Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Oktafiana | Hope

Cerpen Oktafiana 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


“Bambu-bambu yang di pasang berjajar menyerupai pagar sepanjang puluhan kilometer itu seperti belati yang ditancapkan ke dasar laut. Merusak ribuan terumbu karang yang hanya duduk diam, hewan ‘cantik’ yang sering dianggap sebagai benda mati itu selalu menjadi korban.” Lagi-lagi Gurita yang umurnya paling tua itu berceloteh.


“Mereka manusia dan kita hanya segerombolan ikan yang tidak diberi akal dan fisik yang sempurna oleh Tuhan, jadi kita tidak punya kekuatan untuk melawan.” Sahut ikan Pari dengan wajah pasrah, bukannya tidak kasihan melihat teman-teman terumbu karangnya yang patah tapi nyatanya mereka memang tidak punya kekuatan untuk melawan.


“Maaf karena tidak terlalu kuat untuk melawan bambu-bambu itu.” Terumbu karang tertunduk lesu.


Tentu saja percakapan mereka tidak bisa didengar oleh manusia-manusia tamak di atas sana, tapi bukan berarti mereka tidak bisa bersuara. Ah, diantara sekian banyak ikan yang memberi tanggapan tentang pagar laut hanya Bintang yang diam dan tidak mengutamakan pendapat apapun.


Menyadari hal itu setelah semuanya bubar dan pulang ke rumah masing-masing, Kuda Laut mengikuti Bintang dan bertanya, “Mengapa kau hanya diam saja? Biasanya paling semangat menjelekkan manusia?”


“Apa? Kapan aku begitu?” Jawab Bintang Laut sembari menggosokkan perutnya ke bebatuan.


“Kau selalu begitu bahkan sering mengajak kawanan gurita untuk menyelinap ke kapal Nelayan dan menyemprotkan tinta.”


Bintang Laut menghela napas berat. “Hmm kurasa tidak semua manusia itu jahat.”


Kuda Laut mendorong Bintang Laut masuk kedalam rumahnya sebelum ada hewan lain yang mendengarnya. Wajahnya sudah bersungut-sungut. “Jadi? Apa maksudmu?”


“Bulan lalu aku pergi ke tepi pantai untuk melihat dunia manusia, kemudian tidak sengaja bertemu seorang anak laki-laki yang sedang membersihkan pantai dan bermain dengan segerombolan ikan, aku merasa takjub dan memutuskan mendekat.”


“Jadi?” Kuda Laut mengulang pertanyaannya lagi namun kali ini dengan nada suara yang meninggi.


Bintang Laut menjawab dengan takut-takut “Aku memutuskan untuk berteman dengannya, kami bertemu dan bermain bersama setiap hari.”


“Astaga.” Kuda Laut seperti tidak percaya apa yang baru saja didengarnya. 


“Semua terjadi begitu saja.”


“Apa dia mendengarmu bicara?”


“Tentu saja tidak.”


“Lalu apa hubungan anak itu dengan pagar laut yang baru-baru ini dipasang?” Kuda Laut bertanya dengan penuh selidik. 


“Bapaknya ikut andil sebagai tukang dalam pemasangan pagar laut itu, gerombolan ikan yang biasa datang menghampirinya tidak datang hari ini, kasihan sekali melihatnya bermain sendiri.” Jawab Bintang Laut seperti mengakui dosanya sendiri.


“Laut sudah mulai tercemar, kita bahkan tidak tahu berapa lama akan bertahan hidup disini, dan kau masih sibuk mengkhawatirkan anak manusia yang tidak penting itu?”


“Maaf.”


Begitu percakapan mereka berakhir, Bintang Laut hanya mengatakan kata lain, selain maaf. Sementara Kuda Laut memutuskan untuk tidak memberi tahu hal ini pada yang lain atau keadaannya akan semakin rumit.


Pagar laut sudah memperlihatkan dampaknya, arus laut berubah, banyak hewan laut mati karena ekosistem mereka rusak. Hasil tangkapan Nelayan juga berkurang kualitasnya. Entah apa yang ingin di lindungi orang-orang berduit itu hingga merusak laut milik Tuhan yang diciptakan untuk tempat hidup para ikan.


Beruntungnya Bintang Laut itu masih diberi umur panjang, kekhawatirannya terhadap anak itu berkurang sedikitpun, ia bahkan masih pergi diam-diam ke tepi pantai untuk sekedar melihat keadaan anak kecil itu. 


Sialnya kegiatan menyelinapnya itu diketahui oleh Kepiting. Dengan penuh amarah Kepiting segera melapor pada Gurita.


“Ada pengkhianat diantara kita.” Teriak Kepiting dengan lantang.


Kuda Laut seketika tersentak mendengar ucapan Kepiting, khawatir dosa yang diperbuat kawannya itu terbongkar. Dan benar saja, Bintang Laut bahkan tidak terlihat di kerumunan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Bintang Laut pasti sedang pergi ke tepi laut untuk menemui anak itu.


“Siapa pengkhianat yang kau maksud wahai Kepiting?” Tanya Gurita itu.


“Satu-satunya Bintang Laut yang tersisa di lautan ini. Ia diam-diam pergi ke tepi lautan untuk menemui anak manusia.”


Lantas semua yang ada disana terkejut dan terheran-heran. Untuk apa mahkluk bawah laut pergi menemui manusia diatas sana? 


“Biadab! Bagaimana bisa ia melakukan hal semacam itu?” Gurita terlihat murka mendengar hal itu.


“Bintang Laut bahkan tidak ada disini sekarang.” Beber sang Kepiting.


Suasana Lautan semakin riuh, banyak terumbu karang yang merasa terkhianati oleh kawannya sendiri.


“Kita harus dengar penjelasan Bintang Laut terlebih dahulu.” Mau tak mau Kuda Laut mengikuti nalurinya untuk membela Bintang Laut.


“Omong kosong! Ayo kita pergi ke tepian dan menyeretnya pulang, setelah itu beri dia pelajaran.” Lagi-lagi Kepiting memprovokasi semua yang ada disana.


Banyak dari mereka yang ikut pergi ke tepi laut untuk menjemput mahkluk merah muda itu, termasuk Kuda Laut, sahabatnya sendiri.


“Heh Bintang Laut, sedang apa kau disini?”


“Aku, aku, lalu apa yang kalian semua lakukan disini?” Tanyanya tergagap.”


“Tega kau masih menemui anak manusia itu dan mengabaikan nasihat kawanmu sendiri.” Ucap Kuda Laut dengan nada kecewa.


“Berani-beraninya kau menjadi pengkhianat lautan” Hardik Gurita.


“Jika kalian tidak ingin mendengarkan penjelasanku, setidaknya dengarkan percakapan mereka.” Pinta Bintang Laut dengan nada memohon.  


Kemudian mereka semua mendengarkan percakapan anak lelaki itu dengan kedua orang tuanya. 


“Karena Bapak memasang tongkat-tongkat bambu itu tidak ada lagi ikan yang datang menemuiku, aku bahkan tidak tahu bagaimana kabar mereka sekarang. Akan lebih baik jika mereka tidak datang karena marah denganku daripada mereka semua harus mari tertusuk tongkat bambu yang Bapak pasang itu.” Ucapnya panjang lebar.


Tentu saja mahkluk laut yang mendengar ucapan anak itu terkejut, ternyata masih ada manusia yang peduli dengan kabar ikan di bawah sana.


“Bapak ini orang kecil, tidak punya kuasa untuk menolak perintah dari orang yang punya kuasa. Kita bahkan hampir tidak punya uang untuk makan, lalu bagaimana cara Bapak menolak perintah?”


Anak itu menangis tersedu. Ia tersadar bahwa ia tak punya kekuatan apa-apa untuk melindungi lautan yang amat disayanginya itu. 


“Aku akan belajar dengan giat sampai bisa punya kuasa untuk memerintahkan orang-orang untuk mencabut tongkat bambu itu, aku akan jadi orang besar, Pak.” Ucapnya sambil menghapus air mata yang masih menggenang.


Semua yang mendengarnya tersentuh, mereka juga berkaca-kaca. Memang terdengar mustahil untuk menggantungkan harapan pada anak yang bahkan tak punya apa-apa, tapi mereka memilih untuk percaya pada harapan kecil itu. Meskipun butuh waktu dua puluh tahun, tapi mereka ingin lautan biru milik mereka kembali seperti sedia kala.


Akhirnya mereka semua pulang bersama dan mencoba untuk bertahan sekuat tenaga. Kuda Laut pun memeluk kawannya sambil menangis tersedu.


Semoga anak itu punya teman untuk berjuang bersama mewujudkan impiannya untuk melindungi lautan. Terdengar mustahil, tapi tidak ada salahnya untuk tetap berjuang dan berharap.