Cerpen Refisha Mutiara Alim
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Mulyo mendayung perahunya perlahan, membiarkan ombak pagi mengayun tubuh kayunya yang mulai lapuk. Biasanya, ayahnya duduk di ujung perahu, mengawasi jala dan memberikan arahan. Tapi hari ini, ayahnya terbaring di rumah, tubuhnya lemah karena demam yang tak kunjung reda. Jadi, Mulyo pergi sendiri.
Laut masih gelap kebiruan saat ia melempar jala ke air. Suara hempasan ombak dan camar yang berteriak-teriak di kejauhan mengisi kesunyian. Angin laut berhembus dingin, tapi Mulyo sudah terbiasa. Ia menarik jala pertama—hanya beberapa ikan kecil yang tersangkut. Tidak cukup banyak. Ia menghela napas, lalu duduk bersandar di tepi perahu.
Saat bosan, Mulyo suka menggambar. Ia merogoh saku celana pendeknya dan mengeluarkan buku sketsa yang sudah penuh coretan. Dengan pensil, ia mulai menggambar apa yang ada di hadapannya: ombak yang pecah di kejauhan, langit yang perlahan memerah, dan pagar laut—deretan pilar besi yang menjulang dari dasar laut hingga ke permukaan, membentang sejauh mata memandang.
Pagar laut sudah ada sejak ia kecil. Katanya, itu dibangun untuk mencegah sesuatu keluar dari dalam laut. Mulyo tidak pernah tahu apa tepatnya yang ditahan di balik pagar itu. Orang-orang desa hanya bilang, “Jangan pernah mendekat.”
Mulyo mencoret garis pagar itu di sketsanya, lalu berhenti. Ada sesuatu yang aneh di kejauhan. Seperti bayangan yang bergerak di antara pilar-pilar pagar laut. Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas. Ombak naik turun, dan untuk sesaat, ia mengira hanya berhalusinasi—sampai sesuatu muncul ke permukaan.
Seseorang. Tidak, bukan manusia.
Makhluk itu sangat indah dan tampak muda, dengan kulit sehalus mutiara dan rambut sepundak yang berkilauan kehijauan. Matanya besar, berwarna biru jernih seperti dasar laut yang paling dalam. Dan yang paling mencolok—ekornya. Sisik peraknya berkilauan di bawah cahaya pagi, mengayun lembut di dalam air.
Mulyo tertegun. Ia pernah mendengar cerita tentang duyung, tapi ia tidak pernah percaya sampai sekarang.
Duyung itu menatapnya dengan kepala sedikit miring, ekspresinya polos dan penasaran. Lalu, dengan suara yang jernih dan ringan, ia berkata, “Apa yang sedang kau lakukan?”
Mulyo hampir saja terjungkal ke dalam laut. Ia menatap duyung itu dengan mulut terbuka, berusaha mencari kata-kata.
“A-aku…” Ia menelan ludah. “Menggambar.”
Duyung itu mendekat, tubuhnya setengah keluar dari air, melihat buku sketsa Mulyo dengan mata berbinar. “Boleh aku lihat?”
Mulyo ragu, tapi akhirnya ia menyerahkan bukunya. Duyung itu mengambilnya dengan hati-hati, menyentuh halaman-halaman kertas dengan jari rampingnya.
“Kau sangat pandai,” katanya kagum. “Aku belum pernah melihat gambar sebagus ini.”
Mulyo merasa pipinya panas, entah karena pujian itu atau karena tatapan duyung yang begitu dalam.
“Apa namamu?” tanya Mulyo akhirnya.
“Subi,” jawab duyung itu dengan senyum lebar. “Dan kau?”
“Mulyo.”
Sejak hari itu, Mulyo dan Subi sering bertemu di perbatasan pagar laut. Setiap pagi, setelah menjaring ikan, Mulyo akan duduk di perahu dan menggambar, sementara Subi mengambang di air, mengobrol dengannya. Subi bercerita tentang kehidupan di bawah laut, tentang kota-kota kristal dan arus yang membawa nyanyian. Mulyo bercerita tentang daratan, tentang hujan yang jatuh dari langit, tentang pohon-pohon yang berubah warna di musim kemarau.
Mereka tertawa bersama, berbagi rahasia, dan perlahan, sesuatu tumbuh di antara mereka.
Namun pagar laut tetap ada.
Subi tidak bisa melewatinya. Katanya, ada sesuatu yang membuatnya lemah jika ia mencoba mendekat. Ia hanya bisa sampai di sisi lautnya sendiri, menatap Mulyo dari balik batas yang tak terlihat.
“Aku ingin melihat duniamu,” kata Subi suatu hari, suaranya lirih. “Aku ingin melihat hujan dan tanah.”
Mulyo menggenggam ujung perahunya erat. “Aku juga ingin melihat duniamu. Aku ingin tahu rasanya berenang bersamamu.”
Subi menatapnya lama, lalu tersenyum. Tapi ada kesedihan di matanya.
Hari-hari berlalu. Mereka semakin dekat. Sampai suatu malam, badai besar datang.
Mulyo tahu itu berbahaya, tapi ia tetap pergi ke laut. Ia harus memastikan Subi baik-baik saja. Ombak tinggi menghantam perahunya, angin menerjang wajahnya. Ia mendayung sekuat tenaga, berusaha mencapai pagar laut.
Dan di sana, di tengah badai, ia melihat Subi—terjebak dalam arus liar, tubuhnya terbanting ke pilar pagar laut.
“Subi!” teriak Mulyo.
Subi mengerang, ekornya membiru karena dingin, napasnya tersengal. Ia mencoba berenang ke arah Mulyo, tapi ada sesuatu yang menariknya kembali.
Tanpa berpikir, Mulyo melompat ke air. Ia berenang melewati gelombang yang menggila, tangannya meraih Subi. Ia berhasil menangkap tubuh duyung itu, menariknya ke permukaan.
Namun sesuatu terjadi.
Air di sekitar mereka bersinar, seperti ada arus tak terlihat yang bergerak. Subi menatap Mulyo dengan mata membesar, napasnya tersengal. “Tidak… Mulyo, kau tidak boleh—”
Tapi sudah terlambat.
Mulyo merasakan sesuatu merayap di tubuhnya. Kakinya mati rasa. Ia menunduk, melihat dengan ngeri saat kulitnya berubah… berubah menjadi sisik. Ekornya tumbuh, mengkilap di bawah cahaya petir.
Ia bukan manusia lagi.
Subi menatapnya dengan campuran keterkejutan dan keharuan. “Kau…”
Mulyo mengulurkan tangannya, dan untuk pertama kalinya, ia melewati pagar laut.
Subi menangis—tapi kali ini, itu adalah air mata kebahagiaan.
Dan di tengah badai yang menggila, mereka berenang bersama, melampaui batas yang selama ini memisahkan mereka.