Cerpen Rahmat Hidayat Keliat
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Jaya adalah seorang bocah kelas 5 SD yang tinggal di Desa Rangkulan, sebuah desa yang terletak di pinggir pantai. Setiap hari, warga Desa Rangkulan, termasuk ayah Jaya, pergi melaut untuk menjaring ikan, kemudian dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ikan-ikan yang ada di laut tersebut bisa dikatakan berlimpah ruah, sehingga kehidupan nelayan di sana bisa dikatakan berkecukupan.
Hari ini ayah Jaya pulang dari melaut, membawa ikan segar untuk disantap serta sebuah teropong yang telah dijanjikannya sebagai hadiah juara kelas Jaya.
“Ini, Nak. Maaf ya ayah baru bisa kasih hadiahnya sekarang….” Jaya pun dengan girang menerima teropong tersebut sambil mengucapkan, “Wahh, teropongnya keren, loreng-loreng… terima kasih, Ayah!”
Tak lama kemudian, ibu Jaya datang menghidangkan ikan sambal ke meja makan. Mereka pun makan dengan lahap.
Hari berganti hari, kehidupan warga Desa Rangkulan terihat asri. Hingga pada suatu hari, ketika ayah Jaya pulang dari laut dengan ikan yang lebih sedikit dari biasanya.
“Hari ini rezeki kita lebih sedikit dari biasanya,” ucap ayah Jaya kepada si ibu.
“Tidak apa-apa, Pak. Masih cukup kok untuk sehari-hari kita,” ucap ibu menenangkan ayah. Setelah itu, ibu Jaya melangkah ke dapur sambil membawa ikan yang dijaring untuk dibikin masakan.
Keesokan harinya, ayah Jaya pulang dengan membawa ikan yang lebih sedikit dari kemarin. Begitu juga keesokan harinya. Semakin hari, semakin sedikit. Hingga akhirnya ayah Jaya cuma bisa membawa beberapa ikan yang hanya cukup untuk mereka makan saja.
Apa yang dirasakan ayah Jaya pun juga dialami oleh nelayan lainnya. Biasanya mereka menjaring ikan di laut lepas dengan bebas. Sekarang, dengan sedikitnya jumlah ikan, mereka seolah-olah bersaing satu sama lain untuk membawa pulang ikan yang banyak.
Jaya yang masih bocah itu pun heran, “Kenapa laut hanya memberikan sedikit ikan kepada ayah?” Apa laut sedang sakit?” Ia pun keluar rumah dan pergi ke pantai memandang laut. Terlihat oleh Jaya ada sesuatu yang aneh dengan laut itu. Biasanya laut membawa ombak yang gemulai dan saling bersahut. Namun ia tak melihat adanya ombak itu. Seolah-olah laut yang dilihatnya sangat tenang, membuatnya merasa tak nyaman.
Kabar angin pun mulai berembus di Desa Rangkulan. Katanya ada makhluk halus yang menghalangi masuknya ikan ke lautnya. Makhluk halus itu pun juga katanya melontarkan kembali ombak yang datang ke pantai desanya. Jaya yang masih polos ini pun akhirnya berniat untuk pergi ke laut, mencari makhluk halus itu. Ia ingin membujuknya agar pindah dari lautnya.
Berbekal perahu cadangan milik sang ayah yang diparkirkan di pantai, Jaya pun berangkat ke laut malam-malam. Jaya mampu mengemudikan perahu tersebut, karena dulu sering ikut ayahnya melaut. Suara mesin perahu pun memecah heningnya laut, serta sebuah lampu petromax pun menemani sepinya perjalanan Jaya. Setelah cukup jauh berlayar, mungkin sudah berkilo-kilometer, Jaya pun melihat sekitarnya. “Gelap,” pikirnya.
Jaya kemudian memberanikan diri untuk berteriak, memanggil makhluk halus tersebut. “Tuan Makhluk Halus, Tuan Makhluk Halus!” Namun tak ada jawaban, kecuali siulan angin.
Jaya mulai putus asa. “Mungkin Tuan Makhluk Halus tidak di sini,” pikirnya. Ia pun berencana untuk berlayar lebih jauh lagi, namun, gelapnya suasana laut membuatnya merasa takut.
Saat ia mulai bersiap-siap untuk kembali pulang, Jaya melihat kepala perahunya mulai bersinar. Ia pun melihat ke atas, ternyata awan mulai berpindah, ditiup angin. Sinar bulan pun akhirnya terpancar, seolah ingin mengalahkan terangnya petromax yang sebelumnya menemani Jaya dalam kegelapan.
Melihat awan telah bergeser, Jaya pun mengangkat teropong yang dikalungkannya itu. Ia pun melihat sekitarnya melalui lensa pembesar itu. Akhirnya ia melihat sesuatu seperti jembatan di tengah laut. Jaya bergegas menyalakan kembali mesin perahunya, kemudian pergi ke sana. Sesampainya, ia melihat ke bahwa itu bukan jembatan, namun tumpukan bambu yang ditancapkan ke bawah laut, membentuk sebuah pagar. Pagar yang melintang sejauh mata memandang itu terlihat sangat tebal dengan celah yang sangat kecil, membuat ombak yang riang menjadi lesu saat menghantam pagar tersebut. Ikan-ikan pun terlihat sulit menerobos pagar tersebut, kecuali yang terbawa ombak tinggi.
Jaya pun berpikir, “Ini pagar milik siapa? Kok bisa ada pagar di laut? Pagar kan biasanya di rumah, di tanah. Ini pagar siapa?”
Heran dengan keberadaan pagar, dia pun pulang untuk memberitahu ke ayahnya. Sesampainya di rumah. Jaya mengadu ke ayahnya. Sang ayah yang mendengar itu pun kemudian memberitahu warga lainnya. Akhirnya kabar itu pun sampai ke seluruh telinga warga desa.
Para nelayan kemudian berbondong-bondong ke kantor desa untuk mengadu ke Kepala Desa Rangkulan, Pak Marwan. Mendengar penjelasan mereka, Pak Marwan kaget. Ia mengaku tak tahu di laut ada pagar. Ia pun bingung sejak kapan pagar tersebut sudah ada di laut.
Mendengar jawaban Pak Marwan, para warga pun semakin yakin bahwa pagar tersebut dibangun oleh makhluk halus untuk menghalangi ikan mendekat.
Karena kabar mengenai makhluk halus itu semakin besar, Jaya pun mencoba untuk kembali ke laut dan mencari Tuan Makhluk Halus itu. Ia berpikir, kalau pagar itu ulahnya, berarti dia ada di sana.
Malamnya, Jaya kembali melaut. Untungnya, langit malam itu lebih bersahabat, sehingga sekitar laut terlihat dengan jelas. Tak perlu waktu lama, ia pun datang ke pagar tersebut. Jaya kembali memanggil-manggil makhluk halus itu. Namun sama seperti kemarin, ia tak mendapat jawaban.
“Jangan-jangan Tuan Makhluk Halus berada di ujung pagar ini? Tapi, sampai mana pagar ini melintang ya?” Jaya mulai ragu untuk mengikuti ke mana pagar ini berujung. Namun, karena rasa penasarannya yang tinggi. Ia pun akhirnya mengikuti lintangan pagar itu.
Setelah setengah jam mengikuti pagar tersebut, langit mulai tertutup awan. Sekitar laut pun kembali menggelap. Lampu petromax kembali menjadi sumber penerangan Jaya… dan sebuah lampu dari kapal lain. Kapal siapa itu?
Jaya pun melihat ada sebuah kapal lain jauh di depannya. Tak tahu kenapa, Jaya segera mematikan mesin dan lampu petromaxnya. Ia pun mengangkat teropong hadiah dari ayahnya itu. Dari lensa terebut, ia melihat sebuah kapal berukuran sedang. Tampak dari buritan kapal tersebut setumpuk bambu panjang dan tebal. Ia kaget saat mendapati di dalam kapal tersebut ada Pak Marwan bersama dua warga desa. Pak Marwan terlihat seperti sedang menyuruh warga untuk mengangkat bambu. Kedua warga itu pun mengangkat bambu tersebut, kemudian menancapkannya ke dalam laut. Jaya yang melihat dengan jelas bagaimana satu per satu bambu yang tergeletak di kapal itu ditancap ke laut, akhirnya paham bahwa pagar ini bukan ulah makhluk halus, tapi ulah Pak Marwan.
Setelah semua bambu di kapal tersebut ditancapkan, Pak Marwan bersama dua warga desa itu pun bergegas pulang. Jaya pun demikian, ia menyalakan kembali perahunya dan pulang untuk mengadukan apa yang dilihatnya.
Sesampainya di rumah, Jaya pun menjelaskan apa yang telah dilihatnya. Ayah Jaya bersama warga akhirnya melaporkan kejadian tersebut ke polisi. Tak perlu waktu lama, akhirnya polisi berhasil menemukan tumpukan bambu di gudang belakang rumah Pak Marwan. Pak Marwan beserta dua warga yang memagari laut itu akhirnya ditangkap. Pagar dibongkar, dan ikan-ikan kembali datang, memenuhi jaring-jaring nelayan.
Lalu, kenapa Pak Marwan memagari pagar? Terungkap bahwa Pak Marwan ingin para warga menjual rumah dan tanahnya. Sebab, sebulan sebelumnya, Pak Marwan dihubungi oleh seorang pengusaha yang berencana membeli seluruh lahan di desa tersebut. Ia berniat menjadikan lahan di desa tersebut sebagai hunian eksotis dan pusat perbelanjaan.
Pak Marwan kemudian menawarkan apa ada warga yang ingin menjual tanahnya. Tak ada satu pun warga yang berminat. Mereka merasa ikan di laut ini berlimpah ruah, membuat mereka hidup berkecukupan.
Namun karena termakan ambisi yang sangat besar, pengusaha itu pun mencoba menyogok Pak Marwan agar warganya tidak betah tinggal di sana. Pak Marwan menerima sogokannya, Uang ratusan juta kemudian dikirimkan keesokan harinya, tanpa diketahui siapa pengirimnya. Pak Marwan kemudian segera memagari laut agar warga desa kesusahan.
Siapa pengusaha yang berambisi itu? Pak Marwan menyebut namanya ke polisi. Namun, polisi tak bisa menemukan siapa orangnya. Sepertinya pengusaha itu menggunakan nama palsu saat memperkenalkan dirinya ke Pak Marwan. Nomor gawainya pun tidak aktif lagi saat dihubungi, kemungkinan si pengusaha sudah tahu kabar tentang penangkapan Kades Rangkulan. Polisi saat ini masih berusaha melacak dan menangkap pengusaha tersebut. Kini keberadaannya bagaikan makhlus halus, ada tapi tak tahu di mana…. (Selesai)