Cerpen Reyhan Ferdiansyah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)\
Laut itu merintih dalam bahasa yang hanya dipahami oleh mereka yang masih menyimpan garam di dalam urat nadinya. Salim, bocah tiga belas tahun dengan kaki-kaki penuh luka karang dan mata sehitam malam tanpa bintang, berdiri di ujung Jala Merah— perahu kayu lapuk peninggalan kakeknya yang kini lebih mirip kerangka ikan paus yang terlantar. Di kejauhan, Pagar Laut menjulang: tiang-tiang baja berkarat yang diikat kabel sebesar ular piton, membentuk sangkar raksasa yang mengurung gelombang. "Mereka bilang ini tembok penyelamat," bisik Ayah suatu malam, suaranya parau seperti gesekan besi karat, "tapi kau lihat sendiri—ini kuburan ikan yang dibungkus kebohongan."
Salim mengangkat jaring. Hanya tiga ikan kecil tersangkut, sisik mereka kusam seperti abu. Sejak Pagar Laut dibangun, laut berubah jadi penjara. Bahkan Nenek Surti, penjual kerang tua yang dulu riuh dengan tawa, kini hanya duduk di depan gubuk reyotnya, memandang laut sambil menggumam: "Dulu, laut memberiku mutiara. Sekarang, ia meminta dagingku sebagai tumbal."
Malam itu, Salim menyelinap ke zona terlarang proyek. Kaki telanjangnya menginjak pecahan kaca dan serpihan besi, tapi rasa sakit itu tak sebanding dengan gumpalan amarah di dadanya. Di bawah sinar bulan purnama yang pucat, ia menemukan bangkai penyu belimbing sebesar meja makan. Cangkangnya retak membentuk peta kampungnya, perutnya terkoyak oleh jaring kawat proyek. Dari mulut penyu itu, darah hitam mengalir, menulis pesan di pasir: "MEREKA AKAN MENGGOROK LEHER LAUT SAMPAI TAK BERSISA."
"Kau terlambat,” suara itu mendesis dari balik buih ombak, getir seperti air asin yang menggerogoti luka. Perempuan itu muncul—rambutnya dijalin alga biru, kulitnya berkilau seperti sisik ikan pari, matanya dua mutiara hitam yang retak. "Aku Ombak Meradang. Roh terakhir yang tersisa di sini. Jika tiang keempat puluh ditancapkan, laut akan mati. Dan kalian jadi saksi bisu."
Salim menggigit bibir hingga berdarah. Ia ingat ibunya, yang setahun lalu terjun ke sumur terkontaminasi limbah proyek. Tubuhnya membengkak, kulitnya mengelupas seperti ikan rebus, tapi sebelum menghembuskan napas terakhir, ia berbisik: "Laut akan memanggilmu. Dengarkan, Nak. Jangan biarkan mereka mencekik suaranya."
Dengan bantuan Ombak Meradang, Salim menyusup ke markas proyek. Gudang container berkarat itu penuh mesin bor yang berdebu, tumpukan dokumen basah, dan foto-foto nelayan yang "menghilang". Di antara dokumen rahasia, ia menemukan peta rencana perluasan Pagar Laut—garis merah tebal mengelilingi Pulau Karang, tempat makam leluhur nelayan. Tapi yang membuat tangannya gemetar adalah foto Ayahnya: berdiri di samping direktur "Mutiara Biru", tersenyum lebar sambil menggenggam tas hitam penuh uang.
"Dia menjual kita!" Salim menjerit ke langit, suaranya pecah oleh amarah. Ombak Meradang menyentuh bahunya, dinginnya menusuk tulang. "Manusia sering lupa, Nak. Darah mereka asin, tapi niat mereka bisa lebih keruh dari lumpur limbah.”
Malam hujan, Salim menghadapi Ayah di dermaga. Air mengalir deras di wajah Ayah yang pucat. Mereka mengancam akan membunuhmu seperti mereka membunuh ibumu!" raungnya, tubuhnya terguncang. "Aku tak punya pilihan!"
Salim melemparkan segenggam kerang tajam ke wajah Ayah. "Kau pilih uang daripada napas kita? Lihat ini!" Ia menyeret Ayah ke bangkai penyu belimbing. "Ini bukan cuma soal kita. Ini soal jiwa-jiwa yang kau kubur di dasar laut!"
Ombak Meradang muncul tiba-tiba, tubuhnya memancarkan cahaya biru pucat. "Kau butuh ini," bisiknya, memberikan pisau dari tulang ikan paus yang diukir huruf-huruf kuno. "Ini Taring Ombak—senjata dewa laut. Tapi untuk menggunakannya, kau harus membayar dengan kenangan terindahmu."
Salim tak ragu. Ia mengeluarkan kalung kerang merah peninggalan ibu—kalung yang selalu ia pakai sejak kematiannya. Saat pisau menyentuh tangannya, kilasan kenangan muncul: ibu menari di pantai, suaranya menyanyikan lagu Teluk Bintang Jatuh, wajahnya bersinar lebih terang dari bulan. Perlahan, kenangan itu memudar, digantikan kabut putih.
"Sekarang, kau punya kekuatan untuk memotong baja," desis Ombak Meradang, "tapi ingat: pisau ini juga akan memotong jiwamu, sedikit demi sedikit."
Malam penghancuran tiba. Salim dan empat anak nelayan—Mina, Rudi, Juki, dan Tono—menyusup ke jantung proyek. Dengan bom rakitan dari mesin kapal tua dan dinamit curian, mereka meledakkan generator utama. Api menjilat langit, melahap kabel-kabel baja seperti ular raksasa yang kesakitan. Suara gemuruh mesin berubah jadi jeritan.
Tiba-tiba, lampu sorot menyapu gelap. Ayah muncul dengan parang, wajahnya pucat seperti mayat. "Berhenti, Salim! Atau kutebas lehermu!"
"Lakukan!" Salim menjerit, matanya berapi. "Tapi laut akan terus melawan, bahkan jika kau kubunuh!"
Dengan gerakan cepat, ia menancapkan Taring Ombak ke tanah. Gempa mengguncang, ombak naik setinggi gunung, menghantam Pagar Laut hingga tiang-tiang baja berderak seperti tulang patah. Tapi Salim tak sempat lari—gelombang menyedotnya ke pusaran air. Di dasar laut, Ombak Meradang menatapnya, mata mutiaranya berlinang. "Kau harus jadi tumbal. Darahmu akan jadi benih kehidupan baru."
Salim tersenyum. Ia menyanyikan lagu Teluk Bintang Jatuh—lagu yang hilang bersama kenangannya—sambil menikamkan pisau ke dadanya. Darahnya menyebar, berubah menjadi ribuan ubur-ubur bercahaya yang menggerogoti Pagar Laut hingga ke akar.
Keeeokan hari, laut tenang. Pagar baja hancur lebur, digantikan karang-karang berbentuk wajah manusia yang tersenyum. Nelayan bersumpah: di malam bulan perbani, mereka melihat bayangan Salim bermain dengan Ombak Meradang, suara tertawanya berpadu dengan desir ombak. Ayah menghilang. Hanya sepatu tuanya yang tersisa di bibir pantai, dihiasi kerang merah yang berdenyut seperti jantung hidup.
Tapi di kampung nelayan, orang-orang masih mendengar jeritan laut—kini lebih lembut, seperti nyanyian pengantar tidur. Nenek Surti duduk di gubuknya, memandang ke arah karang berbentuk Salim. "Dia tidak mati," bisiknya pada angin, "dia hanya pulang ke rahim laut."
Di kejauhan, tiang-tiang baja yang tersisa berkarat, ditumbuhi teritip dan kerang-kerang kecil. Mereka tak lagi menjulang angkuh—kini, mereka hanya monumen kekalahan.