Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Rafif Razzaaqu Firdaus | Pagar Laut di Pantai Indah Kapuk

Cerpen Rafif Razzaaqu Firdaus 



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Langit senja di Pantai Indah Kapuk 2 (PIK 2) memancarkan warna keemasan yang memukau.


Angin sepoi-sepoi laut membelai rambutku, membawa serta aroma asin yang khas. Aku duduk di salah satu bangku taman yang menghadap ke laut, menikmati pemandangan yang terhampar di hadapanku.Di sepanjang garis pantai Tangerang, sebuah pagar laut perlahan mulai terbentang, memisahkan antara kebebasan alam dan kehendak manusia. Pagar itu bukan sembarang pagar. Dibuat dari bambu-bambu besar yang diikat dengan kuat, pagar itu menjulang di tengah laut, membatasi ruang yang dulunya bebas diakses oleh nelayan dan orang-orang yang mencintai laut. Tidak ada yang menyangka, pagar yang sederhana itu akan memicu keresahan di hati banyak orang.


Darma, seorang nelayan yang telah menghabiskan hidupnya di perairan sekitar Pantai Indah Kapuk (PIK), melihat pagar laut itu untuk pertama kalinya pada pagi yang cerah. Laut yang biasanya terbuka luas, kini terlihat terhalang oleh pagar bambu yang melintang tanpa ujung. Ia tertegun sejenak, merasakan perubahan yang begitu besar.Darma adalah salah satu nelayan yang hidup di sekitar kawasan PIK 2 Tangerang. Sejak kecil, ia mengenal laut sebagai teman yang setia. Laut tidak hanya memberi kehidupan bagi keluarganya, tetapi juga menjadi sumber kebahagiaan dan ketenangan. Namun, kini, dengan munculnya pagar laut itu, ia merasa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi.


“Bapak, apa ini?” tanya Hadi, anak lelaki Darma yang baru berusia 12 tahun, sambil menunjuk ke arah pagar laut.


Darma hanya menggelengkan kepala. Ia tidak bisa menjelaskan kepada anaknya, bahwa sesuatu yang selama ini menjadi bagian hidup mereka, kini mulai diambil alih oleh kepentingan yang lebih besar. PIK 2, sebuah proyek yang kabarnya akan mengubah wajah Tangerang, kini mulai memperlihatkan dampaknya.Meskipun belum ada pernyataan resmi dari pihak berwenang, Darma menduga pagar itu berkaitan dengan proyek reklamasi yang tengah berlangsung di PIK 2. Sejumlah rumor yang beredar mengatakan bahwa pagar laut tersebut bertujuan untuk memisahkan kawasan pantai yang akan dikembangkan untuk ekowisata dan kawasan nelayan yang telah lama menghuni perairan tersebut.

 

Darma merasa dunia yang dikenalnya semakin menyempit. Ia teringat akan obrolan di warung kopi bersama nelayan lainnya beberapa hari yang lalu. Mereka berbicara tentang bagaimana tanah dan laut mereka perlahan-lahan diambil alih demi pembangunan, dan kini pagar laut itu menjadi simbol nyata dari apa yang mereka khawatirkan.


“Seperti kita hanya tinggal menunggu untuk diusir,” kata teman Darma, Pardi, saat itu. “PIK 2 ini bisa jadi alasan mereka untuk membuat kita pergi dari sini.”Pagi itu, Darma dan Pardi berangkat menuju tempat pemasangan pagar laut. Mereka memutuskan untuk melihat lebih dekat dan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini. Setelah berjalan sejauh beberapa kilometer, mereka tiba di sebuah pos yang dijaga oleh beberapa orang berseragam.


“Ini proyek siapa?” tanya Darma langsung, sambil menatap pagar yang terlihat makin menjulang di sepanjang pantai.


Salah seorang petugas yang berjaga mengangkat bahu. “Kami hanya pengawas. Semua keputusan ada di tangan perusahaan yang mengelola kawasan PIK 2. Kami cuma menjalankan tugas.”


Darma merasa ada yang tidak beres. Mengapa perusahaan besar bisa begitu leluasa membangun sesuatu di laut tanpa melibatkan masyarakat sekitar? Di mana pemerintah yang seharusnya melindungi hak mereka sebagai nelayan?Hari-hari berlalu dengan ketegangan yang semakin terasa. Darma mencoba mencari tahu lebih banyak tentang proyek ini, berusaha menghubungi beberapa pihak terkait. Namun, semakin ia menggali, semakin dalam pula kebingungannya. Pihak pengembang, PT Pantai Indah Kapuk Dua, yang mengelola proyek PIK 2, tidak memberikan penjelasan yang memadai. Mereka hanya mengatakan bahwa pagar laut tersebut dibuat untuk menjaga ekosistem dan memperkuat penataan pantai untuk pengembangan ekowisata.


Namun, bagi Darma, itu terdengar seperti alasan untuk menutupi kepentingan lain. Ia merasakan ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar ekowisata. Pagar itu mungkin hanya bagian kecil dari rencana reklamasi yang akan mengubah seluruh wajah perairan di sekitar PIK 2. Nelayan seperti dirinya akan kehilangan tempat untuk melaut, dan pantai yang dulu menjadi rumah mereka kini akan disulap menjadi kawasan komersial yang jauh dari kehidupan mereka.Suatu malam, saat Darma sedang duduk di beranda rumahnya, ia mendapat kunjungan tak terduga. Seorang pria paruh baya, berpakaian rapi, datang menghampirinya.


“Kamu Darma, kan?” tanya pria itu. Darma mengangguk. “Betul, ada apa?”


Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai seorang advokat yang bekerja untuk kelompok masyarakat yang peduli terhadap dampak proyek PIK 2. Mereka telah mendengar keluhan para nelayan dan ingin membantu agar suara mereka didengar.


“Kami tahu betapa pentingnya laut bagi kalian,” kata pria itu dengan nada serius. “Kami akan membantu kalian melawan pemasangan pagar laut ini. Kami percaya ini adalah langkah yang merugikan banyak pihak, termasuk nelayan.”


Darma merasa sedikit lega mendengar tawaran itu. Ia tahu perjuangan ini tidak akan mudah, tetapi ia merasa lebih kuat dengan dukungan yang mulai datang.


Mataku tertuju pada pagar laut yang membentang sepanjang pantai. Pagar itu tampak kokoh dan kuat, melindungi pantai dari terjangan ombak. Aku jadi teringat akan cerita tentang pembangunan pagar laut ini. Berawal dari seseorang yang ingin merencanakan pembangunan perumahan di atas laut sana. Pagar laut itu di kuasai oleh perusahaan PT Intan Agung Makmur yang memiliki sertifikat HGB sebanyak 234 bidang dan PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang.


PT itu ingin membuat proyek strategis nasional (PSN). yang berfokus pada pengembangan kawasan ekowisata Tropical Coastland seluas sekitar 1.755 hektare. Namun, manajemen PIK 2 melalui kuasa hukum mereka, Muannas Alaidid, membantah keterlibatan dalam pembangunan pagar laut tersebut. Mereka menegaskan bahwa pagar laut itu tidak berada dalam area proyek PIK 2 dan tidak memiliki kaitan dengan pengembangan yang mereka lakukan.Mereka menyatakan bahwa pagar laut yang terbuat dari bambu itu tidak masuk ke dalam kawasan PSN PIK 2 dan tidak ada kaitannya dengan proyek mereka.

 

Beberapa minggu kemudian, perlawanan terhadap pagar laut di PIK 2 mulai berkembang.


Komunitas nelayan yang dipimpin oleh Darma dan kelompok masyarakat lainnya mengadakan demonstrasi damai untuk menuntut transparansi dan keadilan. Mereka menuntut agar pemerintah dan pengembang proyek memberi penjelasan yang jelas tentang dampak proyek ini terhadap kehidupan nelayan dan ekosistem laut.


Berita tentang perlawanan ini pun menyebar luas. Media mulai meliput kisah nelayan yang berjuang mempertahankan hak mereka atas laut, yang kini terancam oleh proyek besar yang mereka tidak pernah setujui.Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, pemerintah dan pihak pengembang PIK 2 setuju untuk melakukan evaluasi ulang terhadap proyek reklamasi tersebut. Mereka menyepakati untuk melakukan dialog terbuka dengan masyarakat, untuk mencari solusi yang lebih adil dan berkelanjutan.


Darma berdiri di tepi pantai, melihat pagar laut yang kini mulai dipangkas sedikit demi sedikit. Ia tahu perjuangan ini belum selesai, tetapi hari ini ia merasa sedikit lebih tenang. Laut tetap menjadi rumahnya, dan selama masih ada kesempatan, ia akan berjuang untuk mempertahankannya.


Dan meskipun pagar laut itu mungkin masih ada, Darma tahu bahwa semangat perjuangan untuk melindungi laut dan kehidupan mereka akan tetap mengalir seperti ombak yang tidak pernah surut.