Langkah
kaki ku semakin cepat, seakan melayang saking cepatnya. Nafasku terengah, meski
begitu, mulutku tak bisa berhenti tersenyum, begitu juga dengan degup
jantungku. Menerka-nerka bagaimana rupa adikku yang baru saja lahir hari ini.
Namaku
Ronan. Aku anak seorang saudagar ikan dan hasil laut, sehingga aku tumbuh
dengan laut sebagai sahabatku. Ombak yang bergulung, pasir hangat di kakiku,
dan aroma asin yang selalu menyertai angin adalah bagian dari kehidupan
sehari-hariku.Aku mencintai lautan dengan sepenuh hati. Bagiku, laut adalah
rumah dan kehidupan yang harus dijaga.
Aku
membuka pintu kamar orangtua kami. Ibu tersenyum sembari menatapku lembut.
“Ronan , mendekatlah. Sekarang kau sudah boleh lihat.” Jantungku berdegup
kencang saat menyibak para perawat yang mengelilingi kasur Ibu, menyingkap kain
yang menutupi bayi di gendongannya. “Ini adikmu.”
Dan
seketika wajah manis dan montok serta kaki mungilnya yang merah jambu membuatku
terpikat sekaligus terpana. “Wah, kecil sekali…”. Ibu tertawa mendengar
ucapanku. “Dulu kau juga sekecil itu.” “Tidak mungkin,” Aku menatap takjub
gerakan jemari mungil adikku yang berusaha menggapai jari-jariku.
Hari
pertama di musim pertama, adikku lahir dengan penuh berkat. Anak yang mirip
sekali denganku, tapi juga sangat berbeda denganku. Aku tak sabar mengajaknya
untuk berlayar dengan perahu, menyelam untuk melihat keindahan bawah laut, dan
berbicara dengan nelayan tua yang menceritakan legenda samudera.
~*~
8
tahun kemudian
Aku
menatap dengan kagum ayunan tubuh Nerissa yang bergerak ringan seperti bulu
tapi kuat dan tepat saat mengemudikan speedboat
hingga bergerak dengan mulus. Nerissa berbalik dan menatapku dengan percaya
diri. “Aku jenius kan ?”
Aku
mengusap kepalanya lembut. “Tentu saja. Itu bukan hal yang bisa dilakukan hanya
dengan melihat. Kamu jenius.” Nerissa tersenyum senang. “Kalau begitu, aku mau
belajar mengemudikan jet ski. Aku ingin menjelajahi lautan yang masih sangat
luas ini..” Ujarnya antusias.
Aku
tak menjawabnya. Sepertinya Ayah tidak
akan mengizinkan. Masih terlalu bahaya untuk anak semuda dia. Aku diam dan
berpikir sejenak agar Nerissa tidak memberikan jawaban yang akan
mengecewakannya.. “Kamu mau datang saat aku latihan sendiri ? nanti aku ajari.
Jangan bilang pada Ayah dan Ibu sebelum kamu mahir sedikit lagi, ya. Ini
rahasia.” Aku tersenyum melihat Nerissa mengangguk-angguk kecil.
~*~
Trak.
Suara
cangkir teh terdengar bergema di ruangan Ayah dan Ibu. “Ronan, sepertinya
terlalu lembek jika dibandingkan Nerissa.” Ujar Ayah yang terdengar seperti
keluhan.
“Kenapa
kau berpikir begitu ?” Ibu terkejut mendengar jawaban suaminya yang meski tahu
kemana arah pembicaraan ini, yang merupakan perdebatan mereka mengenai ambisi
suaminya untuk memperluas jangkauan perdagangannya.“Aldric, kenapa-”
Ayah
berdiri lalu menghampiri akuarium besar yang menghiasi ruangan, menyentuhnya
dinding kacanya.”Satu-satunya masalah adalah putra kita terlalu lembut bukan ?
tapi belakangan ini dia berlaku sebagai kakak dan tahan dicambuk. Jadi
menurutku itu hal yang bagus.” Ujarnya tenang. “Kita amati saja dulu. Hanya
jangan sampai Nerissa menjadi penopang untuk Ronan . Itu saja.” Ucapnya tenang
sambil melangkah keluar. Meninggalkan Ibu yang termenung, merasakan firasat
tidak enak mengenai masa depan kedua anaknya.
~*~
“Nerissa
?” Aku bertanya heran. Menatap hamparan pasir. Cahaya bulan purnama menerangi
sekitar dengan jelas, memantul di permukaan laut jernih. “Ini sudah jauh dari
galangan kapal.” Ucapku bingung, meski tetap menerima saja saat dia terus
menarikku.
“Iya
aku tahu.” Nerissa akhirnya berhenti di depan gua di samping air terjun dekat
aliran sungai yang mengalir ke laut. Setelah memeriksa dan memastikan sekitar,
dia menepuk-nepuk rerumputan. “Duduklah di sini.” “Disini ?” Aku beranjak duduk
di rerumputan dan Nerissa duduk di belakangku. “Iya, lalu coba gulung kemeja
Kakak.”
Aku
menurutinya dan menggulung kemejaku. Tampak daging merah pekat yang merekah
membentuk garis panjang, tampak jelas tergurat di kulit punggungku. Nerissa
menggeleng-geleng dan menghela nafas pelan. “Sudah kuduga. Lukanya semakin
parah.” Anak seusianya mungkin akan langsung histeris dan lari ketakutan
melihat luka ini, tapi telapak tangannya justru dengan hati-hati menyentuh
punggungku sejenak. “Sakit, ya ?”
Aku
hanya tersenyum kecil. Sudah sering, jadi
tak terlalu sakit. “Kelihatan, ya ?” Nerissa mendengus. Mengeluarkan
obat-obatan yang ia bawa di ranselnya. “Bodoh saja kalau tidak tahu.”
Adikku pandai dalam segala hal,
bahkan sangat peka dengan keadaan disekitarnya. Aku menatap Nerissa yang sudah selesai membalut luka di
punggungku–yang untungnya masih bisa kutahan–berpindah posisi ke sampingku. “Oh
!” Nerissa berseru, telunjuknya mengarah ke atas. “Kakak, coba lihat langitnya
! Itu galaksi Bimasakti !” Ujarnya takjub. Nerissa menundukkan pandangannya dan
memuji pantulan bintang yang indah di permukaan laut.
Adik yang kubanggakan. Satu-satunya sandaranku
saat lelah. Aku mendongak menatap langit
Bimasakti yang bertaburan bintang-bintang. Masa
depanmu harus cemerlang seperti bintang.
~*~
Tapi, Nerissa. Terkadang aku,
Bruk !
Di
atas meja, terdapat beberapa tumpukan buku tebal yang menjulang di hadapan
Nerissa yang berusia 10 tahun. “Kalau ingin menjadi orang hebat, kau harus
punya pemikiran yang berbeda dari orang biasa.” Di depannya, Ayah berdiri
dengan tangan menggenggam tongkat panjang. “Nerissa, kau harus ingat beban
keluarga yang kau sandang di namamu.”
Kemampuan jenius mu yang bisa
menyerap apapun saat diajarkan, membuatku takut.
“Baik,
Ayah.” Nerissa mengangguk dengan senyuman lebar, disertai tatapan dingin dan
bercampur dengan niat yang menyala.
…juga
cemas.
~*~
Waktu
terus bergulir dan melesat tanpa terasa.
“Lagi
?” Nerissa menatapku sejenak. “Hari ini kan tidak ada waktu. Ayah sudah
memanggilku.”
Belum
sempat aku mengatakan sesuatu, Nerissa segera berjalan melewatiku dengan
beberapa buku tebal di dekapan tangannya, dan tiba-tiba pelayan datang dari
belakang, menghentikan ucapanku untuk mencegah Nerissa. “Tuan Ronan , tolong
periksa buku besar ini bersama saya.”
Melihatku
yang masih terdiam, pelayan bertanya bingung. “Ada apa ?” “Tidak, sepertinya
hubunganku dengan Nerissa jadi canggung. Apa hanya perasaanku ?”
“Itu
karena Anda berdua sudah dewasa. Anda berdua sibuk sekarang. Saya juga canggung
dengan istri sendiri karena jarang pulang ke rumah.” Jawab pelayan tenang untuk
menghiburku. Aku diam dan menatap pintu ruangan yang dimasuki Nerissa tadi.
“Nerissa melakukan kelas Hidrodinamika ? tapi kenapa dia melakukannya di ruang kerja Ayah ?”
“Hmm,
bagus juga.” Komentar Ayah melihat rancangan perdagangan laut dengan miniatur
kapal diatas peta negara. Nerissa menunggu kelanjutan kalimat dengan tenang.
“Inilah cara untuk menggali kelemahan dari perjanjian, tapi di tengah jalan
juga bisa memberi keuntungan besar bagi kita. Perbaiki sedikit, lalu cepat
laksanakan.”
“Setiap
kali kau begini,” Ayah menangkupkan tangan di atas peta dan tersenyum puas.
“Kau menunjukkan sosok penerusku yang membanggakan.” Ucapnya senang dan tatapan
yang penuh ambisi. “Ayah jadi senang.”
~*~
“Ayah,
apa-apaan ini ?” Aku menyergah bingung. Tampak puluhan orang meluncur dengan
menaiki belasan jet ski besar, membawa tombak panjang dengan tabung berisi
cairan hijau yang diikatkan di ujung tombak. Ayah tak menjawab. Hanya
tersenyum. Aku merinding. Senyum kejam yang memperlihatkan ambisi besar nya
itu, seketika membuatku sadar apa yang tengah dilakukannya.
Biasanya,
aku selalu pasrah dan membiarkan saja semua perbuatan Ayah. Tapi seluruh
kenangan ku akan laut, membuatku akhirnya bersuara. “Ayah, selama ini laut
telah memberi kita kehidupan. Kita tidak bisa menghancurkannya hanya demi
kekayaan pribadi Ayah!” Ucapku marah.
Ayah
mendengus remeh. “Kau terlalu banyak berkhayal, Ronan. Jika kita tidak bergerak
maju, kita akan tertinggal. Dunia ini tidak peduli pada mereka yang hanya
menikmati laut tanpa mengambil manfaatnya.”
Aku
menggenggam tangan Nerissa, berharap dia akan setuju denganku. Namun, yang
mengejutkan, aku melihat sinar ambisi yang sama dengan milik Ayah. Ia menoleh,
menatapku dengan senyum yakin. “Nerissa, kau tahu ini salah. Kita tidak bisa
merusak laut demi keuntungan kita sendiri.” Ucapku berusaha membujuk.
“Kakak
tidak perlu sok suci.” Ucapnya dengan raut muka dingin. Kalimat dan raut muka
yang tak pernah kubayangkan akan ditunjukkannya padaku. “Selama ini Kakak juga
menikmati hasil laut melalui semua cara yang Ayah lakukan. Tapi tenang saja,
aku akan pastikan, Kakak masih bisa menikmati seluruh keindahan laut itu. Meski
sayangnya, sebagian besar ada di penangkaran, bukan di lautan lepas.”
Dalam
beberapa minggu, kapal-kapal keluarga kami berlayar megah di lautan, mengangkut
emas dari kedalamannya. Bisnis berkembang, tambak-tambak menjalar, dan
jaring-jaring tak pernah kosong. Ayah disebut raja di atas ombak, Nerissa
sangat bangga menjadi pewaris kejayaan itu. Ia percaya bahwa semakin jauh kami
menaklukkan lautan, semakin besar kejayaan keluarga kami.
Namun,
laut bukan untuk ditaklukkan.
Ketika
badai datang, tak ada tembok yang bisa menahan murkanya. Ombak meruntuhkan
kapal-kapal, menggulung tambak, menghancurkan dermaga. Terumbu karang yang dulu
warna-warni kini patah dan mati, ikan-ikan menghilang, meninggalkan hamparan
perairan yang sunyi. Keuntungan yang dibanggakan lenyap dalam sekejap—tersapu
gelombang yang selama ini mereka abaikan.
Kini,
di sampingku, Nerissa berdiri dalam diam. Jemarinya menggenggam ujung bajunya
dengan gemetar, matanya yang dulu berbinar penuh ambisi kini redup oleh
penyesalan.
"Aku
salah, Ronan," bisiknya, suaranya lebih lirih dari desau angin. "Aku
buta. Aku hanya melihat angka dan kejayaan, tapi tidak melihat luka yang kita
buat. Aku tak tahu apakah laut bisa memaafkanku."
Aku
menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela nafas panjang. Dulu, amarahku begitu
besar—terhadap Ayah, Nerissa, dan manusia yang terus merusak lautan tanpa
berpikir panjang. Tapi kini, yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa sesal tak
akan mengubah apa pun.
"Laut
selalu memberi, bahkan setelah kita mengkhianatinya," ujarku tenang.
"Mungkin, jika kita berhenti merampas dan mulai merawat, ia akan menyambut
kita kembali."
Nerissa
mengangguk perlahan, air matanya jatuh dan bercampur dengan angin asin yang
membelai wajahnya.
Bersama,
kami mengulurkan tangan pada sisa-sisa yang masih bertahan— memperbaiki segala
hal yang masih bisa diperbaiki. Hingga akhirnya, burung-burung laut kembali
bersarang di tebing, tunas bakau tumbuh di pasir, dan ombak kembali membawa
bisikan yang lebih lembut.
Laut
pernah memberi kami segalanya. Kini, kami memilih untuk tidak lagi mengambil,
tapi memberi. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, kami merasa benar-benar
pulang.