Cerpen Robitasari
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Angin laut bertiup pelan di pagi yang masih basah oleh embun. Di tepian pantai, perahu-perahu nelayan berbaris rapi seperti prajurit yang bersiap berangkat perang. Samin, lelaki separuh baya dengan kulit legam terbakar matahari, duduk di ujung dermaga kayu yang mulai lapuk. Ia mengamati hamparan laut yang kini terasa semakin jauh dari jangkauannya.
"Aku bermimpi lagi, Minah," gumamnya. "Laut ini kembali seperti dulu. Tak ada pagar-pagar yang membatasi."
Minah, istrinya, yang duduk di sebelahnya sambil menjemur ikan asin, menatapnya dengan iba.
"Mimpi itu terlalu indah untuk jadi nyata, Samin. Laut kita sudah dipagari. Tak bisa kita sentuh seperti dulu."
Samin mengembuskan napas panjang. Sejak perusahaan besar membangun pagar-pagar laut dengan alasan proyek reklamasi dan konservasi, kehidupan mereka berubah drastis. Nelayan kecil seperti Samin tak lagi bebas melaut. Wilayah tangkapan mereka menyempit, hasil ikan menurun, dan mereka hanya bisa mengandalkan laut yang tersisa—laut yang semakin miskin.
Dulu, Samin dan teman-temannya bisa pergi melaut dengan perahu kayu kecil dan pulang membawa ember-ember penuh ikan. Sekarang, mereka harus mengarungi jarak yang lebih jauh, melewati batas-batas tak kasat mata yang dijaga oleh petugas keamanan.
"Apa kita harus menyerah saja?" tanya Minah lirih.
Samin menggeleng. "Kalau kita menyerah, kita akan kehilangan segalanya."
***
Malam itu, di balai desa, Samin dan nelayan lainnya berkumpul. Mereka duduk melingkar, membicarakan langkah yang harus mereka ambil.
"Kita sudah mencoba mengadu ke pemerintah, tapi tak ada hasil," kata Pak Mahfud, nelayan senior yang sudah melaut sejak muda. "Mereka bilang pagar laut ini untuk pembangunan, untuk kemajuan daerah. Tapi yang maju siapa? Kita malah makin susah."
"Saya dengar, di desa sebelah, mereka berani melawan. Mereka ramai-ramai merobohkan pagar itu," ujar Rudi, pemuda yang baru setahun menjadi nelayan.
"Tapi mereka langsung ditangkap," sahut yang lain.
Keheningan menyergap. Semua tahu, melawan perusahaan besar sama saja seperti melawan raksasa tanpa senjata.
"Kita harus cari cara lain," kata Samin akhirnya. "Kita lawan dengan cara kita. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan keberanian dan solidaritas."
Semua mata tertuju padanya. "Maksudmu?" tanya seseorang.
Samin mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh keyakinan. "Kita tetap melaut. Kita ambil kembali laut kita. Tak ada yang bisa melarang kita mencari nafkah di tanah dan air kita sendiri."
***
Fajar menyingsing, dan di bawah langit yang masih kelabu, belasan perahu kecil mulai bergerak. Samin berada di barisan depan, wajahnya teguh menantang ombak. Di kejauhan, pagar laut berdiri kokoh, seakan menjadi tembok pemisah antara mereka dan laut yang seharusnya menjadi hak mereka.
Ketika mereka mendekat, sirene berbunyi. Petugas keamanan di atas kapal motor milik perusahaan bersiap menghadang.
"Kembali!" seru salah satu petugas. "Wilayah ini sudah dibeli oleh perusahaan. Kalian tidak boleh melaut di sini!"
Samin berdiri di ujung perahunya. "Kami tidak pergi," katanya lantang. "Ini laut kami. Sejak leluhur kami, kami sudah hidup dari sini. Kalian tidak bisa mengambilnya begitu saja!"
"Kalau kalian tidak pergi, kami akan bertindak!" ancam petugas itu.
Namun, tak ada satu pun dari mereka yang mundur. Mereka tetap berdiri, melawan dengan diam yang bertenaga.
Seorang petugas menembakkan peluru peringatan ke udara. "Pergi sekarang!"
Tetapi para nelayan tetap diam. Ombak bergulung, membawa suara hati mereka yang tak tergoyahkan.
Kemudian sesuatu yang tidak terduga terjadi. Dari kejauhan, perahu-perahu lain datang, satu demi satu, membentuk barisan panjang. Tak hanya nelayan dari desa Samin, tapi juga dari desa lain. Mereka datang dengan tekad yang sama.
Petugas keamanan mulai gelisah. Mereka tak menyangka akan ada perlawanan sebesar ini.
"Kita tak akan pergi," kata Samin sekali lagi. "Laut ini bukan milik perusahaan. Laut ini milik semua orang."
***
Berita tentang perlawanan para nelayan menyebar cepat. Media mulai meliput, aktivis lingkungan turun tangan, dan tekanan publik meningkat. Pemerintah akhirnya tak bisa menutup mata.
Beberapa minggu kemudian, keputusan keluar. Pagar laut harus dibongkar.
Hari itu, Samin berdiri di tepi pantai, melihat bagaimana pagar yang telah lama menghalangi hidup mereka akhirnya runtuh. Minah berdiri di sampingnya, menggenggam tangannya erat.
"Laut kita kembali, Minah," bisiknya.
Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa bebas.