Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Robi Hidayat | Garam Membenci Laut

Cerpen Robi Hidayat



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Keringat mengucur deras di pelipis Karim, membasahi kulit cokelatnya yang sudah akrab dengan bau garam laut sejak ia belajar merangkak. Laut Tangerang yang biasa membentang bebas di depannya, pagi ini menyisakan rasa getir di kerongkongan. Di batas tempat ombak mencium karang, menjulang tiang-tiang besi berkarat seperti gigi raksasa yang menguning, dibelit kawat berduri yang mengilap sinis di bawah matahari. "Ini bukan kami yang pasang," desisnya, lidah terasa kecut seperti mengunyah biji asam.


Masih terngiang di kupingnya deru mesin kapal-kapal besi seminggu silam. Mereka datang membelah riuh langit pagi dengan suara parau, mengusir gerombolan ikan yang biasa menari di sekitar perahunya. Lapisan minyak hitam mengambang di permukaan air, merekat di insang ikan-ikan yang terjaring. Karim menggesekkan jari telunjuknya yang pecah-pecah di kawat yang memutus jala warisan ayahnya. Para nelayan tua hanya menghela napas, tapi di kantong celana compang-campingnya, segulung kawat berduri disembunyikan—saksi bisu yang suatu saat akan ia tunjukkan pada anak-cucu, tentang hari di mana laut mereka mulai dikurung.


Malam itu, Karim tidak tidur. Ia berjalan ke bibir pantai, di mana cahaya bulan memantul di pagar besi seperti senyum yang sinis. Tiba-tiba, ia mendengar suara decak ikan terengah-engah. Di balik pagar, puluhan ikan kerapu mengapung tak bernyawa, insangnya tersangkut kawat. Tangannya gemetar mengangkat satu ekor, sedangkan sisanya basah oleh air mata yang ia sembunyikan.


Esoknya, Karim mengumpulkan nelayan di balai darurat. Tanpa banyak berkata-kata, ia melempar kawat berduri dan ikan mati ke meja. Bau amis bercampur besi karat memenuhi ruangan. "Mereka bunuh laut pelan-pelan," suaranya serak. Nenek di samping mengangguk, kulit keriputnya bergetar. "Dulu darat dirampas, sekarang laut. Mau ke mana kita?"


Sebelum fajar, Karim dan tiga pemuda menyelam dengan parang tumpul. Di dasar laut, kawat-kawat itu seperti ular laut yang ganas. Mereka memotongnya satu per satu, tangan berdarah oleh duri, tapi pagar mulai runtuh. Saat matahari terbit, nelayan lain datang membawa jaring, mengail di celah pagar yang renggang. Tak ada sorak-sorai, hanya desir jaring yang kembali menari.


Tapi keesokan harinya, kapal diesel kembali. Kali ini, mereka membawa surat bermeterai. Karim tertawa getir melihatnya: "Izin resmi," kata si pemegang surat, bajunya rapi tapi matanya tak pernah menatap laut. Malam itu, Karim duduk di perahu rusak milik ayahnya, memandang bintang. Tiba-tiba, ia melihat cahaya redup dari gubuk nelayan—satu per satu, lampu minyak dinyalakan, membentuk garis terang sepanjang pantai.


Pagi hari, pagar besi itu hilang. Hanya bekas tiang karat tertinggal. Tapi di langit, helikopter perusahaan berputar-putar, seperti elang mencari mangsa. Karim mengulum garam dari air matanya, sambil merajut jaring baru.


Dua hari setelah pagar lenyap, truk-truk pengangkut pasir tiba. Mesin bor berdentum di kejauhan, mengoyak karang-karang tempat ikan bersembunyi. Karim memandang ke arah itu, tangan menggenggam jala yang baru dirajutnya. "Mereka takkan berhenti," gumamnya. Di pelabuhan kecil, para nelayan berkumpul. Wajah-wajah lelah itu kini dipenuhi api perlawanan.


"Kita harus ke kota," usul Joko, pemuda yang ikut menyelam bersamanya. Tapi Karim menggeleng. "Surat mereka punya cap, kita cuma punya garam dan darah." Tiba-tiba, nenek yang akrab dengannya menyodorkan kertas lusuh: foto hitam-putih tahun 1980-an, saat tanah desa diambil paksa untuk proyek tambak. "Kakekmu dulu melawan dengan cara ini," bisiknya, menunjuk gambar ratusan orang duduk di atas tanah yang hendak digusur.


Malam berikutnya, Karim dan puluhan nelayan membawa perahu ke garis pantai. Mereka tak melaut. Sebaliknya, mereka duduk di atas pasir, tangan saling berpegangan, membentuk barisan manusia sepanjang 100 meter. Lampu minyak berkelap-kelip di antara mereka, seperti bintang jatuh yang menolak padam. Polisi datang sebelum subuh, sorot lampu mobil menyilaukan. "Ini wilayah legal perusahaan!" teriak seorang perwira.


"Legal bagi siapa?" sahut Karim, suaranya sedikit tenang. Ia mengangkat segenggam pasir, butirannya jatuh perlahan tertiup angin. "Ini tanah leluhur kami. Laut ini bernapas dari nadi kami." Para nelayan tetap duduk, dinginnya malam menusuk tulang, tapi tak satu pun bergerak. Hingga matahari terbit, barisan itu masih bertahan.


Perusahaan tak menyangka aksi ini. Proyek pembangunan tertunda, alat-alat berat menganggur di pinggir pantai. Tapi siasat licik mereka tak berhenti. Esok harinya, seorang jurnalis dari Jakarta datang dengan kamera di tangan. "Kami ingin wawancara tentang perusakan pagar laut," sambil tersenyum tipis. Karim curiga. Di belakang jurnalis itu, ia melihat pria berkemeja rapi—sosok yang kemarin membawa surat bermeterai.


"Apa buktinya kami yang merusak?" tanya Karim, matanya menyipit. Jurnalis itu mengeluarkan foto pagar yang terpotong, diambil dari helikopter. "Ini bukti kerugian perusahaan. Jika tak mau digugat, lebih baik berdamai." Karim tertawa pahit. “Damai?” Baginya, kata itu hanya berarti menyerah. Tapi ia tak bisa gegabah.


Malam itu, di gubuk reyotnya, Karim menemukan ide. Ia mengumpulkan anak-anak nelayan, membagikan kertas dan pensil. "Gambarkan laut kalian," pintanya. Tak lama tampak coretan biru laut penuh ikan, perahu warna-warni, dan matahari tersenyum. Keesokan pagi, gambar-gambar itu dipajang di sepanjang jalan desa, ditempel di pohon kelapa dan dinding balai. Warga kota yang lewat terhenti, membaca tulisan di bawahnya: "Ini rumah kami. Jangan rampas!"


Tekanan publik mulai membesar. Seorang aktivis lingkungan dari Surabaya datang membawa drone, merekam kerusakan karang oleh mesin bor. Video itu viral: terumbu karang retak, ikan-ikan mati terdampar, dan wajah nelayan yang kehilangan harapan. Tapi perusahaan bergerak cepat. Mereka menggelar konferensi pers, menuduh warga merusak ekosistem laut dengan aksi vandalisme.


Karim tak tinggal diam. Ia mengajak nelayan menyelam lagi, kali ini dengan kamera kedap air yang dipinjam. Mereka mengabadikan kawat berduri yang masih tersisa di dasar laut, beserta pipa-pipa limbah yang disembunyikan di balik karang. Foto-foto itu dibagikan ke media sosial oleh pemuda desa. Tagar #SaveLautTangerang mulai ramai.


Tapi pertarungan paling berat datang di pengadilan. Perusahaan menggugat warga atas "perusakan aset" dan "penghambatan pembangunan". Sidang pertama digelar di kota, di ruang ber-AC yang membuat nelayan gugup. Karim hadir dengan baju kemeja lusuh, tangannya masih berbau garam. Hakim meminta bukti. Ia mengeluarkan koin logam dari saku—sepotong kawat berduri yang telah berkarat, dan foto ikan kerapu mati.


"Yang Mulia, ini bukan soal uang," suaranya bergetar. "Ini soal napas." Ruangan senyap. Hakim menatap lama benda di meja, lalu menunduk. Akhirnya, sidang ditunda.


Malam itu, Karim berjalan di pantai. Ia menemukan sesuatu: puluhan botol kaca terdampar, di dalamnya ada surat dari anak-anak kota. "Kami dukung Bapak!" tulis seorang siswa SD. Ia tersenyum, air matanya jatuh ke pasir.


Keesokan hari, helikopter perusahaan tak lagi terlihat. Kabar beredar: proyek itu ditunda sambil menunggu audit lingkungan. Tapi Karim tahu, ini bukan kemenangan. Ia memandang ke laut, di mana jaring-jaring nelayan masih menari. "Kita menang hari ini," bisiknya. "Besok, kita berjuang lagi."


Tiga minggu kemudian, limbah hitam mengalir ke laut dari pipa tersembunyi di balik karang. Ikan-ikan mati mengambang seperti daun kering di musim kemarau. Anak bungsu Karim, Lintang, terjangkit ruam gatal setelah bermain di air. Dokter di puskesmas hanya menggeleng. "Keracunan logam berat," katanya. Di gubuk mereka, Lintang menggigil, kulitnya melepuh. Karim memeluk erat, mencium bau obat yang tak mampu mengusir maut.


Pukul 03.00 dini hari, Lintang tak lagi bernapas. Tangisan istri Karim memecah sunyi pantai. Nelayan berkumpul, membawa kain putih untuk membungkus tubuh kecil itu. Karim menggali kubur di pasir, tepat di tempat Lintang biasa mengumpulkan kerang. "Maafkan Ayah," bisiknya, hatinya hancur.


Keesokan harinya, perusahaan mengirim surat lagi: tuntutan ganti rugi 5 miliar rupiah. Karim merobek surat itu, serpihan kertas beterbangan seperti abu. Malam itu, ia menyelam sendirian dengan parang. Di dasar laut, ia menemukan pipa limbah yang masih mengalirkan racun. Ia memotongnya dengan amarah, darah dari tangannya yang terluka menyatu dengan air laut. Tapi pipa itu terlalu besar.


Esok pagi, Karim ditemukan terdampar di karang. Tubuhnya biru, tangan masih menggenggam parang. Di sakunya, ada surat wasiat coretan tangan: "Laut bukan milik mereka. Tapi kita juga sudah tak punya apa-apa lagi." Kata-kata itu tertulis di atas kertas basah, huruf-hurufnya meleleh seperti air mata. Nelayan yang menemukannya hanya bisa terduduk, menatap luka di perut Karim yang terbuka—dagingnya mengelupas, terlihat putih pucat seperti ubur-ubur mati.


Rina, istri Karim, menjerit hingga suaranya parau. Ia merangkul mayat suaminya, tak peduli bau anyir limbah yang menempel di kulit Karim. "Kau janji akan pulang," bisiknya, tapi yang menjawab hanya debur ombak hitam yang menyapu karang. Di kejauhan, mesin bor kembali meraung, seakan mengejek kematian itu.


Perusahaan tak memberi waktu untuk berduka. Keesokan harinya, truk-truk pengangkut material kembali datang. Kali ini, mereka membawa surat penggusuran resmi. "Desa ini zona bahaya limbah. Warga harus direlokasi!" teriak petugas berhelm kuning, sambil menunjuk ke arah laut yang dipenuhi ikan mati. “Relokasi?” Warga tahu artinya diusir ke barak pengungsian di tengah kota, jauh dari laut, tanpa ganti rugi.


Malam itu, Rina berjalan ke tepi laut dengan boneka kain Lintang yang compang-camping. "Ibu akan temani kalian," bisiknya, sebelum melangkah ke air hitam yang berkilat minyak. Ombak menyambutnya dengan ganas, menghanyutkan tubuh kurus itu seperti sampah. Nelayan menemukan lampu minyaknya keesokan pagi, terapung di dekat pipa limbah—sumbu padam dan kacanya retak.


Kini, desa nelayan hancur jadi puing, bulldozer melumat gubuk kayu dan foto leluhur. Anak-anak kelaparan mengais sampah di bawah papan proyek "Kawasan Ekonomi Maritim" bergambar kapal mewah—karang mati dan banyak nelayan yang gantung diri. 


Dua bulan kemudian, helikopter perusahaan jatuh; laut beracun melumerkan daging mayat yang tak terselamatkan. Di kuburan Lintang, seseorang menancapkan parang karatan milik Karim dengan ukiran "Garam akan mengkristal lagi." 


Garam mulai membenci laut, karena membuatnya menjadi endapan hitam, selamanya.