Cerpen Otniel Rychard
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Ketika senja tiba di kota-kota pesisir, selalu ada sensasi yang berbeda. Dengan riak ombak yang tenang, sinar jingga matahari memantul di permukaan laut. Desa kecil yang bergantung pada hasil lautnya terpisah dari lautan lepas oleh pagar laut yang kokoh di kejauhan. Bagi sebagian orang, pagar laut hanyalah penghalang ombak yang mengancam daratan, tetapi bagi Kirana, ada kisah yang tersembunyi di balik pagar itu.
Sejak kecil, Kirana adalah gadis nelayan yang terbiasa dengan suara ombak. Suatu malam, Pak Rasyid berkata, "Ada rahasia di balik pagar laut," sambil menatap lautan bergelora. Ayahnya selalu mengatakan bahwa pagar laut bukan hanya melindungi desa, tetapi juga membedakan dunia yang tampak dari dunia yang tersembunyi.
Sejak ibunya meninggal, Kirana lebih sering menghabiskan waktu di tepi laut. Meskipun angin berbisik di telinganya, dia tetap percaya bahwa laut adalah tempat terbaik untuk berbicara dengan ibunya. Suatu malam, saat bulan purnama menggantung di langit, Kirana mendengar sesuatu yang aneh. Suara lirih, nyaris seperti nyanyian, bergema dari arah pagar laut.
Darahnya mengalir. Meskipun hati kecilnya mengatakan lain, dia mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya suara ombak. Ia berjalan dengan hati-hati menuju pagar laut. Seorang lelaki tua yang dia tidak kenal berdiri di sana. Matanya seolah menyimpan ribuan cerita, dan rambutnya berwarna putih pasir.
"Kau tidak mendengarnya, kan?Suara lelaki tua itu lembut tetapi mendalam.
"Apa itu?" Kirana bertanya sambil mengangguk pelan. Apakah pagar laut ini memiliki penyimpanan?
Lelaki itu tersenyum, berkata, "Pagar ini bukan hanya pelindung fisik, tapi juga penjaga rahasia." Ombak menyimpan cerita tentang orang yang hilang di lautan dan masih mencari jalan pulang.
Hati Kirana bergetar. Ia teringat ibunya yang hilang saat badai besar melanda. "Apakah mereka bisa kembali?" tanyanya dengan suara gemetar.
Hari berlalu, dan Kirana semakin sering pergi ke pagar laut. Setiap malam, ia mendengar suara yang semakin kuat. Ombak membawa sesuatu ke kakinya. sebuah kalung, yang dia begitu kenal.
Saat dia mengambilnya, tangannya bergetar. Ibunya memiliki kalung itu.
Air matanya mengalir, bercampur dengan buih ombak. Seolah-olah ibunya ingin memberi tanda bahwa ia baik-baik saja. Kirana menatap laut yang berkilau dalam cahaya bulan. Untuk pertama kalinya, ia merasa tenang.
Tetapi pertanyaan hatinya belum terjawab. Apakah lirik itu benar-benar berasal dari orang yang hilang? Apakah ibunya termasuk di antara mereka? Rasa ingin tahunya meningkat seiring dengan kedalaman pikirannya.
Namun, pertanyaan dalam hatinya belum terjawab. Apakah nyanyian itu benar-benar berasal dari orang-orang yang hilang? Apakah ibunya adalah salah satu dari mereka? Semakin dalam ia merenungi, semakin besar rasa ingin tahunya.
Ia mulai melakukan riset tentang pagar laut. Ia bertanya kepada para nelayan tua, membaca catatan sejarah desa, dan menemukan bahwa pagar laut itu telah ada sejak ratusan tahun lalu. Konon, pagar itu bukan hanya dibangun untuk menahan ombak, tetapi juga untuk membatasi makhluk- makhluk yang tidak seharusnya melewati batas dunia manusia.
Suatu malam, Kirana memutuskan untuk mendekati lelaki tua itu lagi. Ia menemuinya di tepian pagar laut, kali ini dengan sebuah tekad yang lebih kuat.
“Bisakah aku mengetahui lebih banyak tentang mereka yang masih terperangkap di lautan?” tanyanya.
Lelaki tua itu menatapnya lama sebelum menjawab. “Hanya mereka yang benar-benar ingin mendengar yang akan diberikan jawabannya. Tapi, bersiaplah, karena kebenaran bisa saja lebih menyakitkan daripada ketidaktahuan.”
Kirana mengangguk. Ia sudah siap.
Malam itu, lelaki tua itu membawanya ke sebuah perahu kecil. Bersama ombak yang berkilau dalam cahaya rembulan, mereka mendayung melewati pagar laut. Kirana merasakan desiran angin yang berbeda. Lebih sejuk, lebih sunyi. Seolah-olah dunia yang mereka masuki bukan lagi dunia yang sama.
Kemudian, ia melihat sesuatu di kejauhan. Siluet samar orang-orang berdiri di atas air, bayangan mereka berpendar dalam cahaya biru yang aneh. Mereka tidak berbicara, tetapi suara nyanyian yang Kirana dengar selama ini semakin jelas. Suara itu datang dari mereka.
Ia ingin bertanya, tetapi bibirnya kelu. Pandangannya mencari-cari satu wajah yang paling dirindukannya.
Dan di antara mereka, ia melihatnya.
Sosok wanita berambut panjang, mengenakan kain putih yang melambai ditiup angin. Mata mereka bertemu, dan seketika Kirana tahu, itu ibunya.
“Ibu...” suaranya nyaris tak terdengar.
Wanita itu tersenyum, tetapi tidak berkata apa-apa. Hanya tatapan hangat yang menenangkan. Air mata Kirana jatuh tanpa ia sadari.
“Bisakah ia pulang bersamaku?” Kirana berbisik kepada lelaki tua di sampingnya.
Lelaki itu menggeleng pelan. “Mereka yang telah menyatu dengan laut tidak bisa kembali ke daratan. Tapi mereka akan selalu ada dalam setiap ombak, setiap angin, setiap bisikan yang kau dengar.”
Kirana menunduk. Berat, tetapi ia mengerti.
Perlahan, sosok ibunya memudar, kembali menjadi bagian dari lautan. Ombak berbisik lembut di telinga Kirana, seolah mengucapkan selamat tinggal.
Saat perahu kembali ke tepian, Kirana merasa ada yang berubah dalam dirinya. Ia tidak lagi merasa kehilangan, karena kini ia tahu bahwa ibunya selalu bersamanya, di setiap hembusan angin dan riak ombak.
Ia menatap pagar laut sekali lagi. Kini, ia tidak lagi melihatnya sebagai penghalang, tetapi sebagai penjaga. Penjaga rahasia, penjaga kenangan, dan penjaga cinta yang abadi.
Di balik pagar laut, rahasia akan selalu ada. Namun, tidak semua rahasia harus terungkap. Beberapa hanya perlu dirasakan dengan hati.