Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Rian Kurniawan Harahap | Suara dari Laut

Cerpen Rian Kurniawan Harahap



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Mulutnya meracau, seperti mengigau panjang tanpa berkesudahan. Tubuhnya meringkuk di atas tilam. Sesekali menggelepar, kakinya menendang ke semua arah. Wajahnya tak nampak sebab rambutnya yang sebahu mengayun menutupinya. Tangannya bergerak stakato, jemarinya menekuk kuat, hanya ibu jari yang tampak jelas. Ia terus melakukan itu berulang-ulang. Gerakannya memiliki ombak, ia mengalun kadang cepat dan kuat, setelah itu turun pelan. Disertai dengan dengusan nafas yang melenguh. Ia seperti pesakitan. Semakin kuat mantra dibacakan, maka tubuhnya tak bisa dipegang. Sudah sepuluh orang pun yang memegangnya belum tentu mampu mengalahkan kekuatan tubuhnya.


“Jangan main-main denganku. Pergi!”


Bomo itu bersiap sedia kembali menyemburkan air perasan yang terdiri dari kembang tujuh rupa, air buah limau purut, kunyit kuning satu ruas, serta sedikit minyak yang ditumbuk dengan bawang putih tunggal. Matanya siaga menangkap gerak tubuh Kucai yang semakin tak karuan. Lengannya besar, urat-uratnya ingin keluar. Jika Kucai tak bisa dipegang oleh sepuluh orang laki-laki di ruangan itu, Bomo Ipat mampu membuatnya terdiam dengan sekali sentak. Ia mengambil kunyit itu, lalu di oleskan pada kening Kucai. Tiba-tiba suasana hening dan senyap. Tidak ada lagi racau yang memekakkan telinga. Kucai rubuh dan jatuh. Kakinya lunglai, ruhnya seperti ditarik oleh Bomo Ipat. 


“Jadi bagaimana? Apakah Kucai sudah selamat?”


Ucapan itu muncul dari belakangku. Aku tak bisa melihat siapa yang bicara saking banyaknya dan berdesak-desakan. Tubuhku terdorong tepat di belakang Bomo Ipat.


“Dia sudah selamat, untuk saat ini. Mungkin dia akan kembali seperti tadi jika waktunya tiba”


Orang-orang yang tadinya senang mendengar ucapan Bomo Ipat langsung mengerutkan dahi. Mereka takut jika Kucai kembali meracau tapi tidak ada Bomo disana.


Bomo Ipat, mengoleskan kunyit itu ke dinding-dinding kamar Kucai. Ia merapal mantra sembari memberi nasihat kepada orang-orang disana. 


“Jangan sekali-kali menjadi sombong jika ingin memainkan sebuah peran dalam sandiwara. Apalagi, ini berkaitan dengan Tuah dan Jebat”


Bulu kudukku bergidik. Mungkin saja apa yang dikatakan Bomo itu benar. Apalagi, seminggu yang lalu Kucai memerankan diri sebagai Hang Tuah, sementara aku berperan sebagai Jebat. Kami bermain peran dalam rangka memperingati kedatangan tamu dari pejabat desa. Saat itu memang disampaikan perlunya sebuah hiburan rakyat untuk disuguhi pada tamu yang datang. Apalagi, melihat mereka yang datang dengan dasi dan sepatu yang sangat mengkilat. Saat itu, wajah kepala desa kami sangat bahagia. Ia senang didatangi oleh orang dari kota. Kami yang saat itu berpanas-panas menggetah karet harus berhenti lebih cepat untuk menyambut tamu itu. 


Wajah mereka disambut dengan karpet merah. Kami heran siapa rupanya rombongan yang datang dengan segala sikap hormat yang harus diberikan. Namun, begitulah nasib seorang pemain sandiwara. Saat itu kami sudah berlatih tanpa tahu siapa yang datang. Pokoknya harus tampil bagus, memukau penonton. 


Mataku liar melihat ke belakang, aku mencari aktor sandiwara lain yang ikut menyaksikan pengobatan Kucai. Aku melihat ke belakang, mataku berkeliaran di sela-sela tubuh orang lain. Aku melihat seorang perempuan di pojokan. Sepanjang orang berdesak-desakan, ia hanya berdiri disana dengan mata kosong, tidak mendekat. Sangat kontras dengan apa yang orang-orang lakukan. Aku coba berjalan ke belakang, mencari celah untuk sampai kesana. Belum lagi langkahku sampai. Perempuan itu langsung berteriak.


“Pergi! Pergi kalian jangan jual namaku untuk menghibur para pecundang itu!”


Tubuhnya menyentak terkejut. Kerudungnya jatuh. Ia langsung menunjuk ke semua arah. Menatap mataku dan menyampaikan kalimat-kalimat tajam.


“Jebat! Kau menderhaka pada Sultan. Bukankah, Hang Tuah adalah sahabat dekatmu?”


Tubuh mereka langsung berbalik arah. Dari yang tadinya melihat Kucai meracau, kini berbalik ke pojok belakang ruangan itu. Perempuan itu adalah Imah. Ia adalah pemeran Tun Teja dalam sandiwara yang kami mainkan. Bomo Ipat, sontak terperanjat. Rasanya baru tadi ia menyadarkan Kucai. Belum lagi Kucai bangkit dari sisa-sisa tenaganya setelah meracau, kini Imah pula yang meracau. Ia tarik baju orang-orang yang di dekatnya. Mereka berusaha menenangkan Imah. Bomo Ipat sigap mengambil kunyit dan merapal mantra-mantranya. Namun, Imah tak bergeming. Ia semakin kuat meracau, memanggil-manggil nama seseorang.


“Jebat! Jebat …Jebat …!”


Bomo Ipat menggulung tangan bajunya, ia lebih serius dari sebelumnya. Imah adalah perempuan baik yang tidak pernah melakukan hal-hal aneh. Bukan juga orang yang suka menyakiti hati orang. Imah bisa dikatakan adalah sosok yang paling santun dalam pertunjukan sandiwara kami. Ia pun tak lepas dari incaran yang membuat tubuhnya mengamuk dan dibenam amarah. 


Aku melihatnya tenang di pojokan. Bola hitam matanya seketika putih ketika dimasuki sosok yang tak dikenal ini. Bomo Ipat masih belum juga mampu menyadarkan Imah. Sementara, beberapa orang disana yang memeganginya ikut bergerak kemana arah tubuhnya. Sepuluh orang yang tadinya memegang Kucai kini, bergerak ke posisi Imah untuk memeganginya. Bomo Ipat sontak menyemburkan kembali air yang telah dibacakan mantra. Imah semakin kuat melawan. Tubuhnya berguncang hebat, ia tak seperti Imah yang dikenal. Garang, ganas, tatapannya bengis. Ia Imah yang sedang marah sejadi-jadinya. 


Aku dan beberapa orang di ruangan itu bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa hanya dalam hitungan detik, mereka bergantian meracau dan bersumpah serapah. Memanggil nama-nama tokoh yang ada dalam sandiwara yang kami mainkan. Ini adalah sebuah hal yang tak dinyana terjadi. Untung saja Bomo Ipat belum pulang ke rumahnya. Imah pelan-pelan mulai tenang. Bukan main letih Bomo Ipat, komat kamit, merapal semua mantra. Ia persis seperti Kucai, setelah mengamuk hanya tinggal dengus nafas letih yang tersisa. Bomo pun memberi isyarat lewat jari telunjuknya. Lepaskan saja Imah, ia telah aman dan tidak akan meracau. Delik mata mereka masih ke tubuh Imah, sementara Kucai dibiarkan tergeletak letih di atas tilam. Imah semakin tenang, tetapi tiba-tiba ia mencekik seorang perempuan yang ada di dekatnya. 


“Kematian bukanlah sebuah hal yang ditakutkan bukan? Apakah kisah-kisah kematian bisa menjadi penghibur bagi mereka?”


Perempuan yang lehernya dicekik Imah nampak sangat ketakutan. Sorot matanya seolah minta tolong. Bomo Ipat langsung meloncat ke tubuh Imah. Ia genggam tangannya, lalu membuka kuncian tangannya pada leher perempuan itu. Ia lepas, Imah dipegang Bomo Ipat sambil dibisikkan mantra-mantra. Imah pelan-pelan jatuh dan rubuh.


Aku hanya bisa berdiri tanpa suara. Entah apa yang terjadi pada kami. Dua kejadian dalam rentang waktu yang sama. Aku menatap Bomo Ipat dari kaki hingga kepala. Sosok ini pasti tahu dengan apa yang tejadi pada Kucai dan Imah. Apalagi, dua-duanya adalah orang yang bermain dalam sandiwara yang digelar pekan lalu.  Hanya aku yang belum kena pikirku. Apa mungkin dalam beberapa menit ke depan aku akan membuat gaduh suasana, menambah racau yang tadi telah sepi, atau mencekik orang-orang di dekatku. Kucai, Imah atau malah Bomo Ipat yang kucekik lehernya. Pikiran itu menerawang dalam pikiranku. Apalagi saat itu putaran jarum jam dinding itu sangat lama berlalu. Aku merasa diintai oleh sandiwara yang kami mainkan. 


Bomo Ipat mendekat ke arahku, seolah ia tahu apa yang kupikirkan. 


“Tidak usah takut. Bukankah kau seorang pemeran dalam sandiwara itu? Jebat?”


Ucapan Bomo Ipat, seperti sedang masuk ke dalam labirin kepalaku. Ia masuk bertualang pada kecepatan cahaya. Ia gali seluruh pondasi yang kubangun. Mengapa bisa? Seorang Bomo Ipat tahu perasaan bergidik yang sedang aku rasakan. 


“Lantas apa yang harus kulakukan Tok?”


Bomo Ipat, membalikkan badannya. Ia bergerak ke luar ruangan. Berjalan pelan mendekati sebuah pohon rindang tepat tak jauh dari pintu. Disulutnya api rokok, ia menghisap jauh dalam terawang. Pandangannya meluncur melewati langit biru. Aku membuntutinya, duduk di sebelahnya demi mendapatkan jawaban yang pasti. Apakah juga aku menjadi incaran?


“Apa yang sebenarnya terjadi Tok?”


Ia masih diam, menghisap dengan tenang. Rokoknya bermain di antara jemari tengah dan telunjuknya, ia putar-putar. Apinya sesekali menyentuh jari tapi tak ada rasa sakit yang menyeruak di wajahnya. 


“Kapan tepatnya kalian memainkan sandiwara itu?”


“Seminggu yang lalu Tok”


“Siapa yang datang saat itu? Apakah kalian memainkan sandiwara untuk hiburan rakyat atau ada yang lain?”


Aku bingung dengan pertanyan Bomo Ipat. Apakah ada hubungannya sandiwara dengan tamu yang datang. Namun, pikiran itu kutepis sementara. 


“Menyambut tamu yang datang dari kota untuk meresmikan pagar laut yang mereka tanam demi Pembangunan kampung yang lebih Makmur.”


“Sialan! Siapa mereka?”


Pertanyaan-pertanyaan yang menyergap segenap pikiranku dalam teka-teki.


“Mereka itu tamu Tok, ya tamu.” 


“Mereka semua pembohong! Mereka akan melakukan sesuatu yang buruk di kampung ini!”, potong Bomo Ipat


Aku terdiam seribu bahasa. Tenggorokanku seperti dijepit batu besar. Tidak ada udara yang bisa keluar dari mulut dan hidungku. Berbuat buruk? Apa mungkin kami memainkan sebuah sandiwara untuk menyambut penjahat yang akan masuk ke kampung. 


“Mak.. maksudnya Tok?”, ucapku terkejut


“Kucai dan Imah adalah dua orang yang kena azab akibat sandiwara yang kalian mainkan. Begitu banyak yang senang dengan sandiwara itu.”


Aku mendengar terus ucapan yang keluar dari mulut Bomo Ipat. Ia mengalirkan penjelasan mengenai apa yang terjadi selama sandiwara itu digelar.


“Sandiwara itu adalah akal-akalan kepala desa untuk menjual bagian dari kampung ini. Mereka yang datang itu adalah orang-orang kaya, nantinya akan masuk ke kampung ini dengan cara-cara kotor. Kalian tidak akan lagi bisa melaut, kalian sudah dikurung di kampung ini. Ikan-ikan hanya akan dimiliki oleh mereka, sementara daratan baru akan mereka bangun di aats daratan yang kalian huin. Kalian akan tenggelam. Saat orang-orang terlelap dan ketika pagi rumah-rumah kalian akan tersapu ombak, sementara mereka akan tertawa!”


Aku masih belum paham dengan apa yang dimaksud Bomo Ipat. Mungkinkah ia sedang melakukan repertoar panjang tentang orang-orang yang tidak ia sukai atau jangan-jangan memang benar adanya. Picik sekali pikiran orang-orang kota itu. Mereka datang ke kampung kami untuk membunuh kami perlahan. Memagari lautan luas yang kami punya.


“Tok, kalau memang itu yang benar adanya! Maka apa hubungannya dengan peran kami dalam tampilan sandiwara?”


Bomo Ipat, menghisap rokoknya. Ia hembuskan asapnya ke mukaku. Aku terkejut. Ia tertawa dan memukul-mukul tubuhku. Dalam pikiranku, apa betul yang dikatakan orang tua ini atau hanya ramalan dan tebakan saja? 


“Kalian kena azab atas kebodohan kalian!”


“Azab?”


“Ya, kalian memainkan peran Tuah dan Jebat bukan? Itulah kesalahan kalian. Azab itu jatuh ke kalian. Langit dan bumi tidak restu sandiwara itu muncul menyambut orang-orang serakah itu! Mereka sudah melakukan tukar guling harga diri. Tapi Tuah dan Jebat tidak menerima. Sekarang, azab itu masuk ke tubuh kalian. Bisa saja kalian akan seperti ini sepanjang umur kalian!”


Rokok itu pun habis sembari ia bercerita, pandangannya lurus tegak ke satu titik.


“Tok Bomo! Kucai dan Imah kembali meracau. Sekarang mereka saling mencekik!”, ucap seorang warga berlari ke arah kami.


Wajah Bomo Ipat langsung merah padam. Mulutnya komat kamit, bersiap untuk masuk ke dalam ruangan. Ia loncat, berdiri dan lari ke arah suara Kucai dan Imah. Aku kaku, sepertinya aku juga akan meracau. Tanganku mulai berat, kepalaku serasa ditarik ke belakang, rambutku dicabut satu demi satu. Kami kena azab itu karena kami berkhianat kepada kampung. Menganggap tamu-tamu itu bak pahlawan padahal mereka tak lebih dari parasit yang akan merusak kampung. Menghisap sari madu kampung kami, lalu melepehnya seperti kotoran. Biadab.


Aku tak sabar ingin bertemu kepala desa di rumahnya. Aku protes! Kesenian tidak boleh dicampuradukkan dengan politik hanya untuk mengisi perut-perut mereka para cukong. Kami kena azab karena memainkan sandiwara pada niat yang salah. Hang Tuah telah marah pada kami. Laksamana itu tidak terima jika jiwa dan semangatnya dihadirkan menyambut pengecut yang berkedok tamu itu. Jebat mengamuk tidak lagi pada Sultan, tetapi kepada kami yang telah berkhianat. Tuah dan Jebat sedang mengayunkan amarahnya pada kami. Tuah tidak senang dengan orang-orang yang berkhianat. Ia akan melawannya meskipun ia adalah sahabat sendiri. Sementara, Jebat mempertaruhkan kesetiaan dan kecintaannya sebagai sahabat, membalas dendam pada siapa yang telah  membunuh sahabatnya. 


Kami bukan siapa-siapa. Kami hanya bersandiwara sebagai Tuah dan Jebat, tapi kena azab atas apa yang tidak kami buat. Aku tidak tahu jika sandiwara itu bisa membuat mereka marah. Kepala desa kurang ajar! Ia yang membawa Kucai, Imah dan aku ke dalam lingkaran gelap. Suara-suara teriakan itu semakin lama semakin keras. Imah dan Kucai memekik bergema dan menembus langit-langit. Suaranya didengar ombak lautan yang berbisik. Laut dan segala isinya adalah harta kami satu-satunya. Aku harus pergi ke rumah kepala desa. Aku protes keras. Geram rasanya dibohongi oleh kepala desa sendiri. Seenaknya saja memagari lautan dan mengabaikan kepercayaan kami. Aku berdiri lalu berjalan cepat ke rumahnya yang cukup dekat. Dalam derap langkah kaki, hanya ada resah dan amarah. Suara teriakan Imah dan Kucai mengiang terus di telingaku seperti teror. Tepat di depan rumah kepala desa. Aku tertegun. Kakiku seperti dipaku ke bumi, dikebat dengan rantai panjang tak berujung. Aku melihat istri dan anak kepala desa serta beberapa orang memegang tubuh kepala desa itu. Ia meracau.


“Tuah … Jebat ….”