Cerpen Putra Dewangga Candra Seta
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tak ada yang tahu kapan tepatnya tembok itu muncul. Pagi itu, orang-orang pesisir mendapati laut mereka telah lenyap, tertutup oleh tembok setinggi langit. Tidak ada suara ombak, tidak ada bau garam, hanya sebidang dinding biru yang berdiri tanpa batas. Seakan laut bukan lagi bagian dari dunia mereka.
Pemerintah menyebutnya Keajaiban Teknologi. Sebuah langkah besar dalam pembangunan pesisir, katanya. Para pejabat berdasi biru berkumpul di depan tembok untuk meresmikannya. Ada baliho besar bertuliskan "Menuju Masa Depan Biru!", dengan gambar seorang anak kecil berlari di pantai yang tak lagi ada.
Para nelayan berdiri di kejauhan, diam. Mereka melihat gunting emas memotong pita peresmian, lalu mendengar tepuk tangan membahana dari orang-orang yang tidak pernah melaut.
"Laut sudah mati," bisik seseorang di tengah kerumunan.
Mereka yang mencoba mencari celah di tembok hanya menemukan permukaannya yang halus, lebih halus dari air yang dulu mereka kenal. Tak ada pegangan, tak ada pintu. Seseorang melempar batu ke arahnya—batu itu menghilang tanpa suara. Sejak itu, tak ada yang berani mencoba lagi.
Minggu-minggu berlalu, sesuatu mulai berubah.
Orang-orang lupa bagaimana suara ombak terdengar. Perahu-perahu yang dulu berbaris di pantai kini hanya bangkai kayu yang membusuk di bawah matahari. Air asin menghilang dari udara, kulit mereka tidak lagi lengket oleh garam. Anak-anak yang lahir setelah tembok berdiri tidak pernah tahu apa itu laut, hanya melihatnya di buku-buku pelajaran yang entah benar atau tidak.
Di rumah-rumah para nelayan, meja-meja makan menjadi lebih lengang. Tak ada lagi ikan segar, hanya makanan kalengan yang dijual murah oleh perusahaan yang sama yang membangun tembok itu.
Suatu malam, di sebuah warung kecil, beberapa lelaki tua duduk mengelilingi secangkir kopi yang sudah mendingin.
"Apa menurut kalian laut masih ada?" tanya Pak Hasan, nelayan paling sepuh di desa.
"Tentu masih," jawab Udin, setengah berbisik. "Masa laut bisa lenyap begitu saja? Pasti ada sesuatu di balik tembok itu."
"Kalau masih ada, kenapa kita tidak bisa mendengarnya?" sela Amir. "Laut itu hidup. Dulu kita bisa merasakan napasnya. Sekarang? Hanya ada diam."
Ada yang mengangguk pelan. Ada yang menarik napas panjang.
Seseorang berkata bahwa di balik tembok, laut masih ada. Bahwa air masih pasang dan surut, bahwa ikan masih berenang, bahwa matahari masih memantulkan kilau emas di permukaannya. Tapi laut itu bukan milik mereka lagi.
Malam itu, seorang pemuda bernama Iman memutuskan untuk mencari jawabannya sendiri. Ia mengetuk pintu rumah ibunya.
"Aku akan pergi," katanya singkat.
"Ke mana?" tanya ibunya dengan nada khawatir.
"Menemukan laut."
Sang ibu menggeleng. "Jangan, Nak. Tak ada yang kembali setelah mendekati tembok itu."
"Kalau kita tak mencoba, kita akan mati perlahan, Bu."
Sebelum ibunya sempat menjawab, Iman sudah melangkah keluar.
Ia membawa kapaknya ke kaki tembok dan mulai menghantamnya dengan sekuat tenaga.
Tak ada suara. Tak ada retakan. Seakan kapaknya menebas udara kosong.
Namun keesokan harinya, Iman menghilang.
Orang-orang bertanya-tanya, tetapi tak ada yang berani mencari tahu ke mana ia pergi. Yang mereka tahu, tembok itu tetap berdiri di tempatnya, tanpa celah, tanpa bekas.
Minggu-minggu berlalu. Di waktu-waktu tertentu, seorang ibu bersumpah ia mendengar suara anaknya memanggil dari balik dinding. Seorang nelayan tua bersikeras melihat bayangan kapal melintas di permukaannya. Seorang gadis kecil pernah mengaku melihat ombak tercermin di mata ayahnya yang diam.
Suatu malam, di sudut warung, Pak Hasan berbisik kepada Udin.
"Apa kau juga mendengar suara itu?"
Udin meneguk kopinya perlahan. "Suara apa?"
"Ombak. Seperti... seperti ia memanggil kita."
Pak Hasan terdiam. Dalam hati, ia tahu Udin juga mendengarnya.
Tapi, kadang-kadang, ketika malam benar-benar sunyi, seseorang bersumpah mendengar suara ombak memanggil dari balik dinding biru itu.
Suara yang sayup, seperti napas terakhir sesuatu yang telah lama dilupakan.
Kabar bahwa Iman menghilang menyebar ke seluruh desa. Orang-orang mulai resah, tetapi mereka juga takut. Mereka yang berani bertanya, diancam.
"Jangan banyak bicara," kata seorang pegawai berseragam biru yang tak pernah terlihat sebelumnya. "Laut bukan urusan kalian lagi."
Namun, beberapa orang tak bisa tinggal diam. Pak Hasan, Udin, dan beberapa nelayan lainnya diam-diam berkumpul di rumah tua dekat dermaga yang telah usang. Mereka berbisik tentang rencana untuk mencari tahu kebenaran di balik tembok.
"Kita harus bertindak sebelum semuanya terlambat," kata Udin. "Kalau kita terus diam, mereka akan mengambil lebih dari sekadar laut kita."
Pak Hasan mengangguk. "Besok malam, kita cari jalan lain."
Namun, sebelum rencana itu bisa berjalan, pagi harinya, tentara berseragam biru datang ke desa. Mereka menangkap Pak Hasan. Tuduhannya? Menyebarkan berita bohong dan menghasut penduduk.
Orang-orang berkumpul di balai desa, berusaha meminta kejelasan. Namun yang mereka dapatkan hanyalah pengumuman dingin dari seorang pejabat yang tak dikenal.
"Semua yang melawan tembok ini, melawan kemajuan. Kami tidak akan mentolerir pengkhianat."
Pak Hasan dibawa pergi. Tak ada yang tahu ke mana. Rumahnya digeledah, semua buku dan catatan dibakar.
Sejak saat itu, ketakutan semakin mencekik desa. Orang-orang membisu, tak berani membicarakan laut lagi. Tapi di malam-malam tertentu, di antara suara angin yang berembus lirih, mereka masih mendengar suara ombak.
Seperti rintihan. Seperti panggilan.
Seperti janji bahwa laut belum benar-benar pergi.
Berbulan-bulan kemudian, kabar mengejutkan datang dari kota. Kepala desa yang sejak awal mendukung pembangunan tembok itu ditangkap atas tuduhan korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Di warung kecil, orang-orang mulai berbicara lagi.
"Jadi benar dia menerima uang?" tanya Udin.
Pak Hasan mengangguk. "Bukan hanya uang. Tanah-tanah pesisir juga dijual diam-diam."
"Lalu sekarang dia ditangkap?" sela Amir. "Apa itu berarti tembok akan dihancurkan?"
"Entahlah," Pak Hasan menghela napas. "Tapi karma selalu menemukan jalannya."
Di rumahnya, istri kepala desa menangis diam-diam. Putranya yang masih kecil bertanya, "Ayah kapan pulang?"
Ia tak mampu menjawab. Karena laut mereka masih terkunci. Dan orang-orang desa hanya bisa menunggu, berharap suara ombak suatu hari kembali membawa mereka pulang.
Sementara di ruang rapat sebuah gedung tinggi di ibu kota, para pejabat dan petinggi perusahaan yang membangun tembok duduk dalam kegelisahan.
"Ini di luar rencana," gumam seorang pria tua berkacamata. "Kepala desa seharusnya menjadi perisai kita."
"Bagaimana bisa dia ditangkap secepat ini?" sahut yang lain, suaranya penuh kegelisahan. "Siapa yang membocorkan?"
"Masyarakat mulai bertanya-tanya," ujar seseorang dengan nada geram. "Kalau kita tidak segera mengendalikan situasi, proyek ini bisa gagal total."
Mereka saling pandang. Di luar, langit mulai mendung.
Di desa, orang-orang hanya bisa menunggu, berharap suara ombak suatu hari kembali membawa mereka pulang.
Dan juga berharap laut bisa kembali menjadi sumber kehidupan mereka.