Cerpen Radja Ali Hadji
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Pagar laut atau struktur penghalang gelombang sudah ada sejak zaman kuno, namun penerapannya baru berkembang pesat pada abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia II. Pada masa itu, banyak negara yang mulai memperhatikan pentingnya perlindungan terhadap wilayah pesisir mereka dari ancaman gelombang laut yang lebih besar.
Sebuah struktur pagar yang di bangun di sekitar sisi pantai untuk melindungi wilayah sekitar dari ombak dan abrasi, ya itulah yang dinamakan “Pagar Laut”. Pembuatan Pagar Laut memiliki berbagai tujuan yaitu dapat mengurangi dapat mengurangi dampak ombak, mencegah abrasi, dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat serta dapat memperkuat ketahanan pesisir.
Pagar Laut juga dapat menjadi langkah mitigasi ancaman Tsunami, biasanya pagar ini dibuat dari bambu, beton, kayu atau material lainnya. Untuk membatasi akses ke perairan untuk alasan pribadi, seperti kegiatan perikanan atau keperluan lainnya.
Pagar laut dapat didefinisikan sebagai struktur buatan manusia yang dibangun di sepanjang pesisir untuk mencegah atau mengurangi kerusakan akibat erosi laut, banjir pasang, dan gelombang besar. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi tanah, properti, dan infrastruktur yang ada di sepanjang pantai, serta untuk menjaga ekosistem pesisir seperti mangrove dan terumbu karang.
Pagi itu, angin laut bertiup lembut, membawa aroma garam yang khas. Laut biru di kejauhan tampak tenang, meski sesekali ombak kecil menyapu pantai dengan riang. Di sebuah desa pesisir yang terpencil, tinggal seorang gadis bernama Gina. Ia lahir dan tumbuh di antara riuhnya suara gelombang dan debur ombak. Desa ini, meskipun kecil, penuh dengan kenangan yang mengikat hati Gina, terutama kenangan akan ayahnya, seorang nelayan yang sangat ia cintai.
Setiap kali melihat laut, Gina teringat pada ayahnya, yang dulu selalu mengatakan bahwa laut adalah rumahnya. Ayahnya sering berkata, "Laut ini tak akan pernah menghianatimu, Gina. Selalu ada pelajaran yang bisa dipetik darinya." Namun, setelah kecelakaan yang menimpa ayahnya beberapa tahun lalu, laut terasa semakin jauh dan asing.
Gina memutuskan untuk kembali ke pantai pagi itu, seperti yang biasa ia lakukan saat ingin merasa dekat dengan ayah. Ia duduk di atas batu besar di pinggir pantai, memandang horizon, dan membiarkan angin menyentuh wajahnya. Laut itu seperti mengingatkannya pada banyak hal akan kebahagiaan dan juga kehilangan.
Sejak kecelakaan itu, Gina merasa dirinya telah kehilangan arah. Kepergian ayahnya meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi. Keluarganya mencoba bertahan, tetapi banyak hal yang berubah. Ibunya kini mengelola warung kecil di pinggir jalan desa, dan Ginaa berusaha untuk membantu sebanyak mungkin. Namun, setiap kali ia melihat laut, rasanya seolah ada yang menghalangi dirinya untuk benar-benar melangkah maju.
Hari itu, Gina memutuskan untuk berjalan lebih jauh dari biasanya. Pagar laut yang dibangun di sepanjang pesisir untuk melindungi desa dari abrasi tampak kokoh, meskipun telah sedikit aus oleh waktu. Ia mendekati pagar itu, memegangnya dengan tangan, dan merasakan getaran yang seakan memberikan kenyamanan.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakang. Gina menoleh dan melihat seorang lelaki tua berjalan perlahan menghampirinya. Lelaki itu mengenakan topi jerami dan pakaian yang lusuh, wajahnya penuh kerut, namun matanya memancarkan kedalaman yang sulit dijelaskan. Gina tahu siapa dia. Itu Pak Galih, salah satu tetua desa yang juga seorang nelayan tua.
Pak Galih tersenyum dan duduk di sebelah Gina, mengamati laut yang sama. "Laut ini, Gina, selalu mengajarkan kita untuk tidak takut akan perubahan. Ia terus bergerak, meskipun terkadang kita merasa terhimpit oleh gelombang," kata Pak Galih, suaranya lembut namun penuh makna.
Gina terdiam, menatap laut yang berkilauan. "Tapi, Pak, laut juga yang membuatku kehilangan banyak hal. Ayah... Ia pergi saat tengah mencari ikan di laut. Sejak itu, aku merasa tidak bisa percaya lagi pada laut."
Pak Galih mengangguk, seolah memahami perasaan Gina. "Aku tahu. Kehilangan itu memang sulit, dan laut bukanlah tempat yang mudah dimengerti. Tapi ingatlah, Gina, bahwa setiap gelombang yang datang juga membawa pelajaran. Laut tidak selalu tenang, tapi ia selalu kembali pada kedamaian setelah badai. Dan begitu juga dengan hidup kita. Setiap perpisahan adalah bagian dari siklus yang lebih besar."
Gina menunduk, menyeka air mata yang mulai mengalir. "Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa ayah. Aku tidak tahu bagaimana menghadapi hari-hari yang kosong tanpa dia."
Pak Galih menyentuh bahunya dengan lembut. "Terkadang, kita hanya perlu memberi waktu pada diri sendiri, Gina. Laut pun membutuhkan waktu untuk kembali tenang setelah badai besar. Jangan terburu-buru mencari jawabannya. Cobalah untuk menemukan kedamaian di dalam dirimu. Ayahmu ingin kamu hidup bahagia, dan dia pasti ingin kamu tahu bahwa, meskipun dia sudah tidak ada, dia tetap ada di dalam dirimu."
Gina mengangkat wajahnya, menatap Pak Galih dengan mata yang kini lebih tenang. Ia merasa seperti mendapatkan sedikit ketenangan dalam hatinya. Mungkin memang benar apa yang dikatakan Pak Galih. Kehilangan itu memang tak akan hilang, tetapi waktu dan pengertian akan membantunya untuk menemukan kembali kedamaian.
Laut masih terus bergulung dengan ombak-ombaknya yang berirama, tak pernah berhenti. Begitu pula hidup, yang terus berputar meski terkadang penuh dengan kesedihan dan kehilangan. Gina tersenyum kecil, merasakan kehangatan yang kembali mengalir dalam dirinya. Mungkin, ia belum siap sepenuhnya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Laut ini, yang dulu terasa begitu menakutkan, kini seolah memberinya kekuatan untuk melangkah ke depan.
Pak Galih berdiri dan mengulurkan tangannya. "Ayo, Gina. Mari kita pulang. Laut menunggu, tapi hidup juga harus diteruskan."
Gina mengambil tangan Pak Galih, dan bersama-sama mereka berjalan kembali menuju desa, meninggalkan jejak-jejak kaki di atas pasir yang mulai dipenuhi air pasang. Pagar laut yang kokoh berdiri di sepanjang pantai, melindungi desa dan masa depan mereka.
Langit di atas mereka begitu luas, seolah mengingatkan bahwa meskipun banyak yang telah pergi, ada banyak hal yang masih bisa dipelajari dan diterima di bawah langit yang sama.
Saat mereka melangkah pulang, Gina merasa seolah ada beban yang terangkat dari dadanya. Laut yang dulu tampak menakutkan kini terlihat lebih ramah. Setiap gelombang yang datang seperti mengingatkannya pada ayah, yang meskipun sudah tiada, tetap ada dalam setiap kenangan dan ajaran yang ditinggalkannya. "Aku akan mencoba, Pak," bisik Maya dalam hati. "Aku akan mencoba untuk kembali percaya."
Gina menatap laut terakhir kali sebelum berbalik. Di kejauhan, matahari mulai tenggelam, memberi cahaya keemasan yang menyentuh permukaan air. Tiba-tiba, segala kesedihan terasa sedikit lebih ringan, seiring dengan datangnya harapan yang baru.
Gina melangkah dengan langkah yang lebih pasti. Angin laut berbisik lembut, seolah memberikan restu. Ia tahu, meskipun perjalanan hidupnya masih panjang, ia tidak lagi harus berjalan sendirian. Laut, dengan segala kedalamannya, mengajarkan bahwa setiap kehilangan membawa kemungkinan untuk menemukan kembali kedamaian. Ia akan belajar untuk menerima dan melangkah maju, seperti ombak yang tak pernah lelah kembali ke pantai.
Dengan senyum yang mulai merekah, Gina melanjutkan langkahnya, merasa lebih kuat dan siap menghadapi masa depan, apapun yang akan datang. Laut telah mengajarkan pelajaran yang paling berharga untuk terus maju meski badai menghadang.