin laut. Di matanya, ada sejuta pertanyaan yang belum terjawab, tentang masa depan, tentang cinta, dan tentang hidup itu sendiri. Zia selalu merasa berbeda. Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kebisuan. Orang tuanya sibuk, dan ia lebih banyak menghabiskan waktu di pantai, menggambar garis-garis di pasir yang kemudian terhapus oleh ombak. Suatu hari, ketika Zia mulai kuliah di jurusan Arsitektur, ia bertekad untuk tidak hanya merancang bangunan, tetapi juga merancang jalan hidup yang berbeda. Ia ingin menjadi sesuatu yang besar, sesuatu yang lebih dari sekadar nama yang dikenang. 


Namun, hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana. Di kampus, Zia bertemu dengan banyak orang, tetapi hanya sedikit yang benar-benar membuatnya merasa hidup. Citra, sahabat dekatnya, adalah satu dari sedikit orang itu. Citra adalah gadis ceria yang selalu dapat membuat Zia tertawa. Mereka seperti dua sisi dari mata uang yang sama, saling melengkapi dalam kesedihan maupun kebahagiaan.


Di kampus, ada juga Ayuna, teman sekelas Zia yang selalu menyendiri. Ayuna adalah sosok yang misterius dan sangat pintar. Meskipun ia sangat pendiam, ada sesuatu yang mengagumkan dalam dirinya—sebuah kekuatan yang sulit dipahami. Zia sering merasa canggung berdekatan dengan Ayuna, namun entah kenapa, ia merasa ada daya tarik yang sulit dihindari.


Sementara itu, Rumi, teman sekelompok mereka, selalu membawa semangat ke dalam setiap tugas yang mereka kerjakan. Rumi memiliki mimpi besar untuk menjadi seorang arsitek terkenal. Di mata Zia, Rumi adalah sosok yang tak kenal lelah, meski kadang ia merasa tertekan dengan tuntutan hidup.


Aldi dan Riza adalah dua mahasiswa yang sering berdebat dengan Zia, namun dalam setiap pertengkaran itu, ada ikatan persahabatan yang tak terlihat. Mereka selalu mengkritik Zia dengan keras, tetapi juga memberi dukungan yang tak terduga saat ia merasa jatuh.


Reza, seorang pemuda dengan senyum menawan, adalah orang yang membuat Zia merasa ada sesuatu yang lebih. Sejak pertama kali mereka bertemu di sebuah seminar tentang arsitektur, Zia merasa ada ketertarikan yang kuat. Reza selalu memberikan perhatian lebih kepada Zia, membuatnya merasa istimewa, meskipun ia tahu bahwa di balik senyum Reza, ada sebuah rahasia yang tak ingin diungkapkan.


Briyan, seorang mahasiswa senior, adalah sosok yang penuh karisma dan selalu bisa memotivasi orang-orang di sekitarnya. Namun, di balik itu semua, Briyan memiliki beban hidup yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Meskipun ia sering terlihat kuat, ia memiliki rahasia kelam yang membuatnya sering berperang dengan dirinya sendiri.


Kisah ini dimulai pada suatu malam yang gelap, ketika Zia dan teman-temannya duduk di tepi laut, memandangi ombak yang datang dan pergi. Mereka sedang merayakan keberhasilan mereka dalam menyelesaikan sebuah proyek besar yang menguji kemampuan mereka. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada sebuah rasa cemas yang terus menggerogoti hati Zia. Sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapapun.


"Zia, kenapa kamu diam saja?" tanya Citra, yang duduk di sampingnya.


Zia menghela napas panjang. "Aku merasa seperti sedang berdiri di depan sebuah pagar laut yang besar. Tidak tahu apa yang ada di seberangnya, tapi aku tahu aku harus melangkah melewatinya."


Citra menatap Zia dengan bingung. "Apa maksudmu?"


"Kadang aku merasa seperti aku terjebak dalam kebingunganku sendiri," jawab Zia, sambil menatap jauh ke laut. "Aku ingin menjadi sesuatu yang lebih, tetapi aku tidak tahu caranya. Aku merasa seperti aku sedang membangun pagar yang menghalangi diriku sendiri."


Ayuna yang duduk di sebelah Zia, mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya. "Mungkin, kita semua sedang membangun pagar itu. Pagar yang membatasi kita untuk meraih apa yang kita inginkan."


Zia tersenyum lemah. "Tapi bagaimana kita bisa melewati pagar itu?"


Rumi, yang sejak tadi mendengarkan dengan seksama, akhirnya ikut berbicara. "Dengan berani melangkah ke depan, meskipun kita tidak tahu apa yang menunggu. Itu yang membuat kita tumbuh. Kadang, kita harus melewati rasa takut untuk bisa meraih apa yang kita impikan." Pernyataan Rumi itu seperti membuka sebuah pintu dalam diri Zia. Ia mulai berpikir bahwa mungkin selama ini, ia terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, terlalu takut untuk jatuh, dan terlalu takut untuk meraih impian-impian besar yang ada dalam hatinya. 


Namun, perasaan Zia mulai berubah ketika Reza datang mendekat. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Zia?" tanyanya dengan nada lembut. Zia terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Aku merasa seperti ada sesuatu yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh. Mungkin aku takut gagal, takut mengecewakan orang-orang di sekitarku."


Reza menatap Zia dengan tatapan yang penuh arti. "Kamu tidak akan tahu apakah kamu akan berhasil atau gagal jika kamu tidak mencoba. Jangan biarkan ketakutan itu menghalangimu. Kita semua memiliki perjalanan yang berbeda, dan kamu tidak perlu melewatinya sendirian."


Kata-kata Reza itu seperti sebuah dorongan yang Zia butuhkan. Ia merasa ada kekuatan yang mengalir melalui dirinya, kekuatan untuk melawan rasa takutnya dan berani menghadapi tantangan yang ada di depan. Namun, hal ini justru membawa Zia pada sebuah konflik batin yang lebih besar. Zia mulai merasakan ketertarikan yang semakin kuat pada Reza, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa hubungan itu mungkin hanya akan mengganggu fokusnya pada kuliah. Dalam perjalanan perkuliahannya, Zia sudah cukup terbebani dengan tugas dan ujian yang menuntut konsentrasi penuh. Ia tidak ingin membiarkan perasaan itu merusak persahabatannya dengan Citra, Ayuna, dan yang lainnya.


Namun, semakin Zia berusaha menahan perasaan itu, semakin kuat perasaan itu tumbuh. Reza selalu hadir di setiap kesempatan, selalu mendukungnya, dan membuat Zia merasa dihargai. Meski begitu, Zia juga tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa ia harus menghadapi perjuangan besar dalam hidupnya.


Di saat yang sama, konflik cinta di antara teman-temannya mulai muncul. Aldi yang selalu menggoda Citra ternyata menyimpan perasaan yang lebih dalam, tetapi Citra tidak merasakannya. Sementara itu, Ayuna yang selalu terlihat misterius mulai terlibat dalam hubungan yang rumit dengan Briyan, yang menyembunyikan rasa sakitnya dari orang lain. Semua itu membuat Zia merasa semakin cemas tentang pertemanan mereka. Namun, dalam perjuangannya, Zia menemukan sesuatu yang sangat penting. Ia menyadari bahwa hidup ini tidak selalu harus berjalan dengan lancar, dan perasaan cinta serta persahabatan adalah bagian dari perjalanan yang harus dihadapi dengan keberanian. Seperti pagar laut yang terlihat tak terjangkau, tetapi pada akhirnya, dengan setiap langkah yang kita ambil, kita bisa menembusnya.


Pada akhirnya, Zia memutuskan untuk melangkah maju, untuk mengejar impiannya, dan untuk tidak lagi terhalang oleh ketakutan. Ia tahu bahwa jalan yang ia tempuh akan penuh dengan tantangan, namun dengan teman-teman di sekitarnya dan cinta yang tulus, ia akan mampu menghadapinya. Seperti ombak yang terus datang dan pergi, kehidupan akan selalu bergerak, dan Zia tahu bahwa ia siap untuk menghadapinya.


Dan begitu, Zia akhirnya belajar bahwa pagar laut yang selama ini ia bangun dalam dirinya hanyalah sebuah ilusi. Yang penting adalah melangkah ke depan, dengan hati yang penuh keberanian dan harapan.Zia memulai semester baru dengan semangat yang berbeda. Meski masih terasa kekosongan dalam hatinya, terutama dengan perasaan yang tumbuh terhadap Reza, ia berusaha untuk tetap fokus pada tujuannya. Ia ingin membuktikan kepada dirinya sendiri bahwa ia bisa sukses tanpa bergantung pada siapa pun. Setiap hari, ia duduk di bangku kuliah, mendengarkan dosen dengan penuh perhatian, dan menyelesaikan setiap tugas yang diberikan dengan penuh dedikasi.


Namun, semakin Zia berusaha menjaga jarak dari perasaan itu, semakin sulit rasanya untuk mengabaikan Reza. Setiap kali mereka bertemu, ada kilauan mata yang penuh harapan dari Reza, yang seakan mengingatkannya bahwa ia bukan satu-satunya yang merasakan ini. Meskipun Zia berusaha menjaga jarak, ada kalanya perasaan itu memuncak, membuat hatinya berdebar setiap kali Reza tersenyum padanya.


"Langit yang Tertutup Ombak"Namun, bukan hanya cinta yang menjadi sumber kebingungan Zia. Di sisi lain, persahabatannya dengan Citra, Ayuna, dan yang lainnya juga mulai terlihat renggang. Mereka yang dulu selalu bersama, kini terlihat semakin terpisah oleh masalah mereka masing-masing. Citra merasa tertekan dengan perasaan yang tidak terbalas dari Aldi. Ayuna, yang tampaknya selalu tenang, mulai terbuka tentang pergumulannya dengan Briyan, yang menyimpan banyak luka lama yang belum sembuh. Sementara itu, Rumi, yang sebelumnya penuh semangat, kini terlihat lelah dan terhimpit oleh ambisinya yang besar.


Zia merasa seperti ia sedang berjalan di atas tali yang sangat tipis, takut jatuh kapan saja. Ketegangan antara mereka semakin terasa setiap kali mereka bertemu. Citra mulai merasa kesepian, dan Ayuna seolah menarik diri lebih jauh. Bahkan Aldi dan Riza yang selalu berdebat dengannya mulai terlihat tidak peduli. "Zia, kenapa kamu tidak pernah bicara dengan kami lagi?" tanya Citra suatu sore, ketika mereka sedang duduk bersama di kantin kampus.


Zia menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Aku tidak tahu, Citra. Aku merasa seperti kita semua sedang berjuang dengan masalah kita sendiri-sendiri. Aku tidak tahu bagaimana cara membantu kalian." Citra menghela napas panjang. "Kita semua sedang mencoba bertahan, Zia. Tapi jangan biarkan dirimu terperangkap dalam duniamu sendiri. Kami ada untukmu, seperti yang kamu selalu ada untuk kami."


Zia merasakan kehangatan dalam kata-kata Citra, tetapi juga rasa cemas yang semakin membesar. Ia tahu bahwa persahabatan mereka sedang diuji, dan ia tidak ingin kehilangan teman-temannya. Namun, perasaannya terhadap Reza semakin sulit untuk ditahan. Setiap kali ia melihat Reza bersama teman-teman lain, ada rasa sakit yang menggores hatinya, meskipun ia tahu bahwa perasaan itu mungkin tak pernah terbalas.


Di malam yang penuh bintang, Zia memutuskan untuk berbicara dengan Reza. Mereka berjalan di sepanjang pantai yang sudah menjadi tempat favorit mereka untuk berbicara tentang hidup, tentang impian, dan tentang segala hal yang ada di hati mereka. Zia tahu bahwa ini adalah momen penting—momen yang bisa mengubah segala sesuatu.


"Reza," kata Zia, suara sedikit bergetar, "Aku tahu aku tidak bisa terus menghindari perasaan ini. Tapi aku juga tidak ingin merusak persahabatan kita."


Reza menatapnya dengan tatapan yang begitu dalam, seolah sudah menunggu kata-kata ini keluar dari mulut Zia. "Zia, aku juga merasakannya. Tapi aku tidak ingin kita berdua terjebak dalam perasaan yang belum tentu bisa membawa kita ke arah yang baik." Zia terdiam, menelan kata-kata yang hampir tidak bisa keluar. "Tapi aku tidak tahu bagaimana lagi. Aku merasa terperangkap di antara cinta dan persahabatan, di antara perasaan yang ingin kuberikan dan yang tidak bisa kuberikan."


Reza mengangguk pelan. "Kadang, perasaan tidak selalu bisa dipaksakan, Zia. Kita tidak bisa memaksakan hati untuk memilih antara cinta atau persahabatan. Mungkin yang kita butuhkan adalah waktu untuk memahami apa yang benar-benar kita inginkan."


Zia merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu, tetapi di sisi lain, ia juga merasa lega. Mereka berdua menghabiskan waktu berjam-jam di pantai, berbicara tentang apa yang membuat mereka takut dan apa yang mereka impikan. Meski tidak ada janji pasti di antara mereka, Zia merasa bahwa mereka telah membuka sebuah pintu untuk kemungkinan yang lebih besar, mungkin bukan cinta, tapi persahabatan yang lebih dalam.


Namun, hidup tidak pernah semudah itu. Masalah semakin rumit ketika Briyan, yang selalu terlihat tegar, akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ia sembunyikan. Ia memberi tahu Zia bahwa ia merasa sangat terbebani dengan peran yang harus ia mainkan sebagai kakak yang kuat, sebagai teman yang selalu diandalkan. Sementara itu, Ayuna merasa terjebak dalam hubungan yang tak sehat dengan Briyan, namun tidak tahu bagaimana cara keluar.


Di tengah semua permasalahan itu, Zia merasa semakin sulit untuk menjaga keseimbangannya. Ia ingin membantu teman-temannya, tetapi ia juga tahu bahwa dirinya sendiri masih terombang-ambing dalam perasaan dan perjuangan hidup. Suatu hari, Zia memutuskan untuk mengunjungi rumah Ayuna untuk berbicara lebih jauh.


"Ayuna, kamu tahu kan, aku selalu ada untukmu," kata Zia ketika mereka duduk berdua di teras rumah Ayuna. "Tapi, kamu juga harus tahu bahwa hidup ini tidak bisa selalu kita kontrol. Kadang kita harus membiarkan hal-hal itu berjalan dengan sendirinya." Ayuna menatap Zia dengan mata yang penuh haru. "Aku tahu, Zia. Tapi terkadang, aku merasa aku tidak tahu siapa diri aku lagi. Aku terlalu takut untuk menghadapi kenyataan, terutama dengan Briyan. Aku takut kehilangan dia, tapi aku juga takut terjebak dalam hubungan yang tidak sehat."


Zia meraih tangan Ayuna, mencoba memberikan kekuatan. "Kamu tidak sendiri, Ayuna. Kita semua pernah merasa seperti itu. Tapi kita harus berani melepaskan sesuatu yang tidak baik untuk kita. Kita harus berani menghadapi ketakutan kita." 


Hari-hari berlalu, dan setiap langkah yang Zia ambil semakin menunjukkan bahwa ia tidak bisa hanya berdiam diri. Ia harus berjuang untuk dirinya sendiri, untuk teman-temannya, dan untuk masa depannya. Ia tahu bahwa di sepanjang jalan ini, ada banyak rintangan yang akan datang, tetapi juga banyak pelajaran yang harus dipelajari. Pagar laut yang dulu terasa begitu menakutkan kini mulai terlihat lebih kecil. Dengan setiap langkah yang diambil, Zia merasa semakin dekat dengan kebebasan yang ia cari. Tidak lagi terhalang oleh ketakutan atau keraguan, ia mulai melihat bahwa segala sesuatu, baik itu cinta, persahabatan, atau impian, adalah bagian dari perjalanan yang harus dilalui dengan penuh keberanian.


Zia akhirnya memahami bahwa tidak ada yang bisa menghalangi seseorang yang memiliki tekad dan keberanian untuk melangkah. Pagar laut itu bukanlah penghalang yang tak terjamah, melainkan tantangan yang harus dihadapi dengan hati yang penuh cinta dan keberanian.