Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Rofahiyah | Kuharap Pagar Itu Tak Jadi Penghalang Uang Kakekku

Cerpen Rofahiyah



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Bel terdengar di seluruh penjuru kelas menandakan kelas hari ini berakhir. "Alhamdulillah" syukurku dalam hati sambil menghela nafas. Aku pun langsung merapikan buku-buku dan pena di mejaku sambil membalas senyuman teman sebangkuku Fatimah. Si gadis hitam manis yang selalu menjadi juara di kelasku. Setelah membaca do'a penutup pelajaran, kami bergegas mengantri bersalaman pada guru pelajaran terakhir kami hari ini.


Di hari mendung ini aku berjalan sembari mengkhayal masakan apa yang Nenekku masak hari ini. Perut lapar itulah rutinitas tiap perjalanan pulangku. Sambil menikmati pemandangan laut dari kejauhan sesekali ku lirik Fatimah yang dengan cerianya terus berbicara topik-topik santai. Di persimpangan depan kami akan mengambil jalan berbeda. Rumah kami tidak terlalu jauh namun tidak begitu dekat jaraknya. Jadi, kami hanya bertemu di sekolah atau kala ada urusan yang sekiranya ingin kami lakukan bersama.


Sebelum tikungan rumahku ku dapati sekelompok orang yang berkumpul ramai sekali. Mataku jelalatan penuh penasaran ada apakah di sini. Ibu-ibu yang bersuara lantang tampak mengeluh kesal dengan sulitnya Gas untuk kompor dapur. "Ah lagi antri nunggu Gas" Celetukku dalam hati. Akupun semakin semangat karena rumahku sudah terlihat depan mata. "Assalamu'alaikum" Ujarku pelan sembari membuka pintu papan yang sudah berlubang-lubang kecil. Tampak Nenek tua yang sambil menyuguhi cangkir minum menjawab salamku. "Nek, masak apa?" Penasaranku sambil ku hampiri Kakek-Nenekku. Mataku menatap meja yang sudah ada beberapa wadah makanan di atasnya. Kakekku tampak lahap menikmati makan siangnya, jadi aku hanya menyalami tangan keriput Nenekku. Tanganku meraih piring yang disodorkan Nenekku yang menandakan untuk mempersilahkanku mengambil makanan. Nasi putih, tahu goreng, ikan asin, sambal terasi dan sayur asam itulah menu siang kami. Sangat sederhana namun penuh nikmat dikarenakan perut yang begitu keroncongan ini. Setelah makan siang langsung ku lepas hijab putihku di kamar bilik kayu. Ku hamparkan sajadah dan ku siapkan perlengkapan untuk Sholat. Dari balik bilik kamarku terdengar Kakek yang mengeluh dengan nada kesal "Susah sekarang mah, gara-gara pagar laut jalur perahu kudu memutar, solar gak cukup 4 liter." Namun Nenekku tak terdengar merespon. Aku pun keluar kamar karena hendak mengambil air wudu. "Terus gimana hutang ke pak Haji dapet gak Nek?" Kakek menimpali. Akupun tak menghiraukan dan tetap pada tujuanku. Setelah ibadah dzuhur selesai, ku rebahkan kepala di tempat tidur tipis yang hanya beralaskan tikar. Tanpa melepaskan mukena ku raih kotak penyimpanan favoritku. Ku aktifkan Handphoneku yang sedari pagi dimatikan daya. Tampak beberapa pesan grup Whatsapp mulai bermunculan. Ku abaikan itu dan langsung ku tuju aplikasi Google. "Pagar laut" sebutku dalam hati yang menuntun jari jemariku untuk pencarian info terbaru. Mataku terpana membaca tanpa suara apa yang tertera di layar Handphoneku dari atas sampai bawah. Dalam hati penuh tanya "inikah kekhawatiran Kakekku?""akankah ini benar-benar berdampak?" di dalam benakku banyak sekali kekhawatiran yang terlintas. Bagaimana jika pagar itu menghalangi Kakekku sebagai nelayan. Seorang nelayan kecil yang bertanggungjawab sebagai kepala keluarga. Ayah dari Ayahku yang kini menjadi penanggungjawab atas diriku. Setelah kecelakaan maut di tol yang menewaskan belasan orang termasuk Ayah dan Ibuku. Kejadian 5 tahun silam yang membuat perubahan besar atas kehidupanku. Aprilia kecil yang waktu itu baru memasuki dunia Pesantren. Tepat kala satu bulan pertama sebagai Santri di salah satu Pesantren Modern di daerah Bogor. Saat penjengukan pertama, begitu antusias menunggu kedua orang tua yang amat dirindukan. Satu persatu mobil berdatangan, dari kejauhan ku tatap penuh harap, berharap yang kulihat adalah apa yang ku rindu. Berjam-jam aku menunggu di depan aula penjengukan yang berdekatan dengan area parkir. Namun berjam-jam tak kudapati apa yang ku nanti. Saat para Santri lain begitu sumringah karena bahagia bisa melepaskan rindu terhadap keluarga tersayang, sesekali aku melirik menatapi kebahagiaan mereka satu per satu dari luar aula. Namun aku masih terus menunggu penuh harap dan meyakinkan diri bahwa Ayah dan Ibu masih di perjalanan. Aku masih duduk penuh sabar menanti mereka. Hingga berjam-jam berlalu, namun tak ku dapati lagi ada mobil yang datang. Aku menghela nafas, namun begitu banyak kata-kata bersliweran di benak. Begitu banyak pertanyaan dan rasa penasaran yang bercampur aduk. Penantianku tak terbuah, aku menyerah dan memilih kembali ke kamarku dengan perasaan kecewa dan sedih yang bersandingan. Di jam malamku pada hari itu aku masih dipenuhi pikiran dan rasa penasaran. Menjelang tidur aku masih menahan air mata dan masih tidak percaya akan hari di mana semua cerita-cerita yang ingin aku bagikan pada Ayah dan Ibu sembari melepaskan rindu itu ternyata tidak ku dapati.


Dua hari berlalu dan di jam pelajaran guru memanggilku, saat ku hampiri tampak Nenek dan Kakekku bersama dua bapak-bapak yang tidak aku kenal. Mereka hendak menemuiku fikirku penuh yakin, namun tak ku lihat Ayah dan Ibu. Tak sempat berucap dan bersalaman Nenek langsung memelukku seperti sambil menahan isak tangis. Aku terbawa suasana karena ku lihat Kakek dengan mata berkaca-kaca. Tak ada keberanian untuk bertanya sekalipun rasa penasaran kenapa Ayah dan Ibu tidak ikut menjengukku sangat ingin ku ketahui. "Nong sabar yah!" ujar Nenek yang tidak melepaskan pelukannya. Suaranya lirih seraya menahan tangis. Kakek mengusap-usap kepalaku hingga membuat hijabku sedikit berantakan. Aku masih dalam pelukan Nenekku yang sepertinya menangis tersedu-sedu. Aku tidak berani berkata dan hanya membersamai mereka yang sepertinya sedih melihatku. Mereka amat rindu padaku, tapi kenapa Ayah dan Ibu malah tidak ikut datang untuk menemuiku, itulah fikirku yang amat mengganggu. Aku masih terdiam membiarkan Kakek dan Nenek yang masih merinduiku. "Nong siap-siap balik dulu yah, yu ziarah ke makam Ayah Ibu Nong!" Ujar Kakekku sambil menepuk-nepuk pundakku. Nenek melepaskan pelukannya. Aku tetap terdiam dan tak mampu ku bertanya apa maksud ucapan Kakek itu. Tubuhku lemas, mataku tak mampu menahan tangis namun mulutku terkunci tak mampu berkata-kata. Mendengar penjelasan Nenek dengan suara berat dan air mata yang tidak terbendung aku semakin menangis sejadi-jadinya. 


Hari itu tepat hari penjengukan, Ayah dan Ibu mengalami kecelakaan saat hendak menemuiku. Aku menjadi yatim piatu tepat satu bulan setelah memasuki dunia Sekolah menengah pertama. Hanya mampu bertahan satu tahun di Pesantren dengan beasiswa khusus sebagai bantuan Santri yatim piatu yang orangtuanya meninggal saat hendak menjenguk anaknya. Aku pun berpindah Sekolah dan ikut Kakek-Nenekku. Kakekku seorang nelayan dan Nenek hanya berjualan gorengan keliling. Kehidupanku berubah drastis, anak semata wayang yang sebelumnya tidak kekurangan kini harus membuang jauh-jauh sifat manja itu. Takdir memaksaku untuk bersikap dewasa dan menjaga Kakek Nenekku tetap tegar menyimpan rasa iba tiap melihatku.


Tahun demi tahun berlalu, aku semakin terbiasa dengan kehidupan baruku. Hanya setahun lagi aku menyelesaikan Sekolah Madrasah Aliyah. Aku bercita-cita melanjutkan kuliah dan memiliki satu keahlian khusus untuk karirku kelak, sehingga bisa membantu keluargaku melepaskan jeratan kemiskinan kami. Menjadi orang berpendidikan dan memiliki pekerjaan mapan serta membahagiakan Kakek-Nenekku di usia renta mereka, itulah mimpiku. Biarkan aku yang bekerja, biarkan aku yang lelah, itulah yang selalu memotivasiku. Sehingga aku mampu melewati tahun demi tahunku dengan melupakan kesedihan lamaku. Namun apalah dayaku kini, hanya seorang bocah Madrasah Aliyah yang ala kadarnya membantu Kakek dan Nenek dengan tenagaku. Tiap pulang sekolah aku membantu Nenek menyiapkan jualannya. Gorengan bakwan,  tahu dan tempe. Sementara dengan Kakekku, aku hanya membantu ketika merapihkan jaring-jaring menangkap ikannya. Kehidupan kami sangat kekurangan tapi kami bahagia melewati hari-hari sederhana kami. Makan ala kadarnya dan senang sekali tiap kali Kakek menyisihkan beberapa ikan untuk dibawa pulang. Namun sejak ada pagar laut Kakek sering tampak mengeluh. Pendapatannya makin menurun, sementara biaya melaut semakin tinggi. Sebagai nelayan kecil itu sangat berpengaruh, karena pagar laut menyulitkan Kakek menuju laut, bahkan Kakek harus mengambil akses memutar jauh menuju lokasi penangkapan ikan. Biaya melaut makin tinggi karena membutuhkan solar lebih banyak ketimbang hari-hari sebelum adanya pagar laut itu. Mengetahui itu aku hanya bisa berdo'a semoga Allah tidak menghalangi rizki kami dengan adanya pagar laut itu. Ditambah sekarang sedang angin muson barat, Kakek tidak bisa mencari di lokasi yang jauh. Sementara, untuk menebar jaring di sekitarnya sudah terhalang pagar laut. Kekhawatiran Kakek akan pagar laut itu membuatku semakin sedih. Tak terbayangkan rasanya sumber penghasilan satu-satunya sedari dulu mulai terganggu. Sebagai kepala keluarga aku mengerti bagaimana beratnya perasaan itu. Tiap ku dengar keluhan sedihnya, aku hanya bisa menghela nafas. Berharap Kakek tidak kehilangan semangatnya sebagai pelaut. Berharap akan ada hari-hari indah untuk kami, sampai aku benar-benar bisa menopang kebutuhan mereka. Aku yakin Allah akan datangkan hari itu, hari dimana aku yang bertanggungjawab atas Kakek Nenekku, hari dimana aku yang menanggung lelah mereka dan cukup kebahagiaan untuk mereka. Sehingga mereka cukup menikmati hari-hari tua mereka. Sampai hari itu tiba, semoga pagar laut itu tidak menghalangi kami.