Cerpen Robby Siagian
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Langit masih gelap ketika Darma menatap laut dari tepi pantai. Angin membawa aroma asin yang selalu mengingatkannya pada kehidupan yang selama ini ia jalani sebagai nelayan. Namun kini, laut tak lagi sama.
Dari kejauhan, pagar beton raksasa menjulang, membelah laut seperti luka menganga. Ombak yang biasa berkejaran kini tertahan, tak lagi bisa merayap ke pantai dengan bebas. Air laut di sisi pesisir perlahan berubah warna, tak lagi sejernih dulu.
Darma dan sekelompok nelayan duduk di tepi pantai dalam lingkaran, wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan. Pak Hasan, seorang nelayan tua yang dihormati di kampung, mengembuskan asap rokoknya dengan berat.
"Kalian lihat sendiri, kan? Ikan makin susah dicari. Dulu, tinggal menjaring di perairan dangkal, kita bisa bawa pulang cukup untuk makan seminggu. Sekarang?" katanya, suaranya berat.
"Betul, Pak. Sekarang kita harus pergi lebih jauh, dan tetap saja hasilnya tidak seberapa," sahut Rahmat, seorang nelayan muda yang mulai kehilangan harapan.
"Lalu kita harus bagaimana? Kalau kita diam saja, mereka akan terus menimbun laut.?" tanya Udin, mengepalkan tangannya.
Seorang nelayan lain, Budi, menyela. "Mereka bilang kita bisa kerja di proyek itu, jadi buruh. Katanya lebih pasti daripada menunggu ikan yang entah datang entah tidak. Cukuplah buat makan, katanya.”
“Kau ingin bekerja menggali kuburan laut kita sendiri?” suara Darma tajam. “Laut yang menghidupi kita selama ini, yang menghidupi ayahmu, kakekmu, semua leluhur kita! Dan sekarang kita malah ikut-ikutan membangunnya menjadi daratan?”
Pak Hasan menoleh tajam ke arah Budi. "Cukup buat makan? Sampai kapan? Kalau laut ini mati, kau pikir mereka masih butuh tenaga kalian?"
Budi terdiam, menunduk. Dalam hati, ia tahu Darma dan Pak Hasan benar.
Pagar laut itu dibangun oleh sebuah korporasi milik konglomerat yang mengklaim bahwa tanah baru harus diciptakan demi pertumbuhan ekonomi. Dengan dalih memperluas daratan, mereka mulai menyedot air laut, mengeringkan bagian tertentu untuk menimbunnya dengan tanah dan beton. Para nelayan yang dulu merajai lautan kini dipekerjakan sebagai buruh kasar, dibayar murah untuk mengkhianati laut yang selama ini memberi mereka kehidupan.
Namun, sesuatu terasa salah. Ombak semakin tak terkendali, angin semakin sering menerjang dengan kekuatan yang mengkhawatirkan. Seolah laut menolak diisap, dipagari, dan dibunuh perlahan-lahan. Para nelayan yang tetap bertahan mencoba berbicara kepada pemerintah daerah. Namun begitu sampai di kantor Walikota, mereka tak diizinkan masuk. Seorang petugas keamanan mengadang di pintu gerbang dengan wajah bosan.
“Sudah dibilang, proyek ini untuk kepentingan bersama. Kalau kalian nelayan susah cari ikan, kenapa tidak cari kerja lain?”
“Kami bukan tidak mau kerja lain!” suara Pak Hasan bergetar. “Tapi ini laut kami! Rumah kami! Kau kira mudah mengganti hidup yang sudah kami jalani turun-temurun?”
Petugas itu mendengus. “Dunia berubah, Pak. Kalian harus ikut berkembang.”
Darma maju selangkah. “Kalau dunia berubah dengan membunuh laut, merusak ekosistem, lalu kita semua akan makan apa nanti?”
Petugas itu terdiam sesaat sebelum mengangkat bahu. “Itu bukan urusan saya.”
Darma tertawa sinis. “Tentu saja bukan urusanmu. Kalian hanya peduli jika perut kalian sendiri yang lapar.”
Dari dalam gedung, seorang pria dengan jas rapi keluar, wajahnya terlihat terganggu melihat kerumunan nelayan di luar gerbang.
“Ada apa ini?”
Petugas itu menoleh dan memberi hormat. “Pak Sekretaris, mereka ingin bicara soal proyek.”
Pria yang dipanggil Pak Sekretaris itu menatap mereka dengan senyum dingin. “Saya sudah mendengar keluhan kalian. Tapi percayalah, ini untuk kebaikan semua orang. Dengan adanya daratan baru, akan ada lebih banyak peluang kerja dan membawa kesejahteraan.”
Darma mendengus. “Bagi siapa? Bagi kami atau bagi investor?”
Pria itu tertawa kecil, seolah pertanyaan itu menggelitik. “Bapak-bapak harus berpikir lebih luas. Laut bukan satu-satunya sumber kehidupan. Kita harus memanfaatkan teknologi, membangun ekonomi baru. Kalian bisa belajar keterampilan baru, bekerja di pabrik atau perusahaan.”
Pak Hasan maju dengan wajah memerah. “Kami bukan angka dalam laporanmu, Pak! Kami manusia! Kami bukan sekadar angka dalam statistik pembangunan yang kau banggakan di depan investor!”
Sekretaris itu menghela napas. “Saya paham perasaan kalian, tapi keputusan sudah diambil.”
“Kami tak akan tinggal diam,” kata Darma, suaranya berat oleh amarah yang tertahan.
Sekretaris itu hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, semoga beruntung.” Lalu ia berbalik dan masuk kembali ke dalam gedung.
***
Malam itu, sebuah perahu kecil melaju dengan hati-hati menuju pagar laut. Di atasnya, lima nelayan muda duduk dalam diam, wajah mereka tegang dalam cahaya rembulan. Laut tenang malam itu, seolah menahan napas menunggu apa yang akan terjadi.
"Kalian yakin ini akan berhasil?" bisik Udin.
"Kalau kita tak coba, kita akan mati perlahan-lahan di darat," jawab Darma, si pemimpin kelompok. "Laut ini milik kita. Kita harus merebutnya kembali."
Darma menggenggam sumbu bom rakitan sederhana yang mereka bawa. Tangannya gemetar, bukan karena takut mati, tapi karena amarah yang tertahan selama ini.
“Sudah siap?” bisik Rahmat, napasnya memburu.
Darma mengangguk. Dengan hati yang terbakar, ia menyalakan sumbu bom dan meletakkannya di salah satu struktur penopang utama di sisi timur.
"Cepat kembali ke pantai!" bisik Darma tajam.
Mereka bergegas mendayung menjauh. Dayung mereka bergerak panik, menebas permukaan air yang dingin. Detik-detik terasa melambat. Jantung mereka berdetak seirama dengan api yang merambat pada sumbu bom.
BOOOM!
Suara ledakan membelah malam. Gelombang kejutnya menggetarkan air, langit, dan dada mereka. Sejenak, sunyi menyeruak, seolah dunia menahan napas.
Namun tidak lama.
Lampu-lampu sorot dari menara pengawas menyalak ganas, menyapu kegelapan. Sirene meraung, seperti lonceng kematian yang berdentang dari neraka.
“Mereka tahu!” seru Rahmat.
Lalu suara yang lebih mematikan datang.
Dor! Dor! Dor!
Tembakan menghujani laut. Air memercik liar saat peluru menembus permukaannya. Iman, salah satu penumpang di perahu tiba-tiba menjerit. Darma menoleh dan melihat darah menyembur dari dada Iman.
“Iman!” Darma meraih tangannya, tapi tubuh itu terjatuh ke laut, tenggelam dalam gelap. Darahnya menyatu dengan air, untuk terakhir kalinya ia kembali ke laut, rumah semua nelayan.
“Kita harus pergi!” teriak Udin, wajahnya pucat.
Peluru tak memberi mereka pilihan. Perahu itu bocor, air mulai masuk, menenggelamkan satu-satunya harapan mereka.
“Lompat! Berenang ke bakau!” perintah Darma.
Mereka yang tersisa melompat ke laut, berenang sekuat tenaga menuju hutan bakau yang samar-samar terlihat. Suara tembakan masih mengikuti mereka. Darma menoleh, melihat tubuh teman-temannya satu per satu berhenti bergerak, darah mereka seperti tinta merah yang menyebar dalam air.
Laut ini dulu milik mereka. Kini, ia menjadi kuburan mereka.
Darma terus berenang, meski tubuhnya terasa beku. Ia harus bertahan. Bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang telah tenggelam, untuk dendam yang kini mengakar lebih dalam dari akar bakau di seberang sana.
Ketika Darma sampai di desa, suasana berubah menjadi lautan duka. Para istri menangis histeris, takut kehilangan lebih banyak lagi.
"Kita tak bisa terus begini!" suara tua Pak Hasan, menggelegar di tengah pertemuan darurat. "Mereka membunuh anak-anak kita! Jika kita tak melawan, kita akan mati tanpa perlawanan."
"Tapi mereka punya senjata," ujar seorang lelaki, suaranya bergetar. "Kita hanya punya kapak dan tombak."
"Dan laut," ujar Darma. "Laut akan berpihak pada kita."
Subuh itu, ratusan nelayan bergerak menuju pagar laut. Obor di tangan mereka berkobar, wajah mereka menyiratkan tekad dan kemarahan yang tak terbendung. Para istri mengantar mereka dengan doa, sementara anak-anak menangis, memeluk ayah mereka erat-erat sebelum akhirnya melepaskan.
Para nelayan menerjang aparat dengan segala yang mereka punya. Kayu, kapak, tombak, dan tangan kosong. Suara pertempuran membahana, teriakan bersahutan dengan suara tembakan.
Namun, sesuatu yang lebih besar terjadi.
Ombak tiba-tiba bergulung lebih tinggi dari sebelumnya. Angin bertiup kencang, menciptakan badai yang menerpa pagar raksasa. Air laut yang selama ini ditahan mulai merangsek masuk, meruntuhkan struktur yang sudah rapuh karena ledakan tadi malam. Aparat bayaran berteriak ketakutan saat air mulai membanjiri area mereka. Beberapa dari mereka terhempas ke laut, sementara yang lain melarikan diri dalam kepanikan.
Dan akhirnya, dengan suara gemuruh yang menggetarkan bumi, pagar laut itu runtuh. Air laut yang selama ini tertahan mengalir bebas, menghapus batasan yang selama ini memenjarakan mereka.
Darma berdiri di atas batu besar, menatap lautan yang kini kembali menjadi milik mereka. Ia mengepalkan tangan, menoleh ke arah nelayan yang tersisa.
"Laut telah memilih pihaknya," katanya, suaranya bergetar. "Ia tidak akan dikuasai."
Pagar laut yang dibangun dengan kesombongan akhirnya runtuh. Air laut yang selama ini ditahan meluap dengan dahsyat, menyapu alat-alat berat dan bangunan yang telah didirikan. Para aparat bayaran berlari, menyelamatkan diri dari amukan ombak yang tak tertahankan.
***
Pemerintah, yang awalnya diam dan bahkan melindungi para konglomerat, kini tak punya pilihan selain ikut membongkar sisa pagar laut. Namun, mereka bekerja dengan lamban, seolah menunggu waktu agar publik melupakan apa yang terjadi. Tidak ada investigasi serius terhadap perusahaan kaya itu. Tidak ada keadilan bagi para nelayan yang kehilangan keluarga mereka.
Namun laut tak pernah lupa.
Beberapa bulan setelah pagar laut runtuh, sesuatu yang aneh terjadi. Penyakit misterius mulai menyerang para petinggi perusahaan dan pejabat pemerintah yang terlibat dalam proyek itu. Tubuh mereka membiru, sulit bernapas, seperti paru-paru mereka dipenuhi air asin. Beberapa di antara mereka meninggal dengan cara mengenaskan, sementara yang lain hidup dalam penderitaan, tubuh mereka seolah-olah dipenuhi luka-luka akibat air laut yang mengikis daging mereka perlahan-lahan.
Para nelayan yang tersisa hanya bisa menyaksikan. Mereka tahu ini bukan sekadar kebetulan. Ini adalah hukuman. Karma dari laut yang pernah mereka coba bunuh.
Kini laut kembali bebas, meski kehilangan banyak nyawa untuk melawannya. Namun mereka tahu satu hal yang pasti—tak ada yang bisa mengalahkan laut. Tidak pemerintah. Tidak perusahaan kaya. Tidak keserakahan manusia.