Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Safina Layinatin | Laut yang Mengambilku

Alistair selalu menyukai pantai. Deburan ombak, aroma garam di udara, dan kelembutan pasir di kakinya membuatnya merasa damai. Sejak kecil, pantai adalah pelariannya. Ketika dunia terasa terlalu ramai, terlalu bising, atau terlalu menyesakkan, ia selalu menemukan ketenangan di sini. Ibunya sering membawanya berjalan-jalan di tepian pantai, tangan kecilnya menggenggam jemari ibunya erat, sementara matanya tak henti-hentinya menatap ke arah laut yang luas.

Saat remaja, ia mulai menjadikan pantai sebagai tempat merenung. Duduk di atas bebatuan karang yang menjorok ke laut, ia sering membayangkan kehidupan di bawah sana. Apakah ada dunia lain di dalam lautan? Seperti legenda tentang kota-kota tenggelam atau makhluk-makhluk yang tidak pernah terlihat oleh manusia? Terkadang, ia berharap bisa menyelam lebih dalam, menembus batas yang tak kasatmata antara dirinya dan misteri yang tersembunyi di balik ombak.

Alistair kecil selalu bertanya kepada Ibunya. “Ibu lihat itu! Ada dinding! Ada dinding! Dinding itu untuk apa Ibu?” Ibunya hanya menganggap itu sebagai lelucon anak-anak. 

Di tengah pantai, ada sesuatu yang aneh. Seperti ada dinding tak kasat mata di depan lautan. Ombak yang seharusnya terus mengalir tampak berhenti di titik tertentu, lalu muncul kembali di sisi lain, seolah-olah ada penghalang yang tak terlihat. Saat Alistair kecil mencoba menyentuhnya, tangannya terasa seperti menyentuh permukaan air yang kental, tidak bisa benar-benar masuk. 

“Woah!” 

Alistair teringat masa itu, sensasi ketika menyentuh dinding penghalang itu masih teringat jelas dalam memorinya. Alistair memperhatikan laut dengan teliti, mencari aliran ombak yang ia lihat saat masih kecil. “Ah, Ketemu.” Gumam Alistair.

Hari itu, dorongan rasa penasaran lebih kuat dari biasanya. Ia merapatkan jaketnya, melangkah lebih dekat, dan mengulurkan tangannya sekali lagi. Tapi kali ini, tangannya menembus permukaan yang tak terlihat itu. Alistair berdebar. Takut. Ia menarik napas tajam, lalu melangkah maju.

Dunia berputar. Sesaat ia merasa tubuhnya tertarik ke dalam sesuatu yang dingin dan lengket. Gelombang cahaya biru mengelilinginya. Lalu, semuanya hening.

Ketika ia membuka mata, ia masih berada di pantai. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Warna langit tampak lebih pekat, lautnya lebih dalam dan lebih kelam. Angin yang berhembus pun terasa asing.

Kemudian, ia melihat seseorang berdiri tak jauh darinya.

Seseorang yang memiliki wajah yang sama dengannya.

Priai itu tersenyum. "Kau akhirnya datang." Kaanya dengan suara yang sama dengan Alistair, namun terdengar lebih dalam dan misterius.

"Wow! Doppelganger?" Alistair bertanya, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.

"Aku Altair," kata priai itu. "Aku adalah kamu, tapi dari sisi lain dunia ini. Dunia laut."

Alistair menelan ludah. "Jadi yang selama ini kulihat adalah dinding antar dimensi?"

"Ada dua dunia yang terpisah oleh pagar laut ini," Altair menjelaskan. "Dunia darat tempatmu tinggal, dan dunia laut tempatku berada. Kita adalah cerminan satu sama lain, tetapi kita tidak bisa hidup di dunia yang sama... kecuali jika kita bertukar."

"Bertukar?" Alistair mengulang.

Altair tersenyum lebih lebar. "Kau menyukai laut, bukan? Bagaimana jika kau tinggal di sini dan aku yang pergi ke duniamu? Kau akan melihat keajaiban yang belum pernah kau bayangkan. Kota-kota yang tenggelam, makhluk-makhluk laut yang berbicara, serta kehidupan yang tak terikat oleh waktu."

Dada Alistair berdebar. Sebagian dari dirinya ingin tahu apa yang tersembunyi di dunia ini. Tanpa berpikir panjang, ia mengangguk. "Baiklah. Aku akan tinggal di sini."

Altair mengangguk puas. "Kalau begitu, perjanjian sudah dibuat."

Hidup di dunia laut awalnya terasa seperti mimpi bagi Alistair. Ia bisa bernapas di dalam air tanpa kesulitan. Ia melihat istana-istana terumbu karang yang bercahaya, ikan-ikan yang berpendar dalam warna-warna tak biasa, dan makhluk laut yang berbicara kepadanya seolah ia adalah bagian dari mereka.

Namun, lambat laun ia menyadari sesuatu yang mengerikan. Waktu di dunia ini berjalan lebih lambat. Hari-hari berlalu tanpa ia menyadari berapa lama ia sudah tinggal di sana. Dan yang lebih buruk, ia merasa ada sesuatu yang menahannya di sini. Setiap kali ia mencoba mendekati pagar laut yang membawanya masuk, kekuatan tak terlihat mendorongnya kembali.

Ia mencoba berbicara dengan para penghuni laut, tetapi mereka hanya menatapnya dengan mata kosong. Seolah-olah mereka tahu sesuatu yang ia tidak tahu.

Dan akhirnya, ia menemukan jawabannya.

Di dasar laut, di antara reruntuhan kota tua yang tenggelam, ada prasasti yang tertulis dalam bahasa yang entah bagaimana ia mengerti.

"Pagar laut harus tetap seimbang. Jika ada dua yang sama dalam satu dunia, salah satunya harus dikorbankan."

Jantungnya berdegup kencang.

Jika ia ingin kembali ke dunianya, salah satu dari mereka harus menghilang. Alistair bergegas kembali ke pagar laut. Kali ini, ia mencoba lebih keras untuk menembusnya, tapi tetap tak bisa. Seolah-olah dinding itu semakin kuat seiring berjalannya waktu.

Dari kejauhan, ia melihat Altair di pantai, di dunianya. Hidup seperti dirinya. Bertemu teman-temannya. Menggunakan tubuhnya.

Marah dan putus asa, Alistair berteriak, "Altair! Kau harus kembali! Ini tidak adil!"

Altair menatapnya dengan tatapan yang tenang dari sisi lain pagar laut. "Aku sudah tahu ini akan terjadi." Katanya dengan suara yang terdengar aneh. "Seseorang harus menghilang. Dan aku memilihmu."

Alistair merasa sangat putus asa. “Tidak...!"

Altair tersenyum tipis. "Dari awal, aku sudah menginginkan kehidupan di duniamu. Aku bosan hidup di bawah laut. Aku tahu kau tidak akan menolak kesempatan ini, dan aku tahu pada akhirnya kau akan terjebak di sana."

Alistair meninju pagar laut sekuat tenaga. "Kau tidak bisa melakukan ini! Aku yang asli! Aku yang seharusnya hidup di sana!"

"Siapa yang bisa membedakan?" Altair menjawab santai. "Mereka semua berpikir aku adalah kamu. Aku sudah mengambil tempatmu. Dan sekarang, pagar laut harus memilih."

Alistair menatapnya dengan mata membara. "Kalau begitu, aku akan melawan."

Altair menggeleng. "Tidak ada yang bisa kau lakukan, kecuali jika kau mau mengorbankan aku. Hanya dengan itu pagar laut akan kembali seimbang."

Alistair membeku. Itu berarti ia harus membunuh Altair agar bisa kembali. Tapi... bisakah ia melakukan itu? Altair mungkin telah menipunya, tetapi ia tetap dirinya sendiri. Bayangannya. Cerminan jiwanya. Jika ia membunuh Altair, apakah ia juga akan kehilangan dirinya sendiri?

Saat ia masih ragu, pagar laut mulai bergetar. Cahaya biru berkilauan semakin kuat. Seolah-olah dunia menuntut keseimbangan.

"Waktunya hampir habis," Altair berkata. "Jika kau tidak memilih, pagar laut akan memilih sendiri. Dan itu berarti... tidak ada dari kita yang bisa keluar."

Alistair menutup matanya. Jantungnya berdebar. Pikirannya berputar. Dan akhirnya, ia mengambil keputusan.

Di pantai itu, seseorang berdiri menatap laut. Ia menghembuskan napas panjang, menikmati aroma garam dan suara ombak. Senyum tipis terukir di wajahnya.Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi di balik pagar laut itu. Tidak ada yang tahu siapa yang akhirnya bertahan. Yang pasti, hanya ada satu yang keluar. Dan dunia kembali seimbang.