Cahaya matahari yang bersinar terik, menembus jendela kamarku yang entah
sejak kapan sudah terbuka, sehingga membuatku terbangun dari tidur. Sejenak aku
hanya menatap langit-langit kamar dan memandang sekeliling kamar, lalu aku
bergegas untuk menemui Bapak yang hendak pergi dengan perahu kecil
kesayangannya. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru
kembali lagi ke rumah tadi subuh. Kenapa sekarang Bapak siap-siap ingin
berlayar lagi?
Aku berjalan menghampiri Bapak dan berkata “bolehkah aku ikut berlayar
dengan Bapak?” sejenak Bapak ragu dengan permintaanku.
Tidak, bukannya Bapak tidak mengizinkanku, hanya saja, seperti ada yang
mengganjal di hati Bapak. Pada akhirnya pun aku diizinkan untuk ikut bersama
Bapak, tentunya dengan syarat ‘tidak boleh nakal’ katanya.
Kakiku bergerak ke arah perahu kecil milik Bapak. Aku merasakan angin
berhembus sangat keras di telingaku. Saat aku sudah berada di perahu kecil
milik Bapak, Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku
dan ombak yang terus membuat perahu Bapak terombang ambing. Kumohon… kali
ini pun, jaga kami.
Di kejauhan, aku menemukan sesuatu yang aneh. Tampak deretan pagar yang
memanjang dan menjulang tegak di permukaan laut, memisahkan laut dari pantai.
Namun, entah mengapa, pagar itu menarik perhatianku. Aku memutuskan untuk
mendekat. “Pagar apa itu pak?” tanyaku.
"Itu 'pagar laut', Nak. Katanya, untuk melindungi pantai dari
abrasi," jawab Bapak dengan nada sedih. "Tapi, lihatlah, pagar itu
justru membuat laut marah."
Sejak pagar laut dibangun, hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Ombak
yang dulu ramah, kini menjadi ganas, menerjang perahu-perahu kecil mereka.
Ketika aku dan Bapak mendekati pagar itu, aku merasakan angin seolah berbisik,
memanggilku untuk melangkah lebih dekat. Di balik pagar, terlihat lautan yang
tidak biasa. Ombak yang dulu tampak tenang kini bergetar, seolah menyimpan
rahasia di dalamnya. Aku merasa gelisah, namun juga penasaran. Apa yang ada di
balik pagar laut ini?
Ketika matahari mulai tenggelam, aku melihat sesuatu yang aneh, seperti
garis-garis berkilau yang membentang di permukaan air. Aku menjarakkan
pandanganku dan mengerutkan dahi. "Apa itu?" gumamku sambil meraih
teropong.
Bapak mengangguk, merasa bingung. "Tapi tidak ada pulau yang terlihat
di dekat sini. Ayo kita dekati."
Perahu kecil milik Bapak, berlayar lebih dekat ke garis misterius itu.
Ketika sampai di dekatnya, aku terkesima. Pagar luar biasa terbuat dari
batu-batu karang yang indah, berkilau oleh cahaya senja yang anggun. Di dalam
pagar, tampak lautan yang lebih tenang, seolah terpisah dari kemarahan
gelombang di sekitar.
"Bapak, apakah kita
akan masuk?" tanyaku dengan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu.
"Ya, tapi hati-hati," jawab Bapak.
Aku merasakan bahwa tempat ini lebih dari sekadar keindahan, ada sesuatu
yang mistis di dalamnya. Dengan sedikit kehati-hatian, aku meluncur ke dalam
pagar.
Begitu melewati gerbang karang, suasana di dalam berubah secara ajaib. Air
di sekeliling kapal tampak berwarna kebiru-biruan, memancarkan cahaya lembut
seolah setiap jengkalnya bercerita. Di kejauhan, aku melihat pulau kecil yang
dikelilingi oleh hutan lebat, suara gemericik air terjun yang menyejukkan
telinga.
"Bapak, ini… ini luar biasa!" aku berseru, tidak bisa
menyembunyikan kekagumanku.
Namun, sejauh pandanganku, aku merasakan sesuatu yang aneh. Di tengah
keindahan itu, aku melihat bayangan samar. Seorang wanita anggun, dengan gaun
putih melayang dan rambut panjangnya ditiup angin, sedang berdiri di tepi
pulau.
"Siapa dia?" tanya Bapak berbisik.
"Tidak tahu pak, mari kita dekati," jawabku, dengan hati yang
berdebar.
Saat Bapak melajukan kapal lebih dekat ke pulau, wanita itu berbalik dengan
senyum yang menghiasi wajahnya, namun terdapat kesedihan di matanya.
"Selamat datang di Pagar Laut, tempat yang terhubung dengan jiwa
lautan," ujarnya dengan suara lembut, seolah angin membawakan pesan.
"Siapa kau?" tanya Bapak.
"Aku adalah Penjaga Pagar. Tempat ini melindungi lautan dari kerusakan
dan keserakahan. Namun, keindahannya terancam jika hati manusia tidak
dijaga."
Bapak tertegun, kata-kata itu bergaung di dalam jiwanya. Ia teringat akan
banyak hal yang terjadi di dunia luar—penangkapan ikan berlebihan, pencemaran,
dan kebisingan yang merusak ketenangan lautan.
"Bagaimana kita bisa membantumu?" Aku bertanya penuh semangat.
“Cintailah lautan. Ajarkan orang-orang di luar sana tentang pentingnya
menjaga keseimbangan dan keindahan lautan. Ketika kalian kembali, ceritakanlah
tentang Pagar Laut ini agar mereka mengerti,” jawab wanita itu.
Setelah berbincang-bincang, wanita itu memberi mereka sebutir mutiara
berkilau. “Bawa ini sebagai pengingat, dan teruslah berjuang untuk menjaga
keindahan lautan. Ketika saatnya tiba, kita akan bertemu lagi.”
Dengan perasaan campur aduk, aku dan Bapak kembali ke perahu kecil kami,
membawa pesan dari Pagar Laut di dalam hati kami. Saat perahu kecil Bapak
meninggalkan pagar itu, aku merasa seolah mendapatkan tujuan baru.
"Bapak, kita harus melakukan sesuatu," kataku, kepada Bapak.
"Kita harus mencari solusi yang lebih ramah lingkungan."
Bapak, yang awalnya ragu, akhirnya tergerak oleh semangatku.
Siulan angin berbisik lembut di telingaku, seolah memberi ucapan terima
kasih. Beberapa saat kemudian, aku dan Bapak kembali ke tepi pantai dengan rasa
bangga.
Keesokan harinya, Bapak Bersama warga desa mulai mencari alternatif
pengganti pagar laut yang lebih alami, seperti menanam Mangrove dan membuat
pemecah ombak dari bahan-bahan alami.
Perlahan tapi pasti, perubahan mulai terlihat dalam waktu singkat, Pagar
Laut kembali menjadi pelindung desa, dan hasil tangkapan ikan pun semakin
melimpah. Mangrove tumbuh subur, menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil. Pemecah
ombak alami meredam amukan ombak, membuat laut kembali tenang. Hasil tangkapan
nelayan pun berangsur-angsur membaik.
Pagar laut yang dulu memisahkan kami dari laut, kini digantikan oleh pagar
kehidupan yang lebih harmonis. Aku, dengan bangga melihat senyum merekah di
wajah Bapak dan warga desa. Mereka berjanji untuk menjaga laut dan membagikan
kisah mereka. Pagar Laut yang indah kini akan menjadi bagian dari jiwa
mereka—kenangan manis yang mengubah pandangan mereka terhadap dunia, terutama laut.
Setiap tahun, desaku mengadakan festival untuk merayakan kekuatan laut dan
melestarikan keindahan alamnya. Dalam cahaya bulan yang memantul di permukaan
laut, Pagar Laut berdiri dengan bangga, melindungi kami dari segala ancaman.
Aku belajar bahwa terkadang, hal-hal yang paling berharga harus
diperjuangkan dan diingat. Dengan harapan dan kerja sama, warga desa bisa
menghidupkan kembali keajaiban yang layak untuk dijaga. Aku, Bapak, dan warga
desa belajar bahwa menjaga laut berarti menjaga kehidupan kita sendiri. Kita
tidak lagi membutuhkan pagar laut yang merusak, tetapi memiliki pagar alami
yang kuat dan indah.
Aku menatap ke kejauhan, seolah bisa melihat masa depan yang lebih baik
bagi lautan dan penghuninya. Sekarang aku tahu, laut adalah sahabat yang
harus dijaga, bukan dipenjara.