Cerpen
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Matahari memancarkan sinar jingganya di ufuk timur. Ombak berkejaran di bibir pantai, membentuk riak-riak yang seolah menari dalam irama alam. Keindahan seperti ini sudah sering kulihat, namun pagi ini terasa berbeda.
"Apa karena mimpiku semalam?" gumamku dalam hati.
Semalam, aku bermimpi. Dalam mimpi itu, samar-samar kulihat bayangan orang-orang yang tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Aku tidak dapat melihatnya dengan jelas, tetapi yang tampak kemudian adalah ikan-ikan mati, tanah yang berubah warna, dan tumpukan bambu dengan berbagai ukuran teronggok di pinggir pantai. Sayangnya, semua itu lenyap begitu saja seiring aku terbangun.
Sejak saat itu, perasaanku tidak enak. Entah mengapa, aku merasa sesuatu akan terjadi di sekitar rumah. Aku mencoba menepis semua perasaan itu. Dengan penuh semangat, aku persiapkan perlengkapan untuk mencari ikan di hari ini. Jala, umpan, serta dayung telah siap di atas perahu. Laut yang tenang di pagi hari seharusnya menjadi pertanda baik bagi kami, para nelayan.
“Aku pergi melaut dulu. Hati-hati jaga rumah, minta tolong tetangga kalau kamu mengalami kesulitan.”
Setelah berpamitan dengan istriku, aku berjalan menuju pantai. Di sana, beberapa nelayan lain sudah berkumpul. Mereka juga tengah bersiap-siap melaut.
"Pagi ini laut tampak ramah, semoga tangkapan kita melimpah," kata Pak Darma, nelayan tua yang sudah bertahun-tahun menggantungkan hidupnya dari laut.
Aku mengangguk dan tersenyum. Namun, tak lama setelah itu, suara gemuruh mesin terdengar dari kejauhan. Sebuah truk mendekat, membawa beberapa orang dengan wajah sangar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam dan membawa senjata di tangan. Ketegangan langsung terasa di udara.
"Hentikan semua aktivitas kalian!" Salah seorang dari mereka berteriak lantang.
Kami saling berpandangan, bingung dan takut.
"Mulai hari ini, tempat ini disterilkan. Tidak ada yang boleh mencari ikan lagi di perairan ini," lanjutnya.
Pak Darma maju dengan hati-hati. "Tapi, kami menggantungkan hidup dari laut ini. Kalau kami dilarang melaut, bagaimana kami bisa memberi makan keluarga kami?"
Salah satu pria bersenjata itu mencengkram kerah baju Pak Darma dengan kasar. "Ini perintah Kepala Desa. Kalian lebih baik menurut jika tidak ingin celaka!"
Aku yang masih memiliki nyali mencoba maju. “Maaf pak, apakah saya boleh tahu, mengapa tempat ini disterilkan?”
“Heh, masih membantah juga rupanya?” Jawab salah seorang pria bertubuh tinggi kurus.
Ia mengayunkan tangan ke arahku. Namun, aku masih bisa menghindar. Pak Darma yang melihat itu cepat-cepat menghampiriku.
“Sudahlah, ayo kita pulang. Jangan mencelakakan diri sendiri.” Ujar Pak Darma dengan mimik wajah khawatir.
“Tapi Pak, laut adalah mata pencaharian kita. Kalau laut itu disterilkan…”
“Sudahlah!” potong Pak Darma. "Ayo kita pulang."
Akhirnya, aku dan para nelayan lain tak jadi menangkap ikan. Satu per satu, kami kembali ke rumah dengan hati penuh ketakutan. Hari itu, laut yang biasa memberi kami kehidupan terasa begitu jauh dan tak terjangkau.
Sesampainya di rumah, istriku menyambutku dengan wajah penuh tanya.
"Kau cepat sekali pulang? Ada apa?" tanyanya khawatir.
Aku duduk di kursi dengan lemas. "Ada orang-orang bersenjata di pantai. Mereka melarang kita melaut. Katanya ini perintah kepala desa."
Istriku menghela napas panjang. "Bagaimana kita akan bertahan kalau kau tak bisa melaut?"
Aku menggeleng. "Aku juga tak tahu. Semua nelayan takut. Jika kita melawan, kita bisa celaka."
Hari-hari berikutnya, kami hanya bisa menyaksikan dari kejauhan bagaimana pagar laut mulai dipasang. Para nelayan mulai putus asa. Tanpa hasil laut, kehidupanku Bersama keluarga semakin sulit. Pernah suatu hari aku mencoba untuk melaut, namun hasil tangkapanku tidak sebanyak biasanya. Begitu pula pak Darma yang juga ikut melaut. Padahal, pak Darma adalah nelayan yang memiliki segudang pengalaman dalam menangkap ikan. Namun hari itu, hasil tangkapannya pun juga menyusut drastis. Ku lihat hanya beberapa ekor saja yang ada di dalam wadah.
Hari demi hari terus berlalu dengan tanpa kepastian. Kondisi ekonomi keluargaku semakin sulit, karena hasil tangkapan ikan semakin sedikit seiring semakin meluasnya pagar laut yang dibangun orang-orang itu. Terbersit niat untuk melaporkan ini semua ke pihak polisi, namun aku harus memikirkan ulang dampaknya terhadap keluarga. Namun disuatu hari , ku dengar Rudi yang juga salah seorang nelayan di kampung pesisir itu memberanikan diri untuk melapor ke pihak berwenang. Namun, sebelum ia sempat pergi, orang-orang bersenjata itu menangkapnya.
"Hei, mau ke mana kau?" bentak salah satu pria bersenjata.
Rudi menelan ludah. "Saya hanya ingin pergi ke kota... membeli sesuatu."
Pria itu menyeringai. "Kau pikir kami bodoh? Kau mau mengadu ke polisi, bukan?"
"Tidak! Saya—"
Tanpa banyak bicara, mereka langsung memukul Rudi hingga tersungkur. Dengan kasar, mereka menyeretnya ke dalam mobil.
“Ampuuun, ampuni saya.” Jerit Rudi saat diseret oleh orang-orang itu. Aku dan para nelayan lainnya yang kebetulan mengetahui hal itu tak bisa berbuat banyak.
Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani melawan.
Tak lama setelah insiden itu, orang-orang bersenjata mengumpulkan kami. Mereka datang dengan mobil penuh makanan dan sejumlah uang.
"Ini untuk kalian. Jangan macam-macam lagi!" kata mereka.
Aku mengambil satu bungkus makanan dengan ragu. Dengan sedikit gontai, aku berjalan menuju rumah. Saat membuka pintu, tatapan istriku memandang dengan penuh tanya.
“Kau membawa apa.” Tanyanya.
“Tadi ada bagi-bagi makanan dan uang. Itu buntut dari peristiwa Rudi kemarin. Semacam suap gitulah.” Ujarku sembari menghela nafas Panjang.
"Kau yakin kita harus menerimanya?" bisiknya.
Aku menggenggam uang di tanganku. "Apa pilihan kita? Tanpa ini, kita tak bisa makan."
Istriku menghela napas berat. "Tapi ini salah. Jika kita menerima, kita ikut membiarkan kejahatan ini terus berlangsung."
Aku terdiam sejenak.
“Memang, tapi mau bagaimana lagi? Kau lihat, pagar bambu telah terpasang. Aku dan para nelayan lain kesulitan untuk melaut.” Ucapku sambil menghela nafas berat.
“Sudahlah, aku yakin, kejahatan ini akan terbongkar dengan sendirinya.” Ujarku sembari mengusap rambut istriku.
Kami pun bertahan dalam kondisi yang tak menentu. Selama berbulan-bulan, proyek itu terus berjalan. Pemasangan pagar laut dilakukan tanpa mengenal waktu. Bahkan hingga larut malam, mereka masih berjibaku dengan bambu-bambu.
Kini, sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah bambu dan bambu saja. Keindahan yang dulunya senantiasa hadir disetiap pagi, kini musnah tergantikan oleh bayang-bayang suram di tepi Pantai.
Namun, desas-desus tentang proyek ilegal ini akhirnya sampai ke telinga polisi. Beberapa minggu kemudian, pagi yang kami pikir akan berlalu seperti biasa berubah menjadi mencekam. Deru sirene dan langkah kaki ratusan polisi menggema di sepanjang pantai. Mereka datang dengan senjata lengkap, siap menangkap orang-orang bersenjata itu. Namun, orang-orang itu cepat kabur. Terjadilah aksi kejar-kejaran antara pihak polisi dengan orang-orang yang mengaku suruhan dari Kepala desa itu. Saat hari hampir sore, pengejaranpun dihentikan. Beberapa orang polisi menanyai aku dan beberapa nelayan tentang apa yang terjadi. Namun, kami ragu untuk menceritakannya, karena kami memikirkan keselamatan keluarga. Polisi-polisi itu pun agaknya maklum dengan kekhawatiran kami. Mereka tidak memaksa. Mereka Kembali ke kota dengan membawa kegagalan.
Sejak saat itu, orang-orang suruhan Kepala desa lebih berhati-hati menjalankan proyeknya. Bahkan, Pembangunan pagar laut tidak dilakukan di siang hari, melainkan di malam hari, saat para warga terlelap. Namun terkadang, aku masih sempat melihat orang-orang yang menurunkan bambu-bambu dengan berbagai bentuk dari atas truk. Aku pun diam saja. Aku merasa keadaan begitu mencekam. Seakan setiap Gerak diawasi. Apalagi semenjak datangnya polisi tempo hari.
Akan tetapi, keadaan itu tak begitu lama. Beberapa minggu kemudian, para polisi dengan jumlah yang lebih banyak dengan persenjataan sangat lengkap Kembali mendatangi kampung kami. Mereka langsung menyerbu kearah segerombolan orang-orang yang sedang memasang bambu-bambu di tepi Pantai. Perlawanan terjadi. Suara tembakan terdengar, jeritan menggema. Selama berjam-jam bentrokan itu terjadi. Korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun, polisi berhasil mengendalikan keadaan. Satu per satu, orang-orang bersenjata itu diringkus dan dibawa pergi. Sebagian polisi lainnya mulai membongkar pagar laut yang telah tertanam sejauh 30 kilometer. Para polisi membongkar pagar itu dengan tanpa kenal Lelah. Hampir 30 hari lebih, pagar laut itu telah bersih.
Kami, para nelayan, menyaksikan semua itu dengan perasaan bercampur aduk. Akhirnya, kami bebas. Laut yang selama ini menjadi sumber kehidupan kami kini kembali ke pelukan kami.
Hingga saat ini, proses hukum Kepala desa yang menjadi dalang dari pemasangan pagar laut masih berlangsung. Banyak dalih yang Kepala desa keluarkan, namun hakim memvonis Kepala desa dengan hukuman denda sejumlah nominal. Terlepas dari semua itu, aku dan para nelayan lainnya Kembali beraktifitas mencari ikan.