Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Pramesetya Aniendita | Perlawanan Sunyi

Cerpen Pramesetya Aniendita



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Suara ombak membentur batu-batu pemecah gelombang, mengirimkan buih putih ke udara. Langit senja di pesisir Desa Karanglaut mulai memerah, memantulkan bayangan nelayan yang menepi setelah seharian melaut. Namun, di antara suara ombak dan desau angin, ada sesuatu yang berbeda—suara logam beradu, tanda pagar besi yang baru dipasang pemerintah di tepian laut.


Rauf berdiri di dekat perahu kayunya, menatap pagar tinggi yang membentang sepanjang pantai. Matanya nanar, dadanya sesak. "Laut ini bukan cuma air dan garam. Ini hidup kita," gumamnya.


Di sampingnya, Lila—putrinya yang baru berusia sepuluh tahun—menarik lengan bajunya. "Ayah, pagar itu buat apa?"


Rauf menghela napas, menatap mata jernih putrinya. "Katanya untuk pembangunan, untuk kemajuan."


Lila mengerutkan dahi. "Tapi, kenapa harus nutup laut kita?"


Itulah pertanyaan yang berputar di kepala seluruh warga. Pagar besi itu adalah proyek pemerintah yang katanya bertujuan untuk melindungi pantai dari abrasi, tapi bagi para nelayan, pagar itu lebih seperti batas antara hidup dan mati. Mereka tak bisa lagi menepi sembarangan. Mereka harus melewati jalur resmi yang jauh dari pemukiman, menambah waktu dan biaya.


Setiap pagi, nelayan seperti Rauf harus mendayung lebih jauh ke dermaga yang ditentukan, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, dan tentu saja, mengeluarkan lebih banyak uang untuk sekadar bisa mencari ikan. Perlahan, penghasilan mereka menurun.


"Kalau begini terus, kita bisa apa?" keluh Rauf pada teman-teman nelayannya.


Pak Joko, nelayan tua yang sudah puluhan tahun melaut, menghela napas. "Dulu, laut ini milik kita semua. Sekarang, kita cuma tamu di rumah sendiri."


Malam itu, Rauf duduk di beranda rumahnya, ditemani Lila yang menggambar sesuatu di buku tulisnya. "Apa yang kamu gambar?" tanyanya.


Lila tersenyum, memperlihatkan gambarnya. Itu adalah laut mereka, tanpa pagar besi, hanya ombak dan perahu yang bebas berlayar. "Aku ingin laut kita seperti ini lagi, Ayah."


Gambar itu membuat hati Rauf bergetar. Ia tahu ia tak bisa melawan pagar itu sendirian, tapi ia juga tak ingin menyerah begitu saja.


***


Hari-hari berlalu, dan penderitaan nelayan semakin nyata. Hasil tangkapan mereka berkurang, bukan hanya karena sulitnya akses ke laut, tetapi juga karena area tangkap mereka semakin sempit akibat proyek pembangunan.


Suatu pagi, saat Rauf baru kembali dari laut, ia melihat sekelompok anak bermain di dekat pagar besi. Lila ada di antara mereka. Ia sedang menempelkan sesuatu di pagar itu.


"Lila, apa yang kamu lakukan?" Rauf berjalan mendekat.


Gadis kecil itu tersenyum lebar. "Aku dan teman-teman menempelkan gambar-gambar kami, Ayah. Supaya orang-orang tahu bahwa laut ini bukan hanya air dan pasir. Ini rumah kita."


Rauf tertegun. Di pagar besi itu, berjejer gambar-gambar anak-anak desa—laut biru tanpa pagar, perahu-perahu kecil yang berlayar bebas, nelayan yang tersenyum. Itu bukan sekadar gambar, itu adalah harapan.


Keesokan harinya, lebih banyak warga ikut bergabung. Mereka menggantungkan jaring tua, memajang foto-foto lama tentang kehidupan sebelum pagar itu berdiri. Berita ini mulai menyebar, menarik perhatian media dan para aktivis.


***


Suatu siang yang terik, sekelompok nelayan berkumpul di rumah Pak Joko. Wajah-wajah mereka kusut, penuh kegelisahan.


"Kita nggak bisa terus begini!" seru Jono, nelayan muda yang terkenal berani. "Pagar itu bikin kita sengsara! Harus ada yang kita lakukan!"


"Tapi bagaimana, No?" sahut Rauf. "Kita sudah mencoba bicara baik-baik, tapi mereka tetap saja menutup telinga."


"Kita demo, Bang!" potong Jono dengan nada lantang.


Beberapa nelayan mengangguk setuju, tetapi Pak Joko mengangkat tangannya, meminta mereka tenang. "Demo itu ide bagus, tapi kita harus hati-hati. Kita harus tunjukkan bahwa kita punya hak, bukan sekadar marah."


Maka, malam itu, mereka menyusun rencana. Mereka akan melakukan aksi damai di tepi pantai, membawa spanduk dan hasil tangkapan ikan yang membusuk karena tak bisa dijual tepat waktu. Mereka juga mengundang media dan aktivis lingkungan agar suara mereka lebih terdengar.


***


Pagi itu, ratusan nelayan dan keluarga mereka berkumpul di pantai. Di depan pagar besi yang menjulang, mereka menggelar jaring kosong sebagai simbol mata pencaharian yang terampas. Anak-anak duduk di barisan depan, membawa gambar-gambar laut tanpa pagar.


Rauf berdiri di tengah-tengah kerumunan, menggenggam mikrofon dengan tangan gemetar. Ia menatap lautan yang dulu menjadi sumber kehidupan mereka.


"Kami nelayan kecil. Kami tidak menolak pembangunan, kami hanya ingin hidup kami tidak dipersulit!" suaranya menggema. "Laut ini bukan hanya air dan pasir, ini rumah kami. Kalian bisa membangun, tapi jangan mengambil hak kami untuk mencari nafkah!"


Jono mengangkat ember berisi ikan busuk. "Lihat ini! Beginilah hasil tangkapan kami sekarang! Tidak bisa dijual, tidak bisa dimakan! Apa kalian peduli?"


Sorakan nelayan membahana. Beberapa media mulai menyiarkan aksi ini secara langsung.


Namun, tak lama kemudian, beberapa aparat keamanan datang. "Bubar! Kalian mengganggu ketertiban!" teriak salah satu petugas.


Pak Joko maju ke depan, menatap aparat dengan mata tajam. "Pak, kami tidak sedang membuat kerusuhan. Kami hanya ingin didengar."


"Kami hanya menjalankan tugas!" balas salah satu petugas.


Tiba-tiba, dari kerumunan, Lila berlari ke arah pagar, mengangkat gambarnya tinggi-tinggi. "Pak, lihat ini! Laut kami dulu indah, tidak ada pagar besi! Aku ingin lautku kembali!"


Suasana hening sejenak. Beberapa aparat menunduk, seakan tersadar bahwa yang mereka hadapi bukan sekadar kerumunan protes, tetapi orang-orang yang benar-benar kehilangan harapan.


Dari kejauhan, seorang pria berseragam mendekat. Ia adalah perwakilan pemerintah yang akhirnya datang untuk berdialog. "Baik, kami dengar keluhan kalian. Mari kita cari solusi yang adil untuk semua."


Dan saat itu, harapan mulai menyelinap di hati para nelayan.


***


Suatu sore, Rauf duduk di tepi pantai, memandangi laut yang kini sedikit lebih ramah. Lila duduk di sampingnya, menggambar lagi di bukunya.


"Ayah, apakah laut kita sudah bahagia?"


Rauf tersenyum, menatap ombak yang berkejaran. "Setidaknya, ia bisa bernyanyi lagi, Nak."


Lila tersenyum, menulis sesuatu di bawah gambarnya:


"Laut bukan hanya milik mereka yang kuat, tapi milik mereka yang mencintainya."