Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Qonita Durra Anandita - Pagar yang Menghalangi, Harapan yang Tersisa


Pak Tara, mengisi hidupnya dengan menjadi nelayan di dekat rumahnya. Sekarang, ia sudah menginjak kepala lima. Dengan keluarga kecilnya yang masih harus dicukupi kehidupannya, istrinya menjadi tukang setrika keliling dan dua anak kesayangannya yang masih pergi bersekolah.

 

Matahari jingga di ujung langit, hari mulai sore. Pak Tara dan keluarga melahap nasi, tempe dan seekor ikan hasil tangkapannya. 

 

Tok tok tok..

 

“Pak, kami ingin bantuannya dalam pembangunan ini. Ini akan banyak keuntungannya untuk kita, para pelayan. Sedikit aja pak, yang lain udah mau patungan” 

 

Pak Tara, mengusap dahinya. Datang orang-orang meminta iuran, untuk pembangunan pagar laut katanya. 

 

“Bapak Tara juga kan tahu, rumah kita ini berada di dekat pantai, takutnya tiba-tiba ada bencana, ini membantu sekali pak untuk memecah ombak. Apalagi kalau tombaknya bagus, wah ikan-ikan pasti banyak, bisa dijadikan tombak.” Ucap pria itu dengan senyum persuasifnya. 

 

Membiayai hidup keluarga saja sudah sesak, bagaimana dengan iurannya. Pak Tara bingung, perkataannya meyakinkan. Mungkin saat tombaknya jadi, ikan-ikan menjadi lebih banyak. Mempermudahnya mendapat penghasilan yang lebih banyak. Makan bisa dihemat, listrik dan air juga bisa dihemat. 

 

Pak Tara mengangguk. Tanda setuju.

 

Suara ayam berkokok terdengar ricuh di Desa. Zaki dan adiknya, Rizka, sudah siap dengan seragamnya yang sudah terlihat kucel. Bajunya mereka dapat dari pelanggan ibunya, lumayan, masih bagus untuk dikenakan. 

 

“Bu, Pak, kami berangkat dulu ya, hari ini upacara.” Ucap Zaki, kemudian mereka berdua mencium tangan orang tuanya.

 

Pak Tara dan istrinya selalu mendoakan pendidikan anak-anaknya, mereka tak ingin anak-anaknya yang disayangi merasakan hidup susah.  Dengan penghasilan mereka yang pas-pasan, mereka yakin akan menyekolahkannya setinggi yang mereka bisa.

 

“Hati-hati ya nak, belajar yang rajin.” 

“Jangan lupa bekal makan siangnya dimakan ya” 

 

Rumah hening, hanya ada Pak Tara dan istrinya. Mereka duduk di kursi jeleknya. Tak ada suara selain suara dari rumah tetangga yang sedang memutar lagu koplo dengan speakernya. Akhirnya Pak Tara buka suara.

 

“Tadi malam, ada yang minta iuran, untuk pagar laut. Katanya menguntungkan. Bapak kasih uang bapak.” Pak Tara menjelaskan.

 

“Ya ampun pak. Berapa uangnya pak? Emang ada uang buat minggu depan? Yang kemarin juga ibu belum bayar hutang ke adik.” Ibu resah.

 

“Gapapa, Bu, nanti Bapak yang pinjam uang ke saudara. Katanya, kalau pagarnya jadi, lebih menguntungkan buat Bapak sebagai pelayan. Ibu serahin aja ke Bapak ya, Ibu doain semoga rezeki kita dimudahkan.” 

 

Ibu Tara menghela napas, tak yakin dengan keputusan suaminya yang membuat mereka campur aduk. Mereka tentu sadar akan sulitnya kehidupan mereka, mulai dari biaya pendidikan hingga biaya makan sehari-hari. Dan meminjam uang bukanlah keputusan yang mudah, mereka sebenarnya malu. Namun, suaminya telah mengambil keputusan, dan ia tidak bisa menentang dan menyalahkannya.  Bu Tara hanya bisa percaya dan berdoa semoga itu membawa kebaikan bagi keluarga mereka.

 

Hari-hari pun berlalu. Ramai laut oleh masyarakat yang berbondong-bondong mengerjakan proyek pagar laut. Setelahnya, bambu-bambu tombak mulai terlihat dari pantai. Tampaknya memang ada harapan untuk memperbaiki kualitas hidup warga yang tinggal di dekat pantai. Tapi, bagi Pak Tara, rasanya tak banyak perubahan bagus yang ia rasakan. Malahan, laut malah jadi terlihat kumuh dengan penuhnya bambu yang ditancapkan disana. 

 

Berminggu-minggu ia jalani, Pak Tara melangkah dengan kaki yang berat menuju pantai. Biasa menantang gelap demi membawa pulang ikan untuk dijual. Dengan lampu kecil redup di perahunya, Dengan hati-hati Pak Tara mulai mendayung. Perahu kecil itu meluncur pelan meskipun Pak Tara sedikit lelah karena selalu pergi tanpa mendapatkan banyak ikan.

 

Tanpa sadar, cuaca berubah. Angin kencang dan rintik-rintik air hujan mulai turun. Pak Tara memutuskan untuk kembali ke pantai, khawatir terjadi sesuatu.  Angin dan ombak bertambah kencang di setiap dayungannya. Ketika ia memutar haluan, dan mendayung sambil menjaga kesimbangan perahu, tiba-tiba terdengar suara keras dari depan perahunya. Ia tidak melihat bahwa jalurnya kini ditutupi bambu-bambu besar dan kokoh yang sekarang memagari laut.

 

“Aduh, kenapa bisa menabrak seperti ini..” keluhnya dalam hati. Biasanya datang temannya yang ikut membantunya melayan, tapi hari ini ia sendirian. Dan nasib sialnya kini ia terima sendirian pula. 

 

Hujan dan angin kencang sudah usai. Matahari terik menyinari tubuh Pak Tara. Peluhnya berjatuhan memenuhi seluruh tubuhnya. Mau tak mau ia habiskan harinya untuk membenarkan perahunya. Ia mengganti kayu perahunya dengan kayu-kayu baru yang lebih kuat. Ombak pantai menemani rasa gelisah di hatinya. 

Saat pulang dari pantai, Pak Tara merasa kecewa. Ia tidak membawa tangkapan ikan untuk dijual. Perasaannya semakin berat saat ia berhadapan dengan istrinya, yang menunggunya di rumah.

"Pak, ada apa? Kok kelihatan lelah banget?" tanya Ibu Tara dengan cemas.

Pak Tara duduk di kursi dan menghela napas panjang. “Bu, saya semakin merasa kesulitan. Laut sekarang makin sulit dilalui. Tadi subuh bapak menabrak bambu-bambu di laut. Kalau malam hari, gelap, bapak sebenarnya khawatir ini akan terjadi lagi. Sudah kami harus memutar jauh untuk mencari ikan, menghabiskan biaya operasional lebih banyak, malah perahu bapak rusak karena bapak tidak melihat ada pagar.” 

Ibu Tara menenangkan. “Ya ampun. Sabar ya pak. Yang penting bapak selamat. Semoga suatu saat keadaan menjadi lebih baik. Perahunya masih bisa digunakan kan pak?”

Mata Pak Tara mulai berkaca-kaca. “Iya, Bu. Tapi lama-lama kita harus menanggung beban yang semakin berat, sementara penghasilan Bapak semakin menurun. Penghasilan Ibu belum tentu bisa mencukupi semuanya. Bapak menyesal menyetujui dan memberikan seluruh uang bapak untuk ini.”

Hari-hari selanjutnya, Pak Tara kembali ke laut dengan sedikit harapan. Ia memulai harinya dengan mencoba semangat. Meskipun keadaan sulit, ia mencoba untuk tidak menyerah. Setiap hari, ia berangkat pagi-pagi buta. Walaupun lebih melelahkan, ia memanfaatkan setiap celah jalur yang bisa ia lewati meski harus memutar lebih jauh, daripada sebelum ada pagar laut.

Ibu Tara juga membantu mencari penghasilan lebih banyak. Ia terus bekerja sebagai tukang setrika keliling, dan kadang membantu menjadi tukang cuci piring di resto di dekat pantai wisata. Ia ikut memastikan kebutuhan sehari-hari tetap tercukupi. Cukup senyuman anak-anak mereka yang selalu mengingatkannya untuk memberikan yang terbaik untuk masa depan anak-anaknya. 

Hidupnya mereka lanjutkan dengan terus berdoa dan berusaha. Ketika Pak Tara baru pulang dari melaut, ia melihat istrinya sedang duduk di depan rumah, melihat anak-anaknya sedang bermain. Ia mendekat dan duduk disampingnya. 

“Apa yang kita lakukan, semoga membawa hasil yang baik, Bu. Kita hanya ingin hidup harmonis, memberi makan anak-anak hidup yang layak.” Kata Pak Tara pelan. “Mengenai pagar laut, pemerintah sudah tahu Bu, sudah masuk berita. Nanti akan dibongkar.”

Ibu Tara menoleh. “Syukurlah pak. Kita sudah berusaha. Yang penting kita terus berdoa, rezeki kita sudah diatur. Tuhan tidak akan membiarkan kita jatuh terlalu dalam.”

Sore itu, mereka duduk bersama, berdoa dalam keheningan, berharap agar ujian ini segera berlalu dan memberikan jalan yang lebih terang untuk masa depan keluarga mereka.