Alistair selalu menyukai pantai. Deburan
ombak, aroma garam di udara, dan kelembutan pasir di kakinya membuatnya merasa
damai. Sejak kecil, pantai adalah pelariannya. Ketika dunia terasa terlalu
ramai, terlalu bising, atau terlalu menyesakkan, ia selalu menemukan ketenangan
di sini. Ibunya sering membawanya berjalan-jalan di tepian pantai, tangan
kecilnya menggenggam jemari ibunya erat, sementara matanya tak henti-hentinya
menatap ke arah laut yang luas.
Saat remaja, ia mulai
menjadikan pantai sebagai tempat merenung. Duduk di atas bebatuan karang yang
menjorok ke laut, ia sering membayangkan kehidupan di bawah sana. Apakah ada
dunia lain di dalam lautan? Seperti legenda tentang kota-kota tenggelam atau makhluk-makhluk
yang tidak pernah terlihat oleh manusia? Terkadang, ia berharap bisa menyelam
lebih dalam, menembus batas yang tak kasatmata antara dirinya dan misteri yang
tersembunyi di balik ombak.
Alistair kecil selalu
bertanya kepada Ibunya. “Ibu lihat itu! Ada dinding! Ada dinding! Dinding itu
untuk apa Ibu?” Ibunya hanya menganggap itu sebagai lelucon anak-anak.
Di tengah pantai, ada
sesuatu yang aneh. Seperti ada dinding tak kasat mata di depan lautan. Ombak
yang seharusnya terus mengalir tampak berhenti di titik tertentu, lalu muncul
kembali di sisi lain, seolah-olah ada penghalang yang tak terlihat. Saat
Alistair kecil mencoba menyentuhnya, tangannya terasa seperti menyentuh
permukaan air yang kental, tidak bisa benar-benar masuk.
“Woah!”
Alistair teringat masa
itu, sensasi ketika menyentuh dinding penghalang itu masih teringat jelas dalam
memorinya. Alistair memperhatikan laut dengan teliti, mencari aliran ombak yang
ia lihat saat masih kecil. “Ah, Ketemu.” Gumam Alistair.
Hari itu, dorongan rasa
penasaran lebih kuat dari biasanya. Ia merapatkan jaketnya, melangkah lebih
dekat, dan mengulurkan tangannya sekali lagi. Tapi kali ini, tangannya menembus
permukaan yang tak terlihat itu. Alistair berdebar. Takut. Ia menarik napas
tajam, lalu melangkah maju.
Dunia berputar. Sesaat
ia merasa tubuhnya tertarik ke dalam sesuatu yang dingin dan lengket. Gelombang
cahaya biru mengelilinginya. Lalu, semuanya hening.
Ketika ia membuka mata,
ia masih berada di pantai. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Warna langit tampak
lebih pekat, lautnya lebih dalam dan lebih kelam. Angin yang berhembus pun
terasa asing.
Kemudian, ia melihat
seseorang berdiri tak jauh darinya.
Seseorang yang memiliki wajah yang sama
dengannya.
Priai itu tersenyum.
"Kau akhirnya datang." Kaanya dengan suara yang sama dengan Alistair,
namun terdengar lebih dalam dan misterius.
"Wow! Doppelganger?"
Alistair bertanya, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
"Aku Altair,"
kata priai itu. "Aku adalah kamu, tapi dari sisi lain dunia ini. Dunia
laut."
Alistair menelan ludah.
"Jadi yang selama ini kulihat adalah dinding antar dimensi?"
"Ada dua dunia yang
terpisah oleh pagar laut ini," Altair menjelaskan. "Dunia darat
tempatmu tinggal, dan dunia laut tempatku berada. Kita adalah cerminan satu
sama lain, tetapi kita tidak bisa hidup di dunia yang sama... kecuali jika kita
bertukar."
"Bertukar?"
Alistair mengulang.
Altair tersenyum lebih
lebar. "Kau menyukai laut, bukan? Bagaimana jika kau tinggal di sini dan
aku yang pergi ke duniamu? Kau akan melihat keajaiban yang belum pernah kau
bayangkan. Kota-kota yang tenggelam, makhluk-makhluk laut yang berbicara, serta
kehidupan yang tak terikat oleh waktu."
Dada Alistair berdebar.
Sebagian dari dirinya ingin tahu apa yang tersembunyi di dunia ini. Tanpa
berpikir panjang, ia mengangguk. "Baiklah. Aku akan tinggal di sini."
Altair mengangguk puas.
"Kalau begitu, perjanjian sudah dibuat."
Hidup di dunia laut
awalnya terasa seperti mimpi bagi Alistair. Ia bisa bernapas di dalam air tanpa
kesulitan. Ia melihat istana-istana terumbu karang yang bercahaya, ikan-ikan
yang berpendar dalam warna-warna tak biasa, dan makhluk laut yang berbicara kepadanya
seolah ia adalah bagian dari mereka.
Namun, lambat laun ia
menyadari sesuatu yang mengerikan. Waktu di dunia ini berjalan lebih lambat. Hari-hari berlalu
tanpa ia menyadari berapa lama ia sudah tinggal di sana. Dan yang lebih buruk,
ia merasa ada sesuatu yang menahannya di sini. Setiap kali ia mencoba mendekati
pagar laut yang membawanya masuk, kekuatan tak terlihat mendorongnya kembali.
Ia mencoba berbicara
dengan para penghuni laut, tetapi mereka hanya menatapnya dengan mata kosong.
Seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak tahu.
Dan akhirnya, ia
menemukan jawabannya.
Di dasar laut, di antara
reruntuhan kota tua yang tenggelam, ada prasasti yang tertulis dalam bahasa
yang entah bagaimana ia mengerti.
"Pagar laut
harus tetap seimbang. Jika ada dua yang sama dalam satu dunia, salah satunya
harus dikorbankan."
Jantungnya berdegup
kencang.
Jika ia ingin kembali ke
dunianya, salah satu dari mereka harus menghilang. Alistair bergegas kembali
ke pagar laut. Kali ini, ia mencoba lebih keras untuk menembusnya, tapi tetap
tak bisa. Seolah-olah dinding itu semakin kuat seiring berjalannya waktu.
Dari kejauhan, ia
melihat Altair di pantai, di dunianya. Hidup seperti dirinya. Bertemu
teman-temannya. Menggunakan tubuhnya.
Marah dan putus asa, Alistair berteriak,
"Altair! Kau harus kembali! Ini tidak adil!"
Altair menatapnya dengan
tatapan yang tenang dari sisi lain pagar laut. "Aku sudah tahu ini akan
terjadi." Katanya dengan suara yang terdengar aneh. "Seseorang harus
menghilang. Dan aku memilihmu."
Alistair merasa sangat
putus asa. “Tidak...!"
Altair tersenyum tipis.
"Dari awal, aku sudah menginginkan kehidupan di duniamu. Aku bosan hidup
di bawah laut. Aku tahu kau tidak akan menolak kesempatan ini, dan aku tahu
pada akhirnya kau akan terjebak di sana."
Alistair meninju pagar
laut sekuat tenaga. "Kau tidak bisa melakukan ini! Aku yang asli! Aku yang
seharusnya hidup di sana!"
"Siapa yang bisa
membedakan?" Altair menjawab santai. "Mereka semua berpikir aku
adalah kamu. Aku sudah mengambil tempatmu. Dan sekarang, pagar laut harus
memilih."
Alistair menatapnya
dengan mata membara. "Kalau begitu, aku akan melawan."
Altair menggeleng.
"Tidak ada yang bisa kau lakukan, kecuali jika kau mau mengorbankan aku.
Hanya dengan itu pagar laut akan kembali seimbang."
Alistair membeku. Itu
berarti ia harus membunuh Altair agar bisa kembali. Tapi... bisakah ia
melakukan itu? Altair mungkin telah menipunya, tetapi ia tetap dirinya sendiri.
Bayangannya. Cerminan jiwanya. Jika ia membunuh Altair, apakah ia juga akan
kehilangan dirinya sendiri?
Saat ia masih ragu,
pagar laut mulai bergetar. Cahaya biru berkilauan semakin kuat. Seolah-olah
dunia menuntut keseimbangan.
"Waktunya hampir
habis," Altair berkata. "Jika kau tidak memilih, pagar laut akan
memilih sendiri. Dan itu berarti... tidak ada dari kita yang bisa keluar."
Alistair menutup matanya. Jantungnya
berdebar. Pikirannya berputar. Dan akhirnya, ia mengambil keputusan.
Di pantai itu, seseorang berdiri menatap
laut. Ia
menghembuskan napas panjang, menikmati aroma garam dan suara ombak. Senyum
tipis terukir di wajahnya.Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di
balik pagar laut itu. Tidak ada yang tahu siapa yang akhirnya bertahan. Yang pasti, hanya ada satu yang keluar. Dan dunia kembali seimbang.