Pak Tara, mengisi hidupnya dengan menjadi nelayan di dekat rumahnya.
Sekarang, ia sudah menginjak kepala lima. Dengan keluarga kecilnya yang masih
harus dicukupi kehidupannya, istrinya menjadi tukang setrika keliling dan dua
anak kesayangannya yang masih pergi bersekolah.
Matahari jingga di ujung langit, hari mulai sore. Pak Tara dan keluarga
melahap nasi, tempe dan seekor ikan hasil tangkapannya.
Tok tok tok..
“Pak, kami ingin bantuannya dalam pembangunan ini. Ini akan banyak
keuntungannya untuk kita, para pelayan. Sedikit aja pak, yang lain udah mau
patungan”
Pak Tara, mengusap dahinya. Datang orang-orang meminta iuran, untuk
pembangunan pagar laut katanya.
“Bapak Tara juga kan tahu, rumah kita ini berada di dekat pantai, takutnya
tiba-tiba ada bencana, ini membantu sekali pak untuk memecah ombak. Apalagi
kalau tombaknya bagus, wah ikan-ikan pasti banyak, bisa dijadikan tombak.” Ucap
pria itu dengan senyum persuasifnya.
Membiayai hidup keluarga saja sudah sesak, bagaimana dengan iurannya. Pak
Tara bingung, perkataannya meyakinkan. Mungkin saat tombaknya jadi, ikan-ikan
menjadi lebih banyak. Mempermudahnya mendapat penghasilan yang lebih banyak.
Makan bisa dihemat, listrik dan air juga bisa dihemat.
Pak Tara mengangguk. Tanda setuju.
Suara ayam berkokok terdengar ricuh di Desa. Zaki dan adiknya, Rizka, sudah
siap dengan seragamnya yang sudah terlihat kucel. Bajunya mereka dapat dari
pelanggan ibunya, lumayan, masih bagus untuk dikenakan.
“Bu, Pak, kami berangkat dulu ya, hari ini upacara.” Ucap Zaki, kemudian
mereka berdua mencium tangan orang tuanya.
Pak Tara dan istrinya selalu mendoakan pendidikan anak-anaknya, mereka tak
ingin anak-anaknya yang disayangi merasakan hidup susah. Dengan
penghasilan mereka yang pas-pasan, mereka yakin akan menyekolahkannya setinggi
yang mereka bisa.
“Hati-hati ya nak, belajar yang rajin.”
“Jangan lupa bekal makan siangnya dimakan ya”
Rumah hening, hanya ada Pak Tara dan istrinya. Mereka duduk di kursi
jeleknya. Tak ada suara selain suara dari rumah tetangga yang sedang memutar
lagu koplo dengan speakernya. Akhirnya Pak Tara buka suara.
“Tadi malam, ada yang minta iuran, untuk pagar laut. Katanya menguntungkan.
Bapak kasih uang bapak.” Pak Tara menjelaskan.
“Ya ampun pak. Berapa uangnya pak? Emang ada uang buat minggu depan? Yang
kemarin juga ibu belum bayar hutang ke adik.” Ibu resah.
“Gapapa, Bu, nanti Bapak yang pinjam uang ke saudara. Katanya, kalau
pagarnya jadi, lebih menguntungkan buat Bapak sebagai pelayan. Ibu serahin aja
ke Bapak ya, Ibu doain semoga rezeki kita dimudahkan.”
Ibu Tara menghela napas, tak yakin dengan keputusan suaminya yang membuat
mereka campur aduk. Mereka tentu sadar akan sulitnya kehidupan mereka, mulai
dari biaya pendidikan hingga biaya makan sehari-hari. Dan meminjam uang
bukanlah keputusan yang mudah, mereka sebenarnya malu. Namun, suaminya telah
mengambil keputusan, dan ia tidak bisa menentang dan menyalahkannya. Bu
Tara hanya bisa percaya dan berdoa semoga itu membawa kebaikan bagi keluarga
mereka.
Hari-hari pun berlalu. Ramai laut oleh masyarakat yang berbondong-bondong
mengerjakan proyek pagar laut. Setelahnya, bambu-bambu tombak mulai terlihat
dari pantai. Tampaknya memang ada harapan untuk memperbaiki kualitas hidup
warga yang tinggal di dekat pantai. Tapi, bagi Pak Tara, rasanya tak banyak
perubahan bagus yang ia rasakan. Malahan, laut malah jadi terlihat kumuh dengan
penuhnya bambu yang ditancapkan disana.
Berminggu-minggu ia jalani, Pak Tara melangkah dengan kaki yang berat
menuju pantai. Biasa menantang gelap demi membawa pulang ikan untuk dijual.
Dengan lampu kecil redup di perahunya, Dengan hati-hati Pak Tara mulai
mendayung. Perahu kecil itu meluncur pelan meskipun Pak Tara sedikit lelah
karena selalu pergi tanpa mendapatkan banyak ikan.
Tanpa sadar, cuaca berubah. Angin kencang dan rintik-rintik air hujan mulai
turun. Pak Tara memutuskan untuk kembali ke pantai, khawatir terjadi
sesuatu. Angin dan ombak bertambah kencang di setiap dayungannya. Ketika
ia memutar haluan, dan mendayung sambil menjaga kesimbangan perahu, tiba-tiba
terdengar suara keras dari depan perahunya. Ia tidak melihat bahwa jalurnya
kini ditutupi bambu-bambu besar dan kokoh yang sekarang memagari laut.
“Aduh, kenapa bisa menabrak seperti ini..” keluhnya dalam hati. Biasanya
datang temannya yang ikut membantunya melayan, tapi hari ini ia sendirian. Dan
nasib sialnya kini ia terima sendirian pula.
Hujan dan angin kencang sudah usai. Matahari terik menyinari tubuh Pak
Tara. Peluhnya berjatuhan memenuhi seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia habiskan
harinya untuk membenarkan perahunya. Ia mengganti kayu perahunya dengan
kayu-kayu baru yang lebih kuat. Ombak pantai menemani rasa gelisah di
hatinya.
Saat pulang dari pantai, Pak Tara merasa kecewa. Ia tidak membawa tangkapan
ikan untuk dijual. Perasaannya semakin berat saat ia berhadapan dengan
istrinya, yang menunggunya di rumah.
"Pak, ada apa? Kok kelihatan lelah banget?" tanya Ibu Tara dengan
cemas.
Pak Tara duduk di kursi dan menghela napas panjang. “Bu, saya semakin
merasa kesulitan. Laut sekarang makin sulit dilalui. Tadi subuh bapak menabrak
bambu-bambu di laut. Kalau malam hari, gelap, bapak sebenarnya khawatir ini
akan terjadi lagi. Sudah kami harus memutar jauh untuk mencari ikan,
menghabiskan biaya operasional lebih banyak, malah perahu bapak rusak karena
bapak tidak melihat ada pagar.”
Ibu Tara menenangkan. “Ya ampun. Sabar ya pak. Yang penting bapak selamat.
Semoga suatu saat keadaan menjadi lebih baik. Perahunya masih bisa digunakan
kan pak?”
Mata Pak Tara mulai berkaca-kaca. “Iya, Bu. Tapi lama-lama
kita harus menanggung beban yang semakin berat, sementara penghasilan Bapak
semakin menurun. Penghasilan Ibu belum tentu bisa mencukupi semuanya. Bapak
menyesal menyetujui dan memberikan seluruh uang bapak untuk ini.”
Hari-hari selanjutnya, Pak Tara kembali ke laut dengan sedikit harapan. Ia
memulai harinya dengan mencoba semangat. Meskipun keadaan sulit, ia mencoba
untuk tidak menyerah. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi buta. Walaupun lebih
melelahkan, ia memanfaatkan setiap celah jalur yang bisa ia lewati meski harus
memutar lebih jauh, daripada sebelum ada pagar laut.
Ibu Tara juga membantu mencari penghasilan lebih banyak. Ia terus bekerja
sebagai tukang setrika keliling, dan kadang membantu menjadi tukang cuci piring
di resto di dekat pantai wisata. Ia ikut memastikan kebutuhan sehari-hari tetap
tercukupi. Cukup senyuman anak-anak mereka yang selalu mengingatkannya untuk
memberikan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya.
Hidupnya mereka lanjutkan dengan terus berdoa dan berusaha. Ketika Pak Tara
baru pulang dari melaut, ia melihat istrinya sedang duduk di depan rumah,
melihat anak-anaknya sedang bermain. Ia mendekat dan duduk disampingnya.
“Apa yang kita lakukan, semoga membawa hasil yang baik, Bu. Kita hanya
ingin hidup harmonis, memberi makan anak-anak hidup yang layak.” Kata Pak Tara
pelan. “Mengenai pagar laut, pemerintah sudah tahu Bu, sudah masuk berita.
Nanti akan dibongkar.”
Ibu Tara menoleh. “Syukurlah pak. Kita sudah berusaha. Yang penting kita
terus berdoa, rezeki kita sudah diatur. Tuhan tidak akan membiarkan kita jatuh
terlalu dalam.”
Sore itu, mereka duduk bersama, berdoa dalam keheningan, berharap agar
ujian ini segera berlalu dan memberikan jalan yang lebih terang untuk masa
depan keluarga mereka.