Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Ravila | Pagar Laut

Cerpen Ravila



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di sebuah desa pesisir bernama Pantai Seruni, laut adalah sumber kehidupan utama. Hampir semua warga di sana bekerja sebagai nelayan. Setiap pagi, mereka berlayar ke lautan, membawa harapan untuk pulang dengan perahu penuh hasil tangkapan. Namun, kehidupan mereka berubah drastis sejak sebuah proyek pagar laut dibangun di laut Seruni.


Pak Samrin adalah seorang nelayan tua yang sudah menetap di desa pesisir itu sejak lama, Ia tinggal bersama anaknya, Pak Boby, menantu, dan cucunya, Ayu, yang duduk di bangku SMA.                                                                                          

Suatu pagi, saat bersiap melaut, Pak Samrin melihat sesuatu yang tak biasa di pesisir. Kayu-kayu panjang tertata dengan rapi, dan beberapa pekerja sibuk memasangnya. Nelayan lain pun berkumpul untuk melihat karena penasaran. 


“Lho ada apa ini? Kok banyak pekerja” kata Pak Samrin sambil melihat ke arah kerumunan dengan bingung.


Anaknya Pak Boby yang juga merupakan seorang nelayan mengangguk dan menjawab dengan nada yang sedikit bingung juga “Katanya proyek dari pemerintah. Semoga saja menguntungkan kita, Pak.” Pak Boby mengangguk ragu sambil menatap ke arah kerumunan para pekerja itu.    


“Ya sudahlah, ayo kembali bekerja, itu juga bukan urusan kita.” Pak Samrin menepuk pundak Pak Boby dan berbalik pergi untuk meneruskan pekerjaannya sebagai nelayan, Pak Samrin memang tidak terlalu memedulikan proyek tersebut, selagi tidak mengganggu mata pencahariannya.


Namun setelah setahun berlalu, pagar laut itu semakin panjang, semakin besar, hingga akhirnya mengelilingi lautan dekat pantai. Dampaknya pun mulai terasa bagi nelayan yang bekerja di sekitar pantai Seruni


“Sejak ada pagar itu, ikan semakin sulit didapat. Kami harus pergi lebih jauh, bahan bakar lebih banyak, tapi tangkapan tidak seberapa,” keluh Pak Rahman yang merupakan salah satu teman nelayan Pak Samrin kepada teman-temannya di dermaga.


“Benar sekali Rahman, jika terus begini kita bisa rugi.” kata Pak Boby yang duduk di samping Pak Rahman di dermaga. 


Pak Samrin mengangguk serius “Bukankah warga setempat ada yang ikut membantu membangun pagar itu? Bagaimana jika kita menanyakan kepada mereka proyek ini sebenarnya milik siapa?” 


Pak Boby angkat berbicara mengenai ide Pak Samrin itu “Itu ide yang bagus pak, saya sudah pernah menanyakannya pada salah satu warga yang ikut membantu membangun proyek ini. Tapi mereka bilang mereka juga tidak tahu, para warga hanya diberi upah seratus ribu rupiah per hari jika ikut membantu.” 


“Kalau begitu kita harus melapor saja secara langsung ke kepala desa setempat, jika begini terus kita akan kesulitan mencari ikan ke depannya!” Pak Rahman berbicara dengan penuh tekad dalam suaranya sambil menatap para nelayan lain di sekitar dermaga untuk mencari persetujuan. 


Semua Nelayan sepakat. Malam itu rapat penting digelar. Rapat kepala desa diadakan di kantor kepala desa setempat, di dalam ruangan balai desa yang penuh sesak, Pak Joko yang merupakan kepala desa, memulai pertemuan.


“Pembangunan pagar laut ini sudah jadi keresahan warga. Saya sudah mencoba menghentikannya, tapi mereka tidak mendengar,” katanya datar.  


Pak Samrin mengernyit. “Maaf, Pak Joko, tapi itu sulit dipercaya. Sebagai kepala desa, Anda pasti punya kuasa. Pak Joko pasti tahu proyek ini sebenarnya milik siapa kan? Apa jangan-jangan Pak Joko bekerja sama dalam pembangunan proyek itu?”


Pak Joko mendengus, wajahnya memerah. “Samrin, jangan asal bicara! Kamu pikir saya menghianati desa saya sendiri? Ini bukan hal yang bisa saya hentikan begitu saja!”                                                                                                               

Pak Rahman berdiri. “Pak, pagar itu menghancurkan mata pencaharian kami! Kami ingin pagar itu dibongkar!”.                                                                                 


“Saya malah tidak setuju jika pagar laut itu dibongkar, itu sumber penghasilan saya sebagai buruh untuk ikut membangun pagar laut tersebut!” kata seorang warga yang bekerja dalam proyek itu. 


Ruangan rapat itu semakin sengit karena banyaknya pro dan kontra yang terjadi, perdebatan sengit yang tidak menghasilkan kesepakatan yang pasti hingga Pak Joko yang sama sekali tidak setuju dengan penggusuran pagar laut itu. 


Pagi harinya setelah rapat kemarin malam itu, semua nelayan duduk dan berkumpul di sekitar dermaga termasuk Pak Samrin dan para nelayan lainnya. 


“Kita tidak bisa begini saja, jika Pak Joko tidak berani mengambil keputusan untuk menggusur pagar laut itu dengan alasan takut pada pemerintahan pusat, kita gusur saja sendirian!” Pak Rahman menyampaikan pendapat dengan nada kesal dan marah.                                                                                                                  

“Jangan gegabah dulu, kita tidak bisa begitu saja bertindak seperti itu.” kata Pak Samrin dengan nada tenang dan bijaksana. 


“Tapi kalau kita diam saja, kita yang akan tergusur,” Pak Boby menimpali dengan suara putus asa. 


Semua nelayan yang ada di dermaga itu juga ikut menatap Pak Samrin meminta penjelasan, Pak Samrin akhirnya menghela napas kasar lalu menatap para nelayan itu. “Kita memang tidak bisa membiar proyek ini mengancam mata pencaharian kita, dan kita tidak ada ruang lagi untuk menunggu di tingkat lokal” Pak Samrin berhenti sejenak untuk mempertimbangkan sebelum mengangguk dengan yakin atas keputusannya sendiri. 


“Saya akan pergi ke kantor pusat provinsi dan akan mengadukan masalah ini ke mereka” para nelayan yang ada di dermaga saling tatap sebelum semuanya mengangguk serentak sambil tersenyum penuh persetujuan.    


Keesokan paginya matahari baru setengah terbit, Pak Samrin berpamitan kepada keluarganya sebelum pergi, dengan tekad yang kuat Pak Samrin akhirnya menaiki bus tua yang berangkat dari terminal desa menuju ibukota provinsi yang memakan waktu perjalanan selama kurang lebih empat jam.


Di kantor provinsi, Pak Samrin duduk berhadapan dengan Pak Ridwan, pejabat bagian perikanan. Setelah menjelaskan panjang lebar soal pagar laut yang menghalangi nelayan, ia menunggu jawaban dengan harapan.


“Saya paham, Pak Samrin, tapi proyek ini sudah masuk perencanaan. Kami tidak bisa langsung hentikan, kami butuh waktu untuk evaluasi. Mungkin satu atau dua bulan” ujar Pak Ridwan, nada suaranya datar.


Pak Samrin menghela napas. “Jadi kami harus menunggu sampai kelaparan?, Pak coba pikir, kami tidak punya waktu sebanyak itu. Kami butuh solusi sekarang.”


Pak Ridwan hanya menggeleng. “Maaf, Pak. Kami harus ikuti prosedur yang berlaku, jika melanggar kita akan kena akibatnya.”


Pak Samrin berdiri, menatapnya tajam. “Jika terus begini, rakyat tidak akan pernah sejahtera, itu sama saja mementingkan urusan pribadi sendiri daripada urusan bangsa dan negara, lagi pula jika pemerintah tidak mau dengar, kita para nelayan Seruni akan cari cara lain.”


Tanpa menunggu jawaban, Pak Samrin melangkah keluar dari ruangan provinsi itu, merasa marah dan kesal karena basa basi dari pemerintah sedangkan rakyat kian menderita.                                                                                                                    

Pak Samrin akhirnya pulang kembali ke desa Seruni, melihat dermaga yang sepi karena para nelayan sudah pulang dan matahari yang hampir tenggelam.


Pak Samrin duduk di dermaga untuk sejenak beristirahat, pikirannya masih mencari solusi dari masalah ini saat tiba-tiba  seseorang menepuk pundaknya, itu Ayu, cucu Pak Samrin yang baru pulang dari sekolahnya. ”Kakek”, suara lembut Ayu menyapanya saat gadis itu duduk di sampingnya “Ayu dengar dari bapak, soal masalah pagar laut ini” 


Pak Samrin mengangguk. “Kakek sudah melapor ke kepala desa, bahkan ke provinsi, tapi tak ada yang dengar.”                                                                            


Ayu tersenyum penuh tekad. “Kalau pemerintah tidak mau dengar, kita bikin orang-orang lain dengar”. Pak Samrin mengernyit. “Maksudmu?” 


“Ayu sudah foto pagar laut itu dan bikin tulisan di media sosial, Ayu juga menyuruh teman-teman Ayu untuk membantu di media sosial mereka juga. Ayu ceritakan bagaimana nelayan di Pantai Seruni kehilangan mata pencahariannya,” Ayu menjelaskan. “Biar semua orang tahu.” 


Pak Samrin perlahan lahan tersenyum penuh tekad menatap Ayu. “Mungkin itu bisa berhasil, Terima kasih Ayu.”


Dalam beberapa hari, postingan Ayu mulai menarik perhatian. Orang-orang mulai membagikan ceritanya. Tagar #SelamatkanNelayanSeruni mulai ramai di media sosial. Para jurnalis dan aktivis lingkungan mulai melirik isu ini. Beberapa dari mereka langsung mendatangi wilayah Seruni untuk bertanya lebih lanjut.


Tak lama, beberapa wartawan datang ke Pantai Seruni. Mereka mewawancarai para nelayan, mengambil gambar pagar laut yang menjadi penyebab utama masalah isu ini, dan menyiarkannya di televisi serta berita online.


Berita ini akhirnya menarik perhatian masyarakat luas. Banyak orang mulai mengkritik proyek pagar laut yang tak jelas tujuannya. Tekanan makin besar ketika organisasi lingkungan turut bersuara. Mereka menyoroti bagaimana proyek ini bisa merusak ekosistem laut dan menghambat para nelayan Seruni untuk bekerja. 


Semakin banyak pihak yang membicarakan pagar laut ini, semakin sulit bagi pemerintah untuk mengabaikannya. Akhirnya, pemerintah pusat mulai angkat bicara. Seorang perwakilan dari kementerian kelautan mengunjungi desa.


“Kami menerima laporan terkait pagar laut ini,” katanya dalam pertemuan dengan warga. “Kami sedang menyelidiki siapa yang bertanggung jawab atas proyek ini.”


Pak Samrin berdiri. “Kami sudah terlalu lama menunggu. Nelayan di sini butuh kepastian, bukan sekadar penyelidikan.”


Pejabat itu terdiam sesaat, lalu berkata, “Kami akan bekerja sama dengan pihak berwenang untuk menindaklanjuti ini.”


Namun warga masih belum puas, makin hari, banyak organisasi lingkungan menggelar aksi di ibu kota, menuntut transparansi proyek pagar laut. Media nasional terus menyorot kasus ini, membuatnya semakin viral. 


Di saat yang sama, beberapa nelayan dari Pantai Seruni termasuk Pak Samrin dikirim ke ibu kota untuk berbicara dalam diskusi publik. Mereka menceritakan bagaimana pagar laut telah menghancurkan kehidupan mereka.


Tekanan ini membuat pemerintah pusat akhirnya mengambil tindakan serius.


Setelah berbulan-bulan perjuangan, pemerintah akhirnya mengeluarkan keputusan resmi: pagar laut harus dibongkar.


TNI Angkatan Laut dikirim ke Pantai Seruni untuk mulai proses pencabutan pagar. Wartawan yang masih berada di lokasi mendokumentasikan setiap langkahnya.


Hari itu, di dermaga, para nelayan berkumpul, menyaksikan pagar laut perlahan dihancurkan.


Saat kayu-kayu pagar laut itu tumbang satu per satu, sorak-sorai memenuhi pantai. Para nelayan tersenyum, sebagian menangis lega. Laut yang dulu terasa jauh, kini kembali ke pangkuan mereka. Pak Samrin menatap Ayu, bangga. “Kau benar, Nak. Suara rakyat memang harus didengar.”


Ayu tersenyum. “Dan keadilan seharusnya datang bukan karena viral, tapi karena memang seharusnya.”


Perjuangan nelayan Pantai Seruni bukan hanya soal pekerjaan mereka yang terhambat, tapi soal hidup yang mereka pertaruhkan setiap hari. Suara mereka, yang awalnya hanya gumaman di dermaga, akhirnya menggema ke seluruh negeri. Bukan karena bantuan pejabat, tapi karena keberanian untuk bersuara.


Pak Samrin dan para nelayan membuktikan bahwa keadilan tidak  akan datang kalau Cuma ditunggu. Terkadang, kita harus berdiri, bersuara, dan bertindak dengan berani agar dunia mendengar. Karena di balik setiap ombak yang menghantam pantai, ada harapan yang tidak  boleh tenggelam.