Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Rika Sitanggang | Kampung Manunggal

Cerpen Rika Sitanggang



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku dan bapak tinggal di suatu desa kecil di pesisir Indonesia, tepatnya di sebuah kampung nelayan bernama Kampung Manunggal. Kampung ini telah berdiri selama ratusan tahun. Laut adalah denyut nadinya, dan gelombang adalah nyanyian pengantar tidur bagi para penghuninya. Kami hidup dengan laut, dari laut, dan untuk laut. Kampung ini adalah tempat lahir bapak dan diriku. Setiap pagi, suara perahu yang berderit di dermaga kecil menjadi tanda kehidupan yang terus berputar. Seringkali aku melihat anak-anak desa bermain di tepi pantai, melukis jejak kaki kecil mereka di pasir basah, sementara para orang tua menebar jala di perairan dangkal, mencari ikan yang menjadi tumpuan hidup mereka.


Namun, semua itu berubah pada suatu hari yang tak pernah mereka bayangkan. Sebuah perusahaan besar datang dengan janji-janji yang bersinar seperti mentari pagi. Mereka bilang, "Kami akan membangun pelabuhan internasional di sini. Laut kalian akan menjadi pusat perdagangan dunia. Kampung ini akan maju, dan kehidupan kalian akan berubah menjadi lebih baik." 


Tapi, janji itu seperti ombak yang terlihat tenang dari jauh, namun menyimpan badai yang mematikan.


Pembangunan dimulai dengan cepat. Para nelayan yang dulu bebas melaut kini melihat sesuatu yang asing di cakrawala: sebuah garis panjang yang membelah laut, seperti luka menganga di permukaan biru yang tak pernah ternoda. Itu adalah pagar laut—batas yang dibangun oleh mesin-mesin besar, memanjang sejauh mata memandang. Pagar itu mengurung laut yang dulu bebas, memisahkan masyarakat dari ruang hidup mereka. "Ini untuk keamanan proyek," begitu kata mereka. Tapi bagi warga Kampung Manunggal, pagar itu adalah dinding penjara yang tidak kasat mata.


Pagi itu, ketika aku sedang menyapu rumah, aku melihat bapak duduk di teras sambil menghela nafas.


"Bagaimana kami bisa melaut kalau lautnya dipagari?" keluh bapak, seorang nelayan tua yang telah mengarungi laut sejak usianya belasan. Tangan bapak yang keriput menggenggam jala yang mulai usang. "Laut adalah rumah kami. Sekarang, rumah itu dirampas tanpa permisi."


Benar kata bapak. Bahkan, anak-anak yang dulu bermain di pantai kini hanya bisa memandang laut dari kejauhan, seperti melihat sesuatu yang pernah menjadi milik mereka tapi kini tak lagi bisa disentuh. Pasir pantai yang dulu penuh dengan tawa kini sepi, hanya ada jejak mesin-mesin berat yang berlalu lalang.


Hari demi hari, pagar laut itu semakin panjang. Para nelayan tak lagi bisa melaut karena akses mereka tertutup. Mereka yang mencoba mendekati area pagar sering kali diusir dengan kasar oleh petugas keamanan. Beberapa bahkan ditangkap karena dianggap "melanggar hukum." Namun, siapa yang bisa menjelaskan hukum kepada mereka yang hidup sederhana dan hanya tahu bahwa laut adalah warisan nenek moyang yang tak pernah bisa dimiliki siapa pun?


Aku marah. Marah karena tidak berdaya dan marah karena tidak ada yang cukup peduli untuk datang menolong kami. Aku ingin marah pada dunia, pada Tuhan yang katanya Mahaadil, tetapi mengapa warga desa harus menderita seperti ini? Mengapa kami yang tidak memiliki kekuasaan harus sendirian, terlantar tanpa ada tangan yang menolong? Apakah Tuhan tidak melihat? Tidak mendengar? Tuhan juga hanya berpihak pada mereka yang berharta saja, kah?


Satu per satu keluarga mulai meninggalkan Kampung Manunggal. Mereka tak punya pilihan lain selain mencari kehidupan di tempat lain.


“Adi, kamu dan keluargamu pindah hari ini?” tanyaku pada anak tetanggaku yang sedang mengangkuti barang-barangnya keluar dari rumah.


Adi menghela nafas.


“Iya, kak. Bapak sudah tidak bisa mencari ikan di laut, ibu jadinya tidak bisa jualan ikan di pasar. Kata bapak, kalau tetap tinggal di sini, nanti kita malah hidup menderita, yang ada orang-orang yang sedang membangun pagar laut itu makin tertawa bahagia di atas kita.”


Namun, perpindahan itu bukan hal yang mudah. Kehidupan sebagai nelayan tidak bisa begitu saja digantikan dengan pekerjaan lain.


Bapak dan aku tetap bertahan bersama segelintir warga. Kami mencoba bertahan hidup dengan menjual apa yang tersisa: perahu tua, jala berlubang, bahkan tanah rumah kami sendiri. Tapi, apa gunanya memiliki rumah jika laut yang menjadi nyawa kami telah dirampas?

Pada hari berikutnya, pamanku mengunjungi kami. Paman ternyata ingin membujuk bapak agar aku dan bapak meninggalkan Kampung Manunggal, tempat kelahiran kami, dan tinggal bersamanya di kota. Kata paman, aku dan bapak sudah tidak bisa mengharapkan apa-apa lagi untuk kampung kami. Bapak juga sudah mengetahui hal itu sejak lama, tapi tetap saja mendengar perkataan paman, bapak hanya menjadi semakin sedih dan terpukul.


Pada malam harinya, suara ombak terdengar lebih keras dari biasanya. Angin membawa aroma asin yang menusuk hidung. Aku melihat bapak hendak pergi keluar rumah, karena penasaran, aku menghampiri bapak dan bertanya mau kemana. Ternyata, bapak ingin melaut, meski tahu itu adalah tindakan berbahaya. "Laut adalah hidup bapak, nak." gumamnya. "Kalau bapak mati di laut, setidaknya bapak mati di rumah bapak sendiri." Aku tidak begitu mengerti maksud perkataan bapak, namun aku memutuskan untuk ikut dengannya.


Dengan perahu kecil kami, aku dan bapak pergi menyusuri laut. Lalu, kami mendekati pagar laut itu. Di ujung sana, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku serasa berhenti. Di balik pagar itu, laut yang dulu penuh dengan ikan-ikan kini telah berubah menjadi genangan hitam pekat. Limbah dari pembangunan telah mencemari air, membunuh kehidupan yang ada di dalamnya. Ikan-ikan mengapung tak bernyawa, seperti menunggu seseorang untuk menguburkan mereka.


Air mata mengalir di pipi bapak. Bapak melempar jalanya ke laut, bukan untuk menangkap ikan, tapi untuk mengenang. "Maafkan kami, laut," bisiknya. "Kami tidak bisa melindungimu."


Setelah kami kembali, kami menguburkan ikan-ikan mati yang sempat bapak jala tadi. Lantas setelah sampai di rumah, aku langsung tidur di kamar karena sudah teramat lelah dan mengantuk.


Keesokan harinya, perahu bapak ditemukan terbalik di tepi pantai. Setelah aku tertidur, ternyata bapak kembali melaut seorang diri. Tubuh bapakku tersayang tidak pernah ditemukan. Beberapa warga percaya bahwa bapak memilih untuk menyatu dengan laut, menjadi bagian dari rumahnya yang telah dirampas. Kata pamanku, bapakku masih ingin menjaga laut, rumahnya.


Tahun-tahun berlalu, dan Kampung Manunggal kini hanya tinggal nama. Tempat itu telah berubah menjadi kawasan industri besar dengan kapal-kapal raksasa yang berlabuh setiap hari. Tidak ada lagi suara anak-anak di pantai, tidak ada lagi penduduk desa yang saling bercanda gurau seperti keluarga, tidak ada lagi jala yang dilempar ke laut. Hanya ada mesin dan suara bising yang menggantikan harmoni alam.


Di balik pembangunan yang megah, ada kehidupan yang direnggut, ada budaya yang dihancurkan, dan ada alam yang dilukai. Konflik agraria bukan sekadar soal tanah atau laut. Ini adalah soal kemanusiaan, soal keberlangsungan hidup bersama dengan alam. Pagar laut adalah simbol dari ketidakadilan yang sering kali tersembunyi di balik jargon-jargon pembangunan. Tapi, seperti laut yang tidak pernah diam, perjuangan masyarakat pesisir akan terus bergema. Mereka mungkin kalah di atas kertas, tapi ingatan mereka akan menjadi ombak yang terus menghantam, mengingatkan kita bahwa manusia tidak pernah benar-benar bisa memiliki alam.