Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba - Qonitah Humaira - Di Ujung Ombak, Kita Menjaga

 



Langkah kaki ku semakin cepat, seakan melayang saking cepatnya. Nafasku terengah, meski begitu, mulutku tak bisa berhenti tersenyum, begitu juga dengan degup jantungku. Menerka-nerka bagaimana rupa adikku yang baru saja lahir hari ini.

 

Namaku Ronan. Aku anak seorang saudagar ikan dan hasil laut, sehingga aku tumbuh dengan laut sebagai sahabatku. Ombak yang bergulung, pasir hangat di kakiku, dan aroma asin yang selalu menyertai angin adalah bagian dari kehidupan sehari-hariku.Aku mencintai lautan dengan sepenuh hati. Bagiku, laut adalah rumah dan kehidupan yang harus dijaga.

 

Aku membuka pintu kamar orangtua kami. Ibu tersenyum sembari menatapku lembut. “Ronan , mendekatlah. Sekarang kau sudah boleh lihat.” Jantungku berdegup kencang saat menyibak para perawat yang mengelilingi kasur Ibu, menyingkap kain yang menutupi bayi di gendongannya. “Ini adikmu.”

 

Dan seketika wajah manis dan montok serta kaki mungilnya yang merah jambu membuatku terpikat sekaligus terpana. “Wah, kecil sekali…”. Ibu tertawa mendengar ucapanku. “Dulu kau juga sekecil itu.” “Tidak mungkin,” Aku menatap takjub gerakan jemari mungil adikku yang berusaha menggapai jari-jariku.

 

Hari pertama di musim pertama, adikku lahir dengan penuh berkat. Anak yang mirip sekali denganku, tapi juga sangat berbeda denganku. Aku tak sabar mengajaknya untuk berlayar dengan perahu, menyelam untuk melihat keindahan bawah laut, dan berbicara dengan nelayan tua yang menceritakan legenda samudera.

 

~*~

 

8 tahun kemudian

 

Aku menatap dengan kagum ayunan tubuh Nerissa yang bergerak ringan seperti bulu tapi kuat dan tepat saat mengemudikan speedboat hingga bergerak dengan mulus. Nerissa berbalik dan menatapku dengan percaya diri. “Aku jenius kan ?”

 

Aku mengusap kepalanya lembut. “Tentu saja. Itu bukan hal yang bisa dilakukan hanya dengan melihat. Kamu jenius.” Nerissa tersenyum senang. “Kalau begitu, aku mau belajar mengemudikan jet ski. Aku ingin menjelajahi lautan yang masih sangat luas ini..” Ujarnya antusias.

 

Aku tak menjawabnya. Sepertinya Ayah tidak akan mengizinkan. Masih terlalu bahaya untuk anak semuda dia. Aku diam dan berpikir sejenak agar Nerissa tidak memberikan jawaban yang akan mengecewakannya.. “Kamu mau datang saat aku latihan sendiri ? nanti aku ajari. Jangan bilang pada Ayah dan Ibu sebelum kamu mahir sedikit lagi, ya. Ini rahasia.” Aku tersenyum melihat Nerissa mengangguk-angguk kecil. 

 

~*~

 

Trak.

 

Suara cangkir teh terdengar bergema di ruangan Ayah dan Ibu. “Ronan, sepertinya terlalu lembek jika dibandingkan Nerissa.” Ujar Ayah yang terdengar seperti keluhan.

 

“Kenapa kau berpikir begitu ?” Ibu terkejut mendengar jawaban suaminya yang meski tahu kemana arah pembicaraan ini, yang merupakan perdebatan mereka mengenai ambisi suaminya untuk memperluas jangkauan perdagangannya.“Aldric, kenapa-”

 

Ayah berdiri lalu menghampiri akuarium besar yang menghiasi ruangan, menyentuhnya dinding kacanya.”Satu-satunya masalah adalah putra kita terlalu lembut bukan ? tapi belakangan ini dia berlaku sebagai kakak dan tahan dicambuk. Jadi menurutku itu hal yang bagus.” Ujarnya tenang. “Kita amati saja dulu. Hanya jangan sampai Nerissa menjadi penopang untuk Ronan . Itu saja.” Ucapnya tenang sambil melangkah keluar. Meninggalkan Ibu yang termenung, merasakan firasat tidak enak mengenai masa depan kedua anaknya.

 

~*~

 

“Nerissa ?” Aku bertanya heran. Menatap hamparan pasir. Cahaya bulan purnama menerangi sekitar dengan jelas, memantul di permukaan laut jernih. “Ini sudah jauh dari galangan kapal.” Ucapku bingung, meski tetap menerima saja saat dia terus menarikku.

 

“Iya aku tahu.” Nerissa akhirnya berhenti di depan gua di samping air terjun dekat aliran sungai yang mengalir ke laut. Setelah memeriksa dan memastikan sekitar, dia menepuk-nepuk rerumputan. “Duduklah di sini.” “Disini ?” Aku beranjak duduk di rerumputan dan Nerissa duduk di belakangku. “Iya, lalu coba gulung kemeja Kakak.”

 

Aku menurutinya dan menggulung kemejaku. Tampak daging merah pekat yang merekah membentuk garis panjang, tampak jelas tergurat di kulit punggungku. Nerissa menggeleng-geleng dan menghela nafas pelan. “Sudah kuduga. Lukanya semakin parah.” Anak seusianya mungkin akan langsung histeris dan lari ketakutan melihat luka ini, tapi telapak tangannya justru dengan hati-hati menyentuh punggungku sejenak. “Sakit, ya ?”

 

Aku hanya tersenyum kecil. Sudah sering, jadi tak terlalu sakit. “Kelihatan, ya ?” Nerissa mendengus. Mengeluarkan obat-obatan yang ia bawa di ranselnya. “Bodoh saja kalau tidak tahu.”

 

Adikku pandai dalam segala hal, bahkan sangat peka dengan keadaan disekitarnya. Aku menatap Nerissa yang sudah selesai membalut luka di punggungku–yang untungnya masih bisa kutahan–berpindah posisi ke sampingku. “Oh !” Nerissa berseru, telunjuknya mengarah ke atas. “Kakak, coba lihat langitnya ! Itu galaksi Bimasakti !” Ujarnya takjub. Nerissa menundukkan pandangannya dan memuji pantulan bintang yang indah di permukaan laut.

 Adik yang kubanggakan. Satu-satunya sandaranku saat lelah. Aku mendongak menatap langit Bimasakti yang bertaburan bintang-bintang. Masa depanmu harus cemerlang seperti bintang.

 

~*~

 

Tapi, Nerissa. Terkadang aku,

 

Bruk !

 

Di atas meja, terdapat beberapa tumpukan buku tebal yang menjulang di hadapan Nerissa yang berusia 10 tahun. “Kalau ingin menjadi orang hebat, kau harus punya pemikiran yang berbeda dari orang biasa.” Di depannya, Ayah berdiri dengan tangan menggenggam tongkat panjang. “Nerissa, kau harus ingat beban keluarga yang kau sandang di namamu.”

 

Kemampuan jenius mu yang bisa menyerap apapun saat diajarkan, membuatku takut.

 

“Baik, Ayah.” Nerissa mengangguk dengan senyuman lebar, disertai tatapan dingin dan bercampur dengan niat yang menyala.

 

 juga cemas.

 

~*~

 

Waktu terus bergulir dan melesat tanpa terasa.

 

“Lagi ?” Nerissa menatapku sejenak. “Hari ini kan tidak ada waktu. Ayah sudah memanggilku.”

 

Belum sempat aku mengatakan sesuatu, Nerissa segera berjalan melewatiku dengan beberapa buku tebal di dekapan tangannya, dan tiba-tiba pelayan datang dari belakang, menghentikan ucapanku untuk mencegah Nerissa. “Tuan Ronan , tolong periksa buku besar ini bersama saya.”

 

Melihatku yang masih terdiam, pelayan bertanya bingung. “Ada apa ?” “Tidak, sepertinya hubunganku dengan Nerissa jadi canggung. Apa hanya perasaanku ?”

 

“Itu karena Anda berdua sudah dewasa. Anda berdua sibuk sekarang. Saya juga canggung dengan istri sendiri karena jarang pulang ke rumah.” Jawab pelayan tenang untuk menghiburku. Aku diam dan menatap pintu ruangan yang dimasuki Nerissa tadi. “Nerissa melakukan kelas Hidrodinamika ? tapi kenapa dia melakukannya di ruang kerja Ayah ?”

 

“Hmm, bagus juga.” Komentar Ayah melihat rancangan perdagangan laut dengan miniatur kapal diatas peta negara. Nerissa menunggu kelanjutan kalimat dengan tenang. “Inilah cara untuk menggali kelemahan dari perjanjian, tapi di tengah jalan juga bisa memberi keuntungan besar bagi kita. Perbaiki sedikit, lalu cepat laksanakan.”

 

“Setiap kali kau begini,” Ayah menangkupkan tangan di atas peta dan tersenyum puas. “Kau menunjukkan sosok penerusku yang membanggakan.” Ucapnya senang dan tatapan yang penuh ambisi. “Ayah jadi senang.”

~*~

 

“Ayah, apa-apaan ini ?” Aku menyergah bingung. Tampak puluhan orang meluncur dengan menaiki belasan jet ski besar, membawa tombak panjang dengan tabung berisi cairan hijau yang diikatkan di ujung tombak. Ayah tak menjawab. Hanya tersenyum. Aku merinding. Senyum kejam yang memperlihatkan ambisi besar nya itu, seketika membuatku sadar apa yang tengah dilakukannya.

 

Biasanya, aku selalu pasrah dan membiarkan saja semua perbuatan Ayah. Tapi seluruh kenangan ku akan laut, membuatku akhirnya bersuara. “Ayah, selama ini laut telah memberi kita kehidupan. Kita tidak bisa menghancurkannya hanya demi kekayaan pribadi Ayah!” Ucapku marah.

 

Ayah mendengus remeh. “Kau terlalu banyak berkhayal, Ronan. Jika kita tidak bergerak maju, kita akan tertinggal. Dunia ini tidak peduli pada mereka yang hanya menikmati laut tanpa mengambil manfaatnya.”

 

Aku menggenggam tangan Nerissa, berharap dia akan setuju denganku. Namun, yang mengejutkan, aku melihat sinar ambisi yang sama dengan milik Ayah. Ia menoleh, menatapku dengan senyum yakin. “Nerissa, kau tahu ini salah. Kita tidak bisa merusak laut demi keuntungan kita sendiri.” Ucapku berusaha membujuk.

 

“Kakak tidak perlu sok suci.” Ucapnya dengan raut muka dingin. Kalimat dan raut muka yang tak pernah kubayangkan akan ditunjukkannya padaku. “Selama ini Kakak juga menikmati hasil laut melalui semua cara yang Ayah lakukan. Tapi tenang saja, aku akan pastikan, Kakak masih bisa menikmati seluruh keindahan laut itu. Meski sayangnya, sebagian besar ada di penangkaran, bukan di lautan lepas.”

 

Dalam beberapa minggu, kapal-kapal keluarga kami berlayar megah di lautan, mengangkut emas dari kedalamannya. Bisnis berkembang, tambak-tambak menjalar, dan jaring-jaring tak pernah kosong. Ayah disebut raja di atas ombak, Nerissa sangat bangga menjadi pewaris kejayaan itu. Ia percaya bahwa semakin jauh kami menaklukkan lautan, semakin besar kejayaan keluarga kami.

 

Namun, laut bukan untuk ditaklukkan.

 

Ketika badai datang, tak ada tembok yang bisa menahan murkanya. Ombak meruntuhkan kapal-kapal, menggulung tambak, menghancurkan dermaga. Terumbu karang yang dulu warna-warni kini patah dan mati, ikan-ikan menghilang, meninggalkan hamparan perairan yang sunyi. Keuntungan yang dibanggakan lenyap dalam sekejap—tersapu gelombang yang selama ini mereka abaikan.

 

Kini, di sampingku, Nerissa berdiri dalam diam. Jemarinya menggenggam ujung bajunya dengan gemetar, matanya yang dulu berbinar penuh ambisi kini redup oleh penyesalan.

 

"Aku salah, Ronan," bisiknya, suaranya lebih lirih dari desau angin. "Aku buta. Aku hanya melihat angka dan kejayaan, tapi tidak melihat luka yang kita buat. Aku tak tahu apakah laut bisa memaafkanku."

Aku menatapnya lama, sebelum akhirnya menghela nafas panjang. Dulu, amarahku begitu besar—terhadap Ayah, Nerissa, dan manusia yang terus merusak lautan tanpa berpikir panjang. Tapi kini, yang tersisa hanyalah kesadaran bahwa sesal tak akan mengubah apa pun.

"Laut selalu memberi, bahkan setelah kita mengkhianatinya," ujarku tenang. "Mungkin, jika kita berhenti merampas dan mulai merawat, ia akan menyambut kita kembali."

 

Nerissa mengangguk perlahan, air matanya jatuh dan bercampur dengan angin asin yang membelai wajahnya.

 

Bersama, kami mengulurkan tangan pada sisa-sisa yang masih bertahan— memperbaiki segala hal yang masih bisa diperbaiki. Hingga akhirnya, burung-burung laut kembali bersarang di tebing, tunas bakau tumbuh di pasir, dan ombak kembali membawa bisikan yang lebih lembut.

 

Laut pernah memberi kami segalanya. Kini, kami memilih untuk tidak lagi mengambil, tapi memberi. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, kami merasa benar-benar pulang.