Cerpen Riki Utomi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Laki-laki itu, entah dari mana, tiba-tiba saja berada di dekat saya. Raut mukanya semuram langit mendung. Dia diam memandang jauh ke depan, ke arah laut itu. Sesekali dengus napasnya berat, seperti sarat akan beban. Sesekali juga dia menggeleng pelan, seperti menaruh kekecewaan. Saya menebak pasti ada gejolak dalam dadanya. Sejenak saya coba mengingat-ingat, barangkali dia pernah saya jumpai sebelumnya, dimana? Namun sejauh saya coba mengingat berujung gagal. Saya merasa belum pernah menjumpainya dimanapun. Apakah dia warga baru disini? Tapi mengapa dia tampak begitu terpukul ketika memandang laut itu? Saya coba untuk menyapa. Namun dia lebih dulu menoleh kepada saya dengan raut wajah yang semakin prihatin.
Saya tergeragap, dia seperti mengetahui juga perasaan saya yang prihatin kepadanya. Sekilas dia tersenyum pahit, seperti ingin menunjukkan bahwa apa yang ditunjukkannya kepada saya adalah sebuah jawaban. Selain itu, oh, matanya! Sungguh saya melihat tampak berkaca-kaca. Apakah dia ingin menangis? Mengapa sejauh itu dia merasa terpuruk?
Lagi-lagi saya mencoba untuk bertanya, tapi sial, seperti ada yang menghambat di tenggorokan saya untuk berucap! Akhirnya saya tak jadi bersuara. Saya hanya terus melihatnya memandang jauh ke arah laut itu. Dia masih larut memandang dengan raut kusut dan juga—ini yang sulit saya tebak—pikirannya! Saya menduga bahwa hal itu tak kalah kusut daripada wajahnya.
Tapi pikiran apa yang membuatnya terpukul seperti itu?
***
Saya masih saja mencoba menebak-nebak pikirannya. Anehnya, saya masih juga belum berani bertanya. Saya biarkan saja dia larut dengan sengkarut pikiran dan debar hatinya. Barangkali dia ingin melunaskan apa-apa yang menjadi kenangan dengan memandang laut itu atau barangkali pula tergores sesuatu yang benar-benar membuatnya terpukul saat ini karena kekecewaan akan suatu hal? Entahlah.
Dia masih membelakangi saya. Mematung memandang laut itu. Deburan ombak memecah di turap menciptakan percikan yang turut membasahi bajunya. Tapi dia tak bergeming. Kakinya seperti terpacak kuat di tanah. Seberat apakah beban yang membuatnya tampak tak genah?
Barangkali ada baiknya saya harus meninggalkannya. Saya urungkan niat untuk bertanya. Biarlah dia larut dengan segala sengkarut pikirannya itu. Saya menarik napas dalam-dalam, sekadar sedikit mencoba mengerti perasaanya walau entah apa. Tapi ketika kaki saya mulai melangkah untuk beranjak, tiba-tiba saja dia berucap lirih dan berat.
“Bambu ….”
Spontan saya membalikkan lagi badan ke arahnya. Langkah saya menjadi terhenti.
“Bambu?” tanya saya pelan.
Ia membalikkan badan, memandang saya dengan raut kusut, “Ya. Anda pasti tahu bambu,” ucapnya dengan nada beban.
Saya mengangguk. Dia mengarahkan saya untuk melihat laut itu, sambil menunjuk. Angin manampar-nampar wajah kami berdua. Ah, akhirnya pecah juga tangisnya itu. Tampak tubuhnya gemetar. Sedangkan tangannya masih menunjuk ke laut.
“Ini sebuah penderitaan!”
Saya mendengar sebuah penekanan yang berat dari suaranya. Saya tahu, juga sebagaimana seluruh warga di sini, juga seluruh orang di tanah air ini tentang bambu itu yang terpancang tersusun rapi memagari laut. Namun apalah daya bagi warga kecil seperti saya dan juga warga di sini terhadap hal itu. Suara-suara kami seperti dengung lalat yang tidak berpengaruh apa-apa.
Tetapi dengan kehadiran laki-laki aneh itu di sore ini, setidaknya memberikan denyut lain dalam jantung saya. Tiba-tiba darah saya berdesir karena melihat tangisnya yang pecah. Ada sesuatu yang lebih menukik hatinya yang seperti tertusuk-tusuk oleh bambu-bambu yang memagari laut itu.
“Apakah kita masih ada?”
“Maksud Anda?”
Dia menoleh kepada saya kali ini dengan tatapan tidak percaya. Saya merasa seperti berhadapan dengan guru yang tidak puas akan jawaban muridnya. Tiba-tiba saya seperti merasa bodoh.
“Kita masih terpenjara!” lanjutnya pelan dan tegas.
Saya biarkan dia larut dengan isak tangisnya. Kembali dia memandang laut dengan pagar bambu yang tersusun sepanjang laut itu.
***
Saya mengerti perasaannya. Juga turut membenarkan yang dikatakannya. Tetapi bukankah berkata-kata kepada mereka yang menancapkan kekuasaan itu tidak semudah yang kita bayangkan? Apalagi saya yang jelata ini, begitu saya katakan padanya. Semakin larut memandangnya, saya menjadi curiga, apakah dia seseroang yang “kuat” dalam hal ini?
Kuat? Maksud saya adalah orang yang dapat menyuarakan debar dan keluh resah kami di sini. Sebagai pula penyambung lidah bagi lisan-lisan kami yang masih terkunci ini. Untuk itulah saya mencoba bertanya kepadanya, tapi lagi-lagi dia telah duluan bertanya kepada saya.
“Anda tahu? Bahwa saya dulu lebih berat menggunakan bambu.”
“Maksud Anda?”
“Saya bersama kawan-kawan rela masuk semak belukar mencari bambu untuk mengusir penjajah!”
Saya hanya mengangguk. Tahu pasti bahwa dulu bangsa ini berjuang dengan menggunakan senjata bambu. Dia mengatakan lagi bahwa bambu sangat memiliki nilai dan filosifis tinggi bagi bangsa ini.
“Tapi sekarang saya sedih ….”
“Sudah semestinya ….”
Dia tampak menarik napas sambil berusaha menghentikan air mata. Mencoba memasang senyum sebisanya kepada saya. Saya membalas tersenyum prihatin. Saya dapat merasakan betul remuk hatinya saat ini. Ah, barangkali saya tipe laki-laki sensitif yang tidak dapat melihat sebuah kesedihan. Tapi ini bukan berlebihan dari orang model saya, lebih jauh saya hanya menunjukkan rasa menghargainya yang begitu peka terhadap hal itu.
“Apalagi kawan-kawan saya di sana. Mereka pasti turut menangis pula,” lanjutnya.
“Kawan-kawan Anda?” tanya saya dengan penuh tanda tanya.
“Ya. Kawan saya.”
“Dimana?”
Dia diam. Kembali memandang laut itu. Memandang dengan segala rasa yang kecamuk. Saya turut memandang laut, seperti ada sesuatu yang ikut melarut bersamanya, bersama apa yang dipikirkan dan disedihkannya. Tiba-tiba jantung saya berdebar, makin lama terasa kencang, juga kepala saya menjadi pusing. Angin laut menampar-nampar muka saya. Gelombang silih berganti berkejaran ke tepian turap dan memecah menciptakan cipratan yang—kali ini turut membasahi baju saya.
Saya begitu larut memandang laut itu. Sayup-sayup sebuah suara merambat ke telinga saya. Semakin lama suara itu terasa dekat memanggil. Bahu saya ditepuk, saya terkesiap menoleh dengan rasa kaget luar biasa. Ternyata istri saya telah berada di dekat saya dengan wajah cemas dan prihatin.
“Mengapa magrib masih di sini!” teriaknya dengan sedikit kesal.
Saya mengucap istighfar. Magrib? Saya baru tersadar sayu-sayup azan magrib mengumandang dari surau yang jauh itu. Saya toleh kanan-kiri, depan-belakang, membuat istri saya terheran-heran dengan kelakuan saya.
“Mencari siapa?!”
“Laki-laki itu!”
“Laki-laki? Siapa?!”
“Aku juga tidak tahu.”
“Aneh Abang ini. Cepat pulang!”
“Tadi aku berbicara dengannya di sini,” kata saya meyakinkan istri.
Istri saya malah melongo, “Aku lihat Abang sejak tampak tadi hanya berdiri sendiri.”
“Tidak mungkin. Soalnya laki-laki itu ada di sebelahku,” kata saya meyakinkan.
***
Sayangnya saya tidak menanyakan nama laki-laki itu semalam. Padahal saya ingin tahu lebih jauh dirinya. Apalagi dia menunjukkan rasa keprihatinan akan laut kami. Ya, pagar-pagar bambu yang tersusun rapi itu. Kini saya, juga rekan-rekan nelayan yang lain menjadi susah untuk menjaring ikan.
Pak RT yang kami nantikan akhirnya datang ke aula sederhana kantor desa. Seperti wajah laki-laki aneh yang datang kepada saya semalam, wajah Pak RT juga sarat beban. Ah, sama seperti wajah-wajah kami juga saat ini. Pak RT memulai membicarakan sesuatunya untuk mencari jalan keluar itu. Sampai pada cerita dia dahulu punya datuk yang turut berjuang melawan penjajah. Datuknya—dengan bangganya Pak RT bercerita—sangat gagah berani meski senjata yang diandalkan hanya sebatang bambu runcing.
“Dia bernama Syamjali!” kata Pak RT dengan bangga dan sumringah.
“Tapi terbalik sekarang!” celetuk seseorang.
“Ya. Rakyat yang kini dijajah pakai bambu!” celetuk seseorang yang diiringi tawa.
Entah dari mana sebilah foto lawas datuk Pak RT itu sampai juga ke tangan saya. Pasti telah ulur-sambut ke setiap tangan orang yang hadir. Tampak mereka mengangguk-angguk dan kagum pada foto itu. Termasuk saya, ketika melihat sosok di dalam foto itu. Meskipun foto lawas yang agak pudar, namun ada sesuatu yang membuat saya terkesiap. Wajah dalam foto itu. Ya, wajah itu begitu sangat mirip laki-laki aneh yang semalam sore bersama saya di tepi laut!
“Dia sudah meninggal lama,” sayup kata Pak RT saya dengar.
“Dia veteran, bukan? Kuburnya di Makam Pahlawan kampung kita,” kata seseorang.
Saya pandang lagi wajah dalam foto itu. Tiba-tiba saya bergidik. (*)