Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Rais Abdulkarim | Kenangan yang Terkurung

Cerpen Rais Abdulkarim



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Deburan ombak, suara itulah yang selalu mengingatkan Nor pada masa kecilnya di Kampung Laut Biru. Dulu, setiap hari, ia dan teman masa kecilnya Rei akan bermain di tepi pantai, berlari-lari, tertawa riang tanpa beban. Mereka merasakan kebebasan dunia ini adalah keindahan, dan laut bagai sahabat yang melambangkan kebebasan mereka, saat ombak- ombak memeluk kaki mereka, saat kapal-kapal nelayan melaju melintasi cakrawala, menantang gelombang dan angin.


Namun, hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda. Nor memutuskan merantau, meninggalkan kampung halamannya, demi mengejar pekerjaan di kota-kota besar. Sedangkan Rei memutuskan untuk tinggal, melanjutkan hidupnya sebagai seorang nelayan, mengikuti jejak sang Ayah. Keduanya berjanji, meski berbeda kota, meski sangat jauh, mereka akan bertemu kembali di laut yang sama, tempat mereka bisa terasa bebas, tanpa terikat apapun.


Tahun demi tahun berlalu dengan cepat, Nor sedang duduk menikmati istirahat di meja kerjanya sambil meminum teh, ia tiba-tiba terpikir sudah berapa lama ia tidak memikirkan Kampung Laut Biru. Kesibukannya di kota membuatnya lupa akan tempat ia dibesarkan. Jika dulu ia sering merindukan suara ombak dan angin laut, kini pikirannya hanya dipenuhi oleh tugas-tugas dan rapat-rapat yang tiada henti. Baginya, kampung halaman hanyalah kenangan yang perlahan memudar, tenggelam dalam kesibukan kota.


Tetapi, seketika tatapannya terfokus pada layar ponsel. Sebuah headline berita menarik perhatiannya: ” Pagar Laut Menyebabkan Nelayan Desa Kampung Laut Biru Kesusahan Mencari Ikan.” Ia terdiam sejenak, menekan berita tersebut untuk membaca lebih lanjut.


Berita itu berbicara tentang sebuah pagar besar yang dipasang sepanjang pantai, membatasi laut yang dulu lepas dan bebas. Nelayan yang mengandalkan laut untuk hidup, kini terpaksa mencari jalan baru.


Nor menelan ludah, merenung, ia lebih terdiam dari sebelumnya. Bayangannya langsung kembali ke kampung halamannya, Kampung Laut Biru, tempat ia dibesarkan. Dulu, ia bisa menyebutkan nama setiap perahu nelayan yang berlabuh. Sekarang, ia bahkan lupa kapan terakhir kali merasakan pasir pantai di kakinya. Laut yang dulu adalah sahabatnya, tempat ia dan Rei menghabiskan waktu bersama, bermain sepanjang hari, dan berlarian di tepi pantai. Laut itu, yang melambangkan kebebasan bagi mereka berdua, sekarang telah terpenjara.

 

Nor menggenggam ponselnya dengan erat. Haruskah ia pulang? Apakah itu masih rumahnya? Sudah bertahun-tahun ia hidup tanpa menoleh ke belakang. Tapi semakin ia mencoba mengabaikan perasaan itu, semakin kuat panggilan laut di hatinya Hatinya bergetar, banyak yang berubah sejak ia merantau ke kota besar. Kesehariannya yang sibuk, penuh dengan pekerjaan dan kesibukan yang tak ada habisnya, membuatnya lupa akan kampung halamannya. Tapi saat membaca berita itu, entah mengapa, ada sesuatu dalam dirinya yang tergerak, memanggilnya kembali. "Laut…" bisiknya pelan. "Aku harus pulang."


Perasaan rindu tercampur sedih, dan keingintahuannya untuk mengetahui apa yang telah terjadi pada kampung dan laut yang dulu ia kenal begitu mendalam. Nor merasa seakan-akan laut itu memanggilnya, memintanya untuk kembali, meskipun ia tahu laut itu sudah tidak seperti yang ia ingat. Ia tidak bisa lagi menghindari kenyataan bahwa waktu telah mengubah segalanya.


Dengan hati yang penuh keraguan, Nor memutuskan untuk pulang. Keputusan itu terasa seperti sebuah panggilan yang tidak bisa ia tolak. Laut yang dulu bebas kini terpenjara, begitu juga dirinya yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang tak pernah memberinya ruang untuk merasakan kebebasan yang dulu ia rasakan bersama Rei dan laut.


Sunyi. Itulah suasana yang Nor rasakan saat tiba di Kampung Laut Biru. Namun, ini bukanlah sunyi yang menenangkan seperti dulu, ini keheningan yang berat dan menyesakkan. Suasana yang dulu akrab kini terasa asing, seperti tempat yang pernah ia kenal sudah tidak ada dan telah menjadi bayangannya sendiri. Pagar panjang itu tampak membatasi pandangannya, dan laut yang pernah begitu lepas kini tampak terkekang, ombaknya tak lagi berani menghantam pantai dengan bebas. Tatapan Nor ke laut begitu lama, ia merasakan kehilangan yang mendalam di dalam hatinya.


Nor menggenggam pasir di tangannya, tapi tidak ada kehangatan yang ia ingat dari masa kecilnya. Tangannya mengepal, menahan sesuatu yang sulit ia ungkapkan. Dulu, tempat ini adalah rumahnya. Sekarang, tempat ini terasa seperti tempat asing yang hanya menyisakan sisa-sisa kenangan.


Langkah-langkah Nor terasa semakin berat. Setiap jejak yang ditinggalkan di pasir seakan mengingatkan pada waktu yang tak bisa diputar balik. Perahu-perahu nelayan yang dulu terparkir di pantai kini tergerus oleh waktu, menyisakan bekas-bekas kenangan. Laut yang dulu luas kini terasa sempit, terbatas oleh pagar yang terus menghalangi pandangannya.

 

Namun di balik itu, ada sebuah suara kecil di hatinya yang berkata, "Ada yang harus dilakukan." 


Saat Nor berjalan mengitari tepi pantai, Nor melihat sosok yang sudah lama tak dilihatnya, hatinya berdegup kencang. Rei, dengan wajah lelah dan penuh kesedihan, menatap laut yang terpenjara. Ketika mata mereka bertemu, seakan waktu berhenti sejenak, namun ketegangan di udara begitu nyata. Ada banyak hal yang tak terucapkan, dan Nor merasa beban yang sama beratnya seperti saat mereka dulu berpisah.


"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, Rei," Nor akhirnya mengakui dengan suara yang serak. "Aku terlalu lama mengabaikan semuanya."


Rei memutar tubuhnya perlahan, matanya menunjukkan emosi yang sulit diartikan. "Kau  kembali, Nor. Tapi apakah kau benar-benar kembali untukku atau hanya karena berita yang beredar itu?"


Nor terdiam, merasa ia seperti telah tersandung kata-kata itu. "Aku… aku datang untuk mengetahui apa yang terjadi," jawabnya, meskipun ia pun tahu itu tak sepenuhnya benar.


Rei terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Semoga itu cukup, Nor,” jawabnya pelan, namun suaranya menyimpan kekecewaan yang tak bisa disembunyikan.


Nor hanya mengangguk, kemudian duduk di samping Rei. "Aku membaca berita tentang pagar laut itu," ujarnya pelan. "Aku tidak bisa hanya tinggal diam di sana. Aku merasa seperti laut itu… terpenjara. Aku merasa seperti aku juga terpenjara Rei."


Rei mengangguk pelan, matanya menatap laut yang kini sudah. “Aku tahu. Mereka bilang, ini keputusan terbaik untuk semua orang. Tapi bagaimana bisa terbaik kalau banyak yang kehilangan mata pencaharian? Laut ini bukan hanya milik mereka yang punya kuasa, laut ini rumah kita, simbol kebebasan kita, dan sekarang itu telah direnggut oleh mereka.”


Nor menundukkan kepala, merasakan betapa pahitnya kenyataan ini. "Aku kira aku sudah melupakan semuanya. Tapi saat membaca berita itu, aku merasa seperti laut memanggilku kembali. Aku harus datang. Aku harus melihatnya sendiri."


Rei tersenyum tipis, meski ada keheningan di antara mereka. "Laut ini masih ada di dalam hati kita, Nor. Meskipun ada pagar, meskipun ada perubahan, kita masih bisa merayakan kenangan itu. Kita masih bisa merasakan kebebasan kita, meskipun caranya sudah berbeda."

 

Nor mengangguk, dan untuk pertama kalinya sejak ia pulang, ia merasa ada ketenangan yang menghampiri dirinya. Laut yang terpenjara, kampung yang berubah, semuanya memang tidak bisa dikembalikan seperti dulu. Tapi yang lebih penting adalah bagaimana mereka merayakan kenangan itu, bagaimana mereka tetap menjaga ikatan itu meskipun waktu terus berjalan.


"Terima kasih sudah menungguku, Rei," kata Nor dengan suara yang lebih tegas, meskipun masih ada nada kekhawatiran yang menghantui. "Aku mungkin tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, tapi aku tahu kita bisa menemukan cara untuk hidup dengan perubahan ini."


Rei hanya tersenyum, menatap laut yang terkurung di balik pagar besi. "Kita akan selalu menemukannya, Nor. Laut ini tidak akan pernah hilang dari kita, meskipun ada pagar."


Mereka duduk bersama, menatap laut yang terpenjara, namun di hati mereka, kebebasan tetap ada, terlepas dari segala halangan yang ada di luar sana.