Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Raudhatul Tassya Khairunisa | Antara Pagar Laut dan Kematian Ayah

Cerpen Raudhatul Tassya Khairunisa



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku menatap lama pada tubuh kaku yang tergeletak di pinggir laut saat ini. Ayah tak lagi dapat bergerak maupun berbicara. Bahkan suara tangis Ibu yang terus memanggil nama Ayah, tak ada jawaban dari sang pemilik nama. Matanya tertutup rapat. Mulutnya yang sedikit menganga– aku dapat melihat sisa-sisa air di sekitar mulut Ayah. 


Dari setiap kejadian orang-orang yang hanyut di lautan, aku tak pernah melihat sedikitpun mayat yang terdapat lebam biru di setiap titik penting, seperti kepala, wajah, tangan, bahkan kaki.


Tapi, pada tubuh kaku ayah, aku melihatnya– melihat luka lebam yang masih sangat baru, seolah luka itu sengaja diciptakan oleh seseorang yang sangat membenci Ayah. Tapi siapa? 


“Mas! Jangan gini, bangun Mas. Bangun! Jangan tinggalin aku dan Salam sendirian disini.” 


Ibu masih terus meracau, berharap dengan dirinya meracau, Ayah dapat kembali bernafas dan membuka mata. Lalu tersenyum pada kami. 


“Untuk apa ibu menangis dan meracau tak jelas seperti itu. Ayah jelas-jelas telah meninggalkan kita untuk selamanya. Tak akan ada yang berubah, meskipun Ibu harus menangis tujuh hari tujuh malam,” ucapku datar. 


Mendengar ucapanku, Ibu memukul kakiku cukup kuat. Membuatku meringis kesakitan. 


“Apa yang kau katakan, Salam! Tidak boleh berkata seperti itu di depan mayat ayah mu!” 


Aku tau, kesedihan begitu pekat menyelimuti Ibu saat ini. Tapi, apa gunanya untuk menangis sepanjang waktu. Takkan ada yang berubah. 


“Kasihan sekali Ibu Nuri dan Salam. Suaminya meninggal dunia setelah berkelahi dengan Kepala Desa dan pemerintah.”


“Padahal malam tadi, tidak ada tanda-tanda badai atau apapun itu. Tetapi, paginya sudah ditemukan saja mayat pak Amir di pinggir pantai ini.”


Aku hanya menunduk dalam saat mendengar bisikan dari orang-orang yang kini mengerumuni mayat Ayah. Mereka tidak memiliki niat sama sekali untuk membantu mengangkat tubuh Ayah, untuk dibawa ke rumah kami. 


Karena itu, aku berjongkok untuk mencoba mengangkat tubuh Ayah yang beratnya dua kali lipat dengan berat tubuhku yang masih berusia 11 tahun. Aku memapahnya dengan seluruh tenagaku. Hanya berharap aku dapat sampai di dekat becak milik Ayah yang aku pakai untuk melihatnya setelah mendapatkan berita dari tetanggaku.


Namun, belum sampai ke becak Ayah yang ada di jalanan aspal sana. Aku dapat melihat diriku dan Ayah dari balik sepatu hitam mengkilap, milik seseorang di hadapanku. Aku mendongakkan kepala dan menatap sepasang mata yang kini menatapku dengan tatapan penuh kemenangan. 


“Oh, maaf,” pria itu memasang wajah sedih dan kasihan, “ya Allah, ada apa dengan Pak Amir? Beliau, innalillahi, sudah meninggal dunia?” 


Hah! Dasar para pejabat bajingan! Untuk apa dia datang kemari hanya untuk mengatakan hal yang tidak masuk akal. Apalagi nada suaranya yang terkesan mengejek, apa dia sekarang merasa senang, karena orang yang selama ini selalu melawan semua kebijakannya, akhirnya meninggal dunia dengan cara yang tragis.


“Awas!” 


Aku kembali memapah tubuh kaku Ayah untuk pergi dari hadapannya. Meletakkan tubuh ayah di becak, lalu aku kembali lagi untuk membawa Ibu yang kini menatap Kepala Desa itu dengan tatapan penuh amarah. 


“Ayo, Bu! Tidak perlu melawan–”


“Sudah puas kamu sekarang? Sudah puas kamu membuat kakak ipar kamu mati secara nggak wajar, setelah dia melawan para pejabat beserta kamu nya yang kini telah digelapkan oleh uang yang begitu banyak dari para bajingan itu? Kemana hati kamu, Amran. Kemana? Kamu dipilih, bukan untuk menghancurkan ekonomi masyarakat disini. Juga bukan untuk bersekongkol dengan para bajingan itu. Dimana hati nuranimu.”


“Ah, kakak, untuk apa kakak memarahiku seperti ini. Bukankah kakak iparku meninggal dunia, karena dia terombang-ambing di laut saat akan menangkap ikan? Lagian, kematiannya bukan diakibatkan oleh ulahnya yang sangat suka melawan kebijakan pemerintah.”


Aku menarik tangan Ibu, berusaha untuk membujuknya agar pergi dari tempat ini. Melakukan prosedur untuk memakamkan mayat Ayah dan mengurus surat-surat kematiannya. Tidak ada waktu untuk melawan ucapan dari Pamanku yang tidak memiliki hati nurani sama sekali. 


“Lagian, suami kakak itu sangatlah bodoh. Harusnya dia menerima saja kebijakan untuk memasang bambu-bambu yang saat ini sudah terpasang sejauh 30 kilometer, beres! Bahkan dia akan mendapatkan uang lebih untuk bisa membiayai keponakan kecilku ini, untuk masuk ke SMA yang dia inginkan tanpa perlu–”


Plak!


Ibu menampar pipi Paman Amran. Mata Ibu nampak sangat merah menahan tangis karena ulah adiknya sendiri. Aku dapat merasakan getaran yang hebat di tangan Ibu. Entah karena Ibu takut, atau Ibu tak kuasa untuk menahan semua ini sendirian. Tapi, Ibu bukanlah tipe yang begitu ketakutan saat berhadapan dengan orang-orang yang senang mengolok keluarga kami dan menganggap keluarga kami adalah keluarga yang bodoh karena menolak semua pemberian dari pemerintah. 


“Saya tidak akan pernah sekalipun menerima apapun itu bentuknya dari pemerintah yang sangat kamu bangga-banggakan itu, Amran!”


Ibu menarikku pergi dari sana. Deru nafas Ibu yang begitu cepat dan langkah kakinya yang kian cepat. Membuatku bingung harus melakukan apa. Aku memang muak akan semua ini. Terlebih lagi semenjak bambu-bambu itu menancap kuat di laut, seolah seperti peringatan bagi kami– keluarga nelayan untuk tidak mengambil ikan secara sembarangan di laut tempat kami mengadu nasib sepanjang hidup. 


***


Sudah lewat tujuh hari semenjak kematian Ayah. Ada sesuatu yang janggal yang masih bercokol di benakku. Kematian Ayah sangatlah tidak wajar, ada beberapa luka lebam yang aku lihat di sekujur tubuh Ayah. Bahkan, saat membuka seluruh baju Ayah untuk memandikan mayatnya, ternyata luka lebam itu tidak hanya di mata, kaki, maupun tangan. Tetapi di dada– luka lebam itu sangat jelas terlihat saat itu. 


Hanya ada beberapa dugaan yang bisa aku ciptakan, yang pertama, Ayah mungkin terjatuh saat akan kembali ke daratan dan tubuhnya menghantam batu besar di depan nya. Tetapi, tidak mungkin, Ayah tidak mungkin menepikan perahunya dengan ceroboh. 


Praduga kedua, perahu Ayah menghantam bambu-bambu yang menancap kuat di laut. Tetapi, bukankah Ayah selalu melewati jalur lain agar perahunya tidak menghantam bambu tersebut dan membuatnya pecahnya? Lagi pula, Ayah rela berputar cukup jauh, daripada harus merelakan perahu kesayangannya rusak. 


Ah! Aku berjalan mendekati perahu Ayah yang berada di dekat batu-batu besar. Memperhatikan dengan seksama seluruh badan perahu tersebut, tetapi tidak ada kerusakan, bahkan tidak ada lecet sedikitpun pada badan perahu tersebut. 


“Salam!” Aku terkejut saat sebuah tangan merangkulku secara tiba-tiba. “Apa yang kau lakukan disini?”


Paman Rama nampak memperhatikan perahu di depan kami, dia melakukan hal yang aku lakukan sebelumnya. “Kau masih curiga dengan kematian ayah kau, begitu?” tanya Paman Rama. 


Aku mengangguk pelan, lalu melepas rangkulannya dan duduk diatas perahu tersebut. “Paman tau, saat aku memandikan mayat Ayah, aku menemukan begitu banyak luka lebam yang tidak wajar yang tersebar di seluruh tubuh Ayah. Bahkan, mulut Ayah sedikit terbuka, seolah ada yang mencekoki Ayah dengan sesuatu hingga mulutnya masih terus basah.” 


Aku teringat akan bau mulut Ayah saat itu. Tercium bau minuman keras yang sangat memusingkan kepala saat menciumnya.


Paman Rama nampak tersenyum kecut, dia ikut duduk di sampingku dan kami sama-sama menatap pagar laut yang kini sangat mengganggu pemandangan. 


“Kamu tau, pagar laut yang ada disana, yang terbentang dari desa Kramat Jati, hingga ke perbatasan Kabupaten itu. Semua itu adalah ulah Paman kamu yang bersekongkol dengan pemerintah dan beberapa swadaya yang katanya melindungi kita, tetapi malah ikut membantu membangunnya karena diberikan uang pelicin yang cukup banyak.”


Paman Rama terdengar menghela nafas panjang. Lalu ia kembali berkata: “Paman dan Ayah kamu sudah berusaha untuk melawan dan memberontak semua perbuatan mereka. Berusaha untuk mencari kebenaran lewat jalur hukum. Tetapi semuanya sia-sia karena Undang-Undang yang bahkan sampai saat ini tidak jelas. Mereka berhasil lolos dengan bukti-bukti palsu yang mereka dapatkan, dan anehnya hakim bahkan tak mencari lebih detail. Malah Paman dan Ayah kamu yang diancam akan dimasukkan penjara jika berani menuduh mereka.”


Aku tahu cerita itu, bahkan aku ikut menemani Ayah pergi ke pengadilan untuk mengikuti sidang tersebut. Ayah dan Paman berusaha keras untuk melawan dan meminta untuk membongkar pagar laut di tempat mereka mengadu nasib. Tetapi permohonan itu ditolak, karena memiliki manfaat untuk mencegah abrasi. 


Apanya yang abrasi? Malah pagar laut itu menambah banyak malapetaka dan nyawa. Sejak ditancapkannya pagar laut itu, tak sedikitnya nelayan-nelayan disini terluka karena berusaha untuk melewati pagar laut tersebut, karena tidak ingin memutar lebih jauh hanya untuk menepi. Lagi pula, kenapa mereka tidak menanam pohon tembakau di sekitar pantai agar tidak terjadinya abrasi?


“Paman, apa yang Paman dan Ayah lakukan hari itu untuk membongkar semua kebusukan mereka? Bukankah, dengan memberikan bukti-bukti yang kuat dan akurat. Terlebih lagi atas kematian Ayah, akan membuat kita menang dan pagar laut ini bisa dibongkar dan tidak menyusahkan masyarakat lagi?” Tanyaku. 


Sekarang, yang ada di pikiranku adalah membongkar semua kebusukan mereka, termasuk Paman Amran atas apa yang mereka perbuat dan mereka harus merasakan penderitaan yang Ayah alami selama ini. Mereka harus dihukum seberat-beratnya, paling tidak hukuman penjara seumur hidup mereka. 


Ah, harusnya hukuman mati. Karena nyawa, harus dibayar dengan nyawa. 


“Kamu serius ingin mengungkapkan semua ini, sekalipun ujungnya akan gagal karena kita melawan pemerintah?” Aku mengangguk yakin pada Paman Rama. “Kalau begitu, kita harus mencari saksi mata atas kematian Ayah kamu dan Paman tau siapa orangnya!”


Aku dan Paman berjalan meninggalkan perahu milik Ayah. Mencari saksi mata yang melihat Ayah disiksa oleh orang-orang berjas hitam di laut pada malam hari itu. Aku harus bisa membongkar kebusukan mereka dan membalaskan dendam Ayah, walau aku harus bertaruh nyawa, seperti halnya Ayah saat itu.