Ombak bergulung dengan tenang di sepanjang pesisir Kota Tangerang,
tempat di mana lautan dan daratan bertemu dalam sebuah irama harmoni yang kini
tak lagi seimbang. Di antara gemuruh riuh angin dan debur ombak, seorang
perempuan tanggung bernama Mirna berdiri di tepi dermaga, seraya menatap laut
yang kini semakin asing baginya.
Sejak kecil, Mirna sudah akrab dengan bau garam yang mewarnai harinya dan
suara kapal berderit yang bernyanyi sepanjang hari walau diterjang ribuan
bahkan jutaan gelombang sepanjang harinya. Ayahnya, Andi, adalah seorang
nelayan yang menghabiskan seluruh hidupnya di tepi pantai hingga lautan lepas
demi mencari penghasilan yang cukup bagi ia dan keluarganya yang selalu setia
menunggu di teras bambu rumah panggung.
Namun, seiring berjalannya waktu, laut yang dulu memberi kehidupan bagi
mereka mulai berubah. Airnya tak lagi jernih, sehingga ikan pun semakin sulit
didapat, dan proyek-proyek pembangunan mulai menggerus dan mengkaramkan
kehidupan mereka secara perlahan-lahan.
Saat Mirna telah beranjak dewasa, ia pun mendapat pekerjaan dalam proyek
pembangunan "Pagar Laut" — penghalang yang terbuat dari bambu dan
membentang jauh di kawasan pesisir pantai. Mereka bilang proyek bertujuan untuk
mencegah abrasi dan menjaga lingkungan pesisir dengan menanam deretan bambu dan
struktur penghalang di laut. Pemerintah dan para investor dengan bangga dan
seenaknya mengklaim bahwa proyek ini akan menguntungkan nelayan, membuat
ekosistem lebih seimbang, dan melindungi garis pantai dari ancaman erosi, tanpa
memikirkan apa yang akan terjadi esok hari.
Dengan kebutuhan ekonomi yang semakin mendesaknya, Mirna menerima dengan
keputusasaan pekerjaan tersebut meskipun dalam hatinya ada keraguan yang
semakin memuncak. Hari demi hari, ia bekerja memasang struktur bambu yang
jumlahnya hingga beribu-ribu banyaknya telah dirancang sedemikian rupa untuk
menjadi penghalang ombak yang “memberi kesejahteraan bagi warga sekitar” — ucap
para petinggi serta investor saat awal pembuatan proyek tersebut.
Namun, semakin lama ia bekerja, semakin ia menyadari sesuatu yang mulai
menjanggal serta mengganjal dalam benak dan hatinya. Beberapa nelayan yang ia
kenal, termasuk ayahnya, pun mulai mengeluh mengenai perihal yang sama, yaitu
bahwa ikan semakin sulit didapat.
Arus laut yang semakin berubah tanpa arah menyebabkan perairan yang dulu
kaya akan tangkapan setiap menitnya yang selalu berharga, kini menjelma menjadi
lautan hampa, seperti tak pernah ada penghuninya.
Bahkan, ada kapal yang mengalami kesulitan berlayar karena struktur bambu
yang mengubah pola gelombang. "Laut ini tempat kami mencari makan! Mengapa
mereka harus menghalanginya?" gerutu Andi suatu malam di rumah, wajahnya
penuh amarah, dan rasa kebencian pun semakin memupuk di dalam hatinya.
Mirna menunduk, merasa bersalah. Ia tahu ayahnya memanglah benar dalam
perihal ini. Selama ini, keluarga mereka amat menggantungkan hidupnya pada
laut. Jika laut tak lagi bisa menjadi sumber penghidupan mereka, bagaimana
mereka bisa bertahan lebih lama lagi? Namun, ia juga tak bisa begitu saja
meninggalkan pekerjaannya. Ia butuh uang untuk membantu keluarganya.
Dengan rasa penyesalanku yang terdalam, aku pun mencoba berkata kepada
ayahku, "Mungkin esok hari kita dapat berbicara dengan pihak yang
membangun pagar laut itu, yah. Toh mereka sendiri kan bilang ini untuk kebaikan
kita," ujar Mirna, meskipun hatinya sendiri ragu. Andi tertawa pahit.
"Kebaikan siapa? Apakan kebaikan mereka yang ingin menguasai laut ini? Kau
tak lihat apa yang terjadi sekarang? Apa kau pun tak sadar bahwa kamu sendiri
ikut memasang pagar itu!"
Ucapan ayahnya amat menusuk hati Mirna. Ia merasa terjebak di antara dua
pilihan: tetap bekerja untuk mencari nafkah atau melawan sesuatu yang telah ia
bantu bangun.
Tak hanya ayahnya, banyak nelayan lain
di desa mulai merasa gelisah. Protes demi protes mereka layangkan kepada pihak
berwenang, namun suara mereka seperti angin yang berlalu begitu saja. Pagar dan
laut tetap dibangun, sementara kehidupan mereka juga semakin sulit.
Mirna selalu mencoba mencari jalan tengah setiap harinya. Ia menghadiri
pertemuan-pertemuan dengan pemerintah daerah setempat, dengan penuh harap bisa
memahami tujuan proyek ini dan mungkin menemukan solusi bagi para nelayan.
Namun, kenyataan yang ia temukan justru amat menyakitkan — proyek ini tentu
lebih banyak menguntungkan pihak investor daripada masyarakat lokal.
"Kita harus terus bertahan, Mirna. Jikalau kita diam saja sekarang
macam orang linglung, saya yakin mungkin tak lama lagi kita akan kehilangan
segalanya," kata seorang nelayan tua di salah satu pertemuan warga dengan
tekad dan ambisi yang besar.
Mirna mengangguk tanda setuju. Ia tidak bisa tinggal diam lebih lama lagi.
Bersama para pemuda desa, ia mulai mengorganisir aksi protes yang lebih besar
dari sebelumnya. Mereka pun dengan kompak menuliskan petisi yang jumlahnya
mungkin berjumlah ratusan banyaknya, mendatangi kantor pemerintah, bahkan
berbicara dengan media agar suara mereka bisa didengar.
Namun, perjuangan mereka tidak mudah. Beberapa nelayan yang melawan justru
malah mendapat ancaman yang beragam jenisnya, ada yang ditakut-takuti agar
tidak berbicara terlalu lantang. Mirna sendiri merasakan tekanan yang amat luar
biasa. Yang ia dan warga inginkan hanyalah laut mereka tetap bisa menjadi
sumber kehidupan, tapi kenyataan membawa mereka menghadapi realita bahwa mereka
menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar dari yang pernah mereka kira.
Sementara para warga dan Mirna tengah berjuang untuk mendapatkan
keadilannya, orang-orang “itu”, justru tengah bersantai di tepi gedung pencakar
langit yang dengan tepat menghadap ke tempat proyek “pagar laut” dilaksanakan
seraya menikmati kopi mahal mereka dengan tawa yang amat terbahak-bahak, tanpa
rasa bersalah sedikitpun yang terlukis pada gurat wajah mereka. Mencerca dan
mencaci para warga tepi pantai tentu telah menjadi aktivitas yang kini amat
terasa menyenangkan, "Lihatlah orang di bawah sana! Mereka yang membantu,
mereka pula yang merasa dirugikan, dasar orang minus otak!?" ucap salah
satu dari mereka, dan disusul tawa yang terbahak-bahak yang menggema ke semua
tepi balkon.
Hingga suatu hari, kejadian yang tak terduga pun terjadi, sebuah badai yang
sangat besar melanda pesisir mereka. Pagar laut yang digadang-gadang akan
“melindungi desa” bahkan tidak mampu sedikitpun menahan amukan alam. Ketika
gelombang besar menghantam struktur kayu bambu itu dengan keras, yang tentu
langsung menghancurkan serta memporak-porandakan beberapa bagian sehingga menyebabkan
banjir yang jauh lebih buruk dari sebelumnya. Banyak rumah nelayan yang
terendam, dan perahu yang tersapu ombak.
Ketika badai mulai mereda, Mirna yang melihat kehancuran di depan matanya
sontak hanya bisa berdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun dari bibirnya.
Para nelayan hanya berdiri mematung, menatap laut yang kini terasa semakin jauh
dari mereka. Pagar laut yang seharusnya menjadi penyelamat, justru menjadi
ancaman baru.
Andi yang berdiri di samping Mirna, menatap sekeliling dengan tatapannya
kosong. "Kita sudah kalah, Nak," gumamnya pelan dengan amat pasrah.
Mirna menggenggam tinjunya. "Belum,
Yah. Kita masih punya suara. Kita akan terus berjuang," ucap Mirna dengan
penuh semangat yang semakin menggebu.
Ia sendiri pun tahu, sedikit pun perjuangan ini belum selesai. Mereka harus
berani melawan, bukan hanya untuk dirinya dan keluarga, namun untuk semua
nelayan yang hidupnya bergantung pada laut. Mereka akan terus berbicara dengan
lantang, terus melawan dengan keringat darah, sampai keadilan benar-benar
berpihak pada mereka.
Kejadian tersebut amat membekas di hati Mirna, setiap mengingatnya ia pasti
selalu menyesali keputusannya bodoh yang ia ambil. Kini Mirna sudah berubah, ia
tidak akan menoleransi pihak serta dalang di balik kejadian “pagar laut”.
Mirna belajar, bahwa untuk melawan orang orang “itu”, yang dibutuhkan
bukan hanya keberanian yang menggebu, aksi protes yang tak pernah usai pun
pasti tak akan pernah terdengar sedikitpun bahkan dari daun telinga mereka,
Mirna pun menempuh satu satunya jalan yang ia yakini dapat melawan semua
ketidakadilan.
Mirna kini bahkan belajar hingga ke penjuru dunia untuk menggapai cita
mulia nya. Mirna yang sekarang kini telah tumbuh menjadi perempuan kuat yang
dapat membela orang orang lemah yang tertindas oleh para petinggi tak berhati
nurani, yang membuatnya menjadi hakim dan aktivis lingkungan yang siap membela
siapapun yang terinjak injak atas nama kekuasaan, bahkan nma Mirna amat
tersohor hingga ke penjuru nusantara bankan dalam kancah dunia. Inilah saatnya
Mirna menjaga bumi sang ibu pertiwi dari tangan busuk sang pencuri kehidupan.