Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Raisha Davina Azkia Putri | Mimpi Yang Terkubur

 

Cahaya matahari yang bersinar terik, menembus jendela kamarku yang entah sejak kapan sudah terbuka, sehingga membuatku terbangun dari tidur. Sejenak aku hanya menatap langit-langit kamar dan memandang sekeliling kamar, lalu aku bergegas untuk menemui Bapak yang hendak pergi dengan perahu kecil kesayangannya. Seingatku, Bapak sudah berlayar tadi malam, dan baru kembali lagi ke rumah tadi subuh. Kenapa sekarang Bapak siap-siap ingin berlayar lagi? 

Aku berjalan menghampiri Bapak dan berkata “bolehkah aku ikut berlayar dengan Bapak?” sejenak Bapak ragu dengan permintaanku. 

Tidak, bukannya Bapak tidak mengizinkanku, hanya saja, seperti ada yang mengganjal di hati Bapak. Pada akhirnya pun aku diizinkan untuk ikut bersama Bapak, tentunya dengan syarat ‘tidak boleh nakal’ katanya. 

Kakiku bergerak ke arah perahu kecil milik Bapak. Aku merasakan angin berhembus sangat keras di telingaku. Saat aku sudah berada di perahu kecil milik Bapak, Aku menutup mata, berdoa sambil merasakan angin menerpa tubuhku dan ombak yang terus membuat perahu Bapak terombang ambing. Kumohon… kali ini pun, jaga kami.

Di kejauhan, aku menemukan sesuatu yang aneh. Tampak deretan pagar yang memanjang dan menjulang tegak di permukaan laut, memisahkan laut dari pantai. Namun, entah mengapa, pagar itu menarik perhatianku. Aku memutuskan untuk mendekat. “Pagar apa itu pak?” tanyaku.

"Itu 'pagar laut', Nak. Katanya, untuk melindungi pantai dari abrasi," jawab Bapak dengan nada sedih. "Tapi, lihatlah, pagar itu justru membuat laut marah."

Sejak pagar laut dibangun, hasil tangkapan nelayan menurun drastis. Ombak yang dulu ramah, kini menjadi ganas, menerjang perahu-perahu kecil mereka. Ketika aku dan Bapak mendekati pagar itu, aku merasakan angin seolah berbisik, memanggilku untuk melangkah lebih dekat. Di balik pagar, terlihat lautan yang tidak biasa. Ombak yang dulu tampak tenang kini bergetar, seolah menyimpan rahasia di dalamnya. Aku merasa gelisah, namun juga penasaran. Apa yang ada di balik pagar laut ini? 

Ketika matahari mulai tenggelam, aku melihat sesuatu yang aneh, seperti garis-garis berkilau yang membentang di permukaan air. Aku menjarakkan pandanganku dan mengerutkan dahi. "Apa itu?" gumamku sambil meraih teropong.

Bapak mengangguk, merasa bingung. "Tapi tidak ada pulau yang terlihat di dekat sini. Ayo kita dekati."

Perahu kecil milik Bapak, berlayar lebih dekat ke garis misterius itu. Ketika sampai di dekatnya, aku terkesima. Pagar luar biasa terbuat dari batu-batu karang yang indah, berkilau oleh cahaya senja yang anggun. Di dalam pagar, tampak lautan yang lebih tenang, seolah terpisah dari kemarahan gelombang di sekitar.

"Bapak, apakah kita akan masuk?" tanyaku dengan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu.

"Ya, tapi hati-hati," jawab Bapak. 

Aku merasakan bahwa tempat ini lebih dari sekadar keindahan, ada sesuatu yang mistis di dalamnya. Dengan sedikit kehati-hatian, aku meluncur ke dalam pagar.

Begitu melewati gerbang karang, suasana di dalam berubah secara ajaib. Air di sekeliling kapal tampak berwarna kebiru-biruan, memancarkan cahaya lembut seolah setiap jengkalnya bercerita. Di kejauhan, aku melihat pulau kecil yang dikelilingi oleh hutan lebat, suara gemericik air terjun yang menyejukkan telinga.

"Bapak, ini… ini luar biasa!" aku berseru, tidak bisa menyembunyikan kekagumanku.

Namun, sejauh pandanganku, aku merasakan sesuatu yang aneh. Di tengah keindahan itu, aku melihat bayangan samar. Seorang wanita anggun, dengan gaun putih melayang dan rambut panjangnya ditiup angin, sedang berdiri di tepi pulau.

"Siapa dia?" tanya Bapak berbisik.

"Tidak tahu pak, mari kita dekati," jawabku, dengan hati yang berdebar.

Saat Bapak melajukan kapal lebih dekat ke pulau, wanita itu berbalik dengan senyum yang menghiasi wajahnya, namun terdapat kesedihan di matanya. "Selamat datang di Pagar Laut, tempat yang terhubung dengan jiwa lautan," ujarnya dengan suara lembut, seolah angin membawakan pesan.

"Siapa kau?" tanya Bapak.

"Aku adalah Penjaga Pagar. Tempat ini melindungi lautan dari kerusakan dan keserakahan. Namun, keindahannya terancam jika hati manusia tidak dijaga." 

Bapak tertegun, kata-kata itu bergaung di dalam jiwanya. Ia teringat akan banyak hal yang terjadi di dunia luar—penangkapan ikan berlebihan, pencemaran, dan kebisingan yang merusak ketenangan lautan.

"Bagaimana kita bisa membantumu?" Aku bertanya penuh semangat.

“Cintailah lautan. Ajarkan orang-orang di luar sana tentang pentingnya menjaga keseimbangan dan keindahan lautan. Ketika kalian kembali, ceritakanlah tentang Pagar Laut ini agar mereka mengerti,” jawab wanita itu.

Setelah berbincang-bincang, wanita itu memberi mereka sebutir mutiara berkilau. “Bawa ini sebagai pengingat, dan teruslah berjuang untuk menjaga keindahan lautan. Ketika saatnya tiba, kita akan bertemu lagi.”

Dengan perasaan campur aduk, aku dan Bapak kembali ke perahu kecil kami, membawa pesan dari Pagar Laut di dalam hati kami. Saat perahu kecil Bapak meninggalkan pagar itu, aku merasa seolah mendapatkan tujuan baru.

"Bapak, kita harus melakukan sesuatu," kataku, kepada Bapak. "Kita harus mencari solusi yang lebih ramah lingkungan."

Bapak, yang awalnya ragu, akhirnya tergerak oleh semangatku. 

Siulan angin berbisik lembut di telingaku, seolah memberi ucapan terima kasih. Beberapa saat kemudian, aku dan Bapak kembali ke tepi pantai dengan rasa bangga.

Keesokan harinya, Bapak Bersama warga desa mulai mencari alternatif pengganti pagar laut yang lebih alami, seperti menanam Mangrove dan membuat pemecah ombak dari bahan-bahan alami.

Perlahan tapi pasti, perubahan mulai terlihat dalam waktu singkat, Pagar Laut kembali menjadi pelindung desa, dan hasil tangkapan ikan pun semakin melimpah. Mangrove tumbuh subur, menjadi rumah bagi ikan-ikan kecil. Pemecah ombak alami meredam amukan ombak, membuat laut kembali tenang. Hasil tangkapan nelayan pun berangsur-angsur membaik.

Pagar laut yang dulu memisahkan kami dari laut, kini digantikan oleh pagar kehidupan yang lebih harmonis. Aku, dengan bangga melihat senyum merekah di wajah Bapak dan warga desa. Mereka berjanji untuk menjaga laut dan membagikan kisah mereka. Pagar Laut yang indah kini akan menjadi bagian dari jiwa mereka—kenangan manis yang mengubah pandangan mereka terhadap dunia, terutama laut. 

Setiap tahun, desaku mengadakan festival untuk merayakan kekuatan laut dan melestarikan keindahan alamnya. Dalam cahaya bulan yang memantul di permukaan laut, Pagar Laut berdiri dengan bangga, melindungi kami dari segala ancaman.

Aku belajar bahwa terkadang, hal-hal yang paling berharga harus diperjuangkan dan diingat. Dengan harapan dan kerja sama, warga desa bisa menghidupkan kembali keajaiban yang layak untuk dijaga. Aku, Bapak, dan warga desa belajar bahwa menjaga laut berarti menjaga kehidupan kita sendiri. Kita tidak lagi membutuhkan pagar laut yang merusak, tetapi memiliki pagar alami yang kuat dan indah.

Aku menatap ke kejauhan, seolah bisa melihat masa depan yang lebih baik bagi lautan dan penghuninya. Sekarang aku tahu, laut adalah sahabat yang harus dijaga, bukan dipenjara.