Friday, March 14, 2025

Cerpen Lomba | Reza Firdaus Noor | Singgah

Cerpen Reza Firdaus Noor



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Sudah pasti disebut gila, perjalanan Bujang dari kepulauan Nusa Tenggara ke pulau Jawa. Bagaimana tidak, hanya bermodal kapal dari pemuda Maluku, yang tanpa pikir panjang menukar kapal yang digunakannya dengan kuda milik Bujang.


“Aku menyerah,” ujar pemuda Maluku itu sembari menaiki pelana dan beberapa detik kemudian melesat menghilang dari cakrawala padang rumput yang menguning.


Hujan memang sudah lama tak turun, begitu pula di pulau berpasir ini. Sesampainya Bujang selepas semalaman berjuang melewati arus ganas, ia terhuyung-huyung sembari memegang perutnya yang lapar. Saat matahari bersinar dan memperjelas pandangan Bujang, dilihatnya kini tepat di muka hutan, rusa-rusa pendek menari-nari dan sangat menggiurkan untuk dimakan, suatu pemandangan yang berbeda dengan yang Bujang lewati tiap pulang dan pergi bekerja, sebuah pemandangan deretan bambu yang tertancap di tengah lautan yang tak pernah bergerak dan tak pernah menarik untuk dimakan.


“Tet.. tet.. tet..” bunyi meteran listik hari ini seperti biasa lebih ramai dari hari sebelumnya. Bujang yang telah berminggu-minggu di sini telah sadar dan paham akan kondisi kampung barunya, bahkan hingga ke aturan kemapanan warga: jika bambu semakin banyak yang tertancap di tengah laut, maka semakin miskin lah warga kampung; akan tetapi, bagi warga kampung yang berseragam, aturan akan terbalik, semakin banyak bambu tertancap, mereka justru semakin kaya, memiliki kendaraan mewah dan berbau badan semerbak.


Tak ada kejadian seaneh ini di kampung halaman Bujang, kecuali saat pemuda Maluku itu datang lalu pergi mendekati gunung berapi dimana para binatang justru menjauhinya. Bujang sebenarnya muak akan keindahan kampungnya yang nyatanya menipu. Gunung berapi yang dituju oleh pemuda Maluku itu memang indah bukan kepalang, sampai-sampai seluruh warga sepakat tak perlu memajang lukisan, namun dibalik itu gunung berapi lah si tersangka atas luluh lantah kampung dan lenyapnya keluarga Bujang. Dendam Bujang pada si gunung berapi telah mengubah cita-citanya, dari pembangun kampung menjadi petualang ulung.


“Hei, jangan tidur,” ucap tetangga yang bekerja di tempat warga kampung yang berseragam seraya ikut masuk ke dalam kontrakan Bujang.

 

“Memangnya kenapa?” Bujang menjawab tanpa terlalu peduli, karena ia sudah benar- benar lelah sekarang.


Bujang bekerja menjadi buruh penancap bambu, di sanalah ia belajar nama bambu, kenyataan bahwa bambu tak tumbuh di laut, pemasangan deretan bambu yang ternyata diprakarsa warga kampung, dan fungsi deretan bambu itu sendiri adalah menghindarkan kampung dari tenggelam oleh air laut. Pekerjaan yang berpenghasilan rendah ini, meski melelahkan dan sering kali membosankan, tetapi dengannya Bujang selalu merasakan kebersyukuran, sebab layaknya peribahasa: sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, cita- citanya yang pertama ternyata dapat tergenapi juga.


Bujang memang terkenal kuat di kampungnya, rusa-rusa pendek yang menari di depannya hari kemarin, berhasil ia pindahkan sebagian ke dalam karung-karung dan sebagian lagi ke dalam perutnya. Meski pulau berpasir ini banyak sumber makanan dan aman karena tak ada hewan buas maupun gunung berapi, Bujang tetap berniat untuk meninggalkannya. Alasannya hanya satu, jika malam menjelang dan ketika matahari akan terbit, wanita-wanita cantik bak putri raja datang mendekati Bujang beriringan, lalu dengan lihainya melancarkan seribu rayuan.


“Ayolah,” rayu salah satu wanita di malam sebelum Bujang melanjutkan pelayarannya. “Bagaimana?” lanjut tetangga berparas cantik menutup pernyataannya dengan mantap. “Aku tak tertarik,” balas Bujang lembut.


Bencana gunung meletus itu telah merenggut bukan hanya orangtua dan saudara Bujang, tetapi anak dan istrinya juga. Itulah sebabnya, Bujang belum terpikirkan untuk mencari pasangan lagi, hidup sendiri dan bebas seperti pemuda Maluku itu lebih Bujang inginkan saat ini, saat kapal mulai meninggalkan pulau berpasir di tengah malam.


Perubahan jadwal pelayaran nyatanya adalah hal yang selalu baik bagi Bujang, sekarang di langit yang cerah dengan angin laut yang sepoi-sepoi, ia dapati berbagai susunan bintang dan awan berwarna membelah langit, begitu indah, suatu keindahan yang tak menipu, tak seperti awan yang menyelimuti kampung halamannya ketika ia telah selesai menambahkan ruang berbentuk mirip rumah di lambung kapal.


“Baiklah, memang sudah tak ada kesempatan lagi,” gumam Bujang sembari membereskan sisa-sisa pekerjaannya, ia pun bergegas memasukan karung berisi makanan dan pakaian ke dalam ruang yang ia buat tadi.

 

“Gebyur,” suara karung berisi pakaian Bujang jatuh kedalam laut setelah kapal yang dengan tenang melewati kabut menabrak sesuatu, dan sepertinya terjerat di sesuatu itu juga. Bujang pun dengan kemampuan menyelamnya yang terbatas hanya berhasil menyelamatkan sepasang pakaian: satu baju dan satu celana. Selepas kembali ke kapal, dilihatnya oleh Bujang dari arah sinar matahari datang hingga arah sebaliknya, deretan kayu yang ia tak kenali jenisnya berderet membentuk sebuah benteng pertahanan.


Kapal Bujang tampaknya sudah tak bisa lepas dari jeratan kayu-kayu itu. Tanpa pikir panjang Bujang pun membawa karung yang sekarang tinggal berisikan sepasang pakaian dan satu ekor rusa pendek ke punggungnya, melompat ke atas benteng pertahanan, lalu berjalan diatasnya, hingga tepat dikala matahari berada diatas kepala, terlihatlah dengan jelas kapal- kapal nelayan yang berlabuh di pasir pantai.


Injakan pertama Bujang di pasir pantai ini menjadi awal pertemuannya dengan suara bising meteran listik yang kini selalu terdengar utamanya di pagi hari.


Malam ini tak seperti biasanya, Bujang pulang lebih awal. Sebelum Bujang mengangkut bambu di awal malam, tiba-tiba si atasan datang dan memberi pengumuman bahwa pekerjaan hari ini hanya mengumpulkan bambu tanpa perlu memasangnya, dan sementara hingga beberapa hari kedepan, lebih tepatnya hingga si atasan kembali dari tugasnya di luar, pekerjaan diliburkan, tetapi si atasan berjanji bahwa upah harian akan tetap diberikan seperti biasa. Awalnya Bujang tak menaruh curiga, apalagi setelah ia tenang bahwa minggu ini ia akhirnya bisa membeli sepasang pakaian baru, tetapi dengan semakin banyaknya orang asing berseragam yang datang selepas si atasan pergi dan upah yang lambat laut lambat dibayar, kecurigaan menyeruak mirip saat si tetangga cantik itu memaksanya untuk duduk saat mereka berbicara.


“Pergi?” jawab Bujang saat si tetangga mengajukan pertanyaan pertamanya. “Ya, atau kau akan menyesal,” jawab si tetangga serius.


Berselang beberapa lama, setelah pada akhirnya si tetangga gagal mengajak Bujang, dilihat olehnya dari jendela kontrakan selepas si tetangga pergi, dari balik kabut, terlihat samar- samar dua pria bertubuh setinggi langit-langit rumah berdiri tegak menunggu si tetangga.


“Aku paham sekarang. Memang terlambat, tapi lebih baik daripada tidak,” gumam Bujang menyimpulkan jawaban dari kecurigaannya yang bermuara pada ketakutan mereka akan hadirnya bencana.

 

Kabut yang sering mengaburkan pandangan Bujang telah berlalu, tapi ia dari semenjak pulang hingga pagi ini masih berdiri di depan pintu. Mencoba membukanya dengan berbagai cara tetapi tetap tak berhasil, dengan kantuk yang sudah tak tertahankan lagi, pada akhirnya Bujang pun menyerah dan pergi ke balai warga yang memiliki teras terbuka. Akan tetapi, bukannya sepi yang Bujang dapati, hari dimana hujan mulai turun ini, teras balai warga justru dipenuhi oleh warga kampung.


Teriakan dan makian mulai terdengar, bahkan ada yang berlari-lari, beberapa bahkan menabrak Bujang. Semakin deras hujan turun, semakin menggila pula situasi saat itu. Beberapa ada yang mulai menaiki atap menyelamatkan diri karena yang lainnya mulai berkelahi. Dilihatnya oleh Bujang, rata-rata mereka berkantung mata gelap, tanda senasib dengan dirinya: tak bisa tidur.


Awan hujan semakin menghitam diiringi petir yang kini mulai menyambar, Bujang pun berpikir apakah ini bencana yang mereka takutkan, dilihatnya ke arah pantai, tak ada ombak pasang, hanya ada beberapa orang asing berseragam, yang dengan kurang ajarnya, mencabuti pagar penahan air laut hasil jerih payah Bujang. Meski meteran listrik kini mulai meramaikan suasana kekacauan, Bujang tetap bersikap tenang. Bencana yang Bujang pahami tentulah harus sedahsyat letusan gunung berapi. Akan tetapi, jeritan yang Bujang kenal diantara hiruk pikuk warga kampung yang mulai memadati jalan utama, menghancurkan ketenangannya. Si Tetangga yang cantik itu sekarang sudah tak bernyawa, terinjak warga, setelah Bujang dengan sekuat tenaga mendekatinya.


Dengan hati yang penuh api, Bujang mulai mencari tersangka bencana ini, ia tak boleh lengah, kejadian bencana di kampung halamannya tak layak untuk ia alami lagi.


Para orang asing berseragam itu adalah satu-satunya yang tetap tenang bagai si gunung berapi. Tanpa berpikir panjang lagi, Bujang simpulkan keabsahan mereka sebagai si tersangka. Bujang pun berlari, melompat, lalu berlari lagi melewati jalur benteng pertahanan yang sama kala ia pertama kali sampai di pulau Jawa setelah berminggu-minggu perjalanan dari kepulauan Nusa Tenggara. Terlihatnya sekarang wajah para tersangka itu dengan jelas, sangat tenang dan sangat penuh kemunafikan. Bujang tahu saat tangan birunya mengepal, sesuai apa yang telah dibisikan para wanita-wanita di sela-sela rayuan mereka di pulau rusa-rusa pendek, bahwa manusia dapat dibunuh. Dengan mata yang berubah merah dan seluruh gigi taring yang kini terlihat jelas diiringi air liur yang terus menetes tak keruan arah, Bujang tanpa pikir panjang melancarkan tinjunya, bukan pada si tersangka, sayangnya, tapi pada angin kencang yang membawanya terbang menjauh dari perkampungan yang telah bergelimang mayat.


Dari ketinggian dimana burung-burung terbang mendekati perkampungan, Bujang berteriak sekeras-kerasnya, melancarkan tinjuan segila-gilanya, melaknat Tuhan sejadi-jadinya, hingga akhirnya petir pun menyambar.