“Memang apa salahnya kalau laut dipagari? Pake bambu
lagi. Kan enak, teritip mudah tumbuh, kerang melimpah, ganggang menjamur, maka
nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan?” Kilah Belekok sedari pagi sibuk uring-uringan,
bersungut argumen melawan Caladi. Sepanjang 30 kilometer pagar menurut Belekok
masih kudu bertambah, manjangan lajurna. Kalau perlu keliling menutup
Teluk Batavia sampai Hoek van Krawang di ujung utara Meester Cornelis.
“Jaman baheula, jaman Walanda, mana ada seperti sekarang.
Manusia kelewat serakah. Gunung dipapras, sungai dicemari, lahan kosong
ditanami sampah, barangkali laut dipagar, nelayan cari ikan lewat mana? Ada
konon lebih sejuta, 500 meter dari bibir pantai cucuk bambu ditancap, mau pakai
apa biar tembus laut lepas?” Caladi tak kalah sengit sembari menyosop getah
dari bilah-bilah batang mangrove yang tersisa. “Jangan sibuk mengganggu
kemiskinan penduduk pesisir, mau melaut saja harus tersangkut halang
bambu-bambu durja itu,” ia meneruskan.
Belekok tak menyahut. Menurutnya semua pembangunan itu
memang harus ada yang dikorbankan. Pemanfaatan alam untuk kesejahteraan manusia
hampir selalu diwarnai usaha pengrusakan. Baginya Caladi terlalu kolot, tak
pandai melihat situasi, tak lihai menilai potensi. Perkara siapa yang untung ya
peduli setan. Dia hanya seekor belekok, hidup tak jauh dari mengais-ngais lumpur,
terbang sekawanan, mandi di payau, atau mati konyol tertembak peluru nyasar.
Angin membawa suara kepak anggun dari kejauhan. Oh,
rupanya Nyi Japati dari Alar Jiban, Desa Kohod, desa yang ramai dikabarkan
Caladi akhir-akhir ini ke majelis manuk-manuk Tanjung Anom. Nyi Japati
ini terkenal bijak, santun, dipihormat seduduluran. Banyak yang mengira
dia mantan juru kerani Si Kancil Anak Nakal, jadi sedikit banyak ia cukup
disegani seantero Alar Jiban.
“Laut belum surut, sepagi ini sudah ribut. Hati-hati
ocehan kalian terdengar pejabat daerah sini,” seloroh Nyi Japati. Kepalanya tak
berhenti menggeleng-geleng, kiri-kanan, kanan-bawah, bawah-kiri; menengok
sesekali ada jatuhan biji. Kiri-atas, atas ke bawah; dalam permasalahan dunia, seringkali
manusia terikat relasi kuasa-menguasai.
“Yang kalian obrolkan itu memang jamak diberitakan, tapi ianya
sudah mendekati resolusi. Yang kudengar dari pagupon sebelah, tanggal 18
Februari lalu kumpulan manusia busana cokelat seperti sirip wereng telah
menetapkan Kepala Desa Kohod sebagai tersangka. Tak usah risau, semua sudah
diatur, diorganisasi, dan dicarikan kepala pengganti.”
Kepala pengganti.
Caladi dan Belekok saling berpandangan heran. Tatapan
keduanya seolah mengisyaratkan tanda tanya besar, teramat besar sampai kedua
bola mata bertemu dan menatap Nyi Japati bersamaan. Kiri-kanan, kanan-bawah,
bawah-kiri; ah rupanya ada semut gemoy yang diterpa sial. Hap! Japati
mengunyah keenakan. Kiri-atas, atas ke bawah, bawah --terpelatuk kaki sendiri.
Yang meresahkan manusia tamak, seringkali berupa ketamakan manusia lainnya.
“Jangan asal tuduh Nyi, tidak baik merujuk frasa ‘kepala
pengganti’ kalau tak ada bukti,” timpal Belekok. Kakinya yang semula
mencengkeram tutut laut melemas. Belekok tersengat, kapan lalu tak sengaja
dirinya ikut nimbrung majelis manuk-manuk Tanjung Anom, dipikirnya Si
Caladi berbohong kala kopong kepalanya berapi-api.
“Ada tiga ratus sembilan puluh lebih hektare bidang Hak
Guna, dan dua puluh dua ribu lebih hektare bidang Hak Milik. Laut ini sudah
berganti tuan! Kita tak mungkin berharap pada Hyang Yadapati lagi. Kepala Naga
sudah menguasai teluk ini. Maka sudah tentu kepala pengganti sedang dicari,
tinumbal yang dimunculkan!” Gelegar jerit Caladi diiyakan khalayak. Ada
kekhawatiran beringsut, ada ketakutan mencekat trakea, bisik-bisik menyelinap
tak berani menjelma suara.
“Jadi benar?”
“Kalau misalnya aku berkata bohong, orang nomor satu di
Republik ini tak mungkin sampai menurunkan tujuh ratus sekian personel, belum
lagi empat ratusan Pasukan Katak, dan tiga tank ampibi badag.”
“Berarti serius?”
Nyi Japati menggeleng-gelengkan kepala mendengar
celotehan mereka berdua. Sedetik lalu Belekok mensyukuri pagar itu, sedetik
kemudian dia taksub pada Kepala Naga dan kepala pengganti. Kiri-kanan,
kanan-bawah, bawah-kiri; angin semilir menerpa helai sayapnya yang menua.
Seumur-umur Alar Jiban, tak terbersit benaknya akan terendus nafsu pembangunan.
Yang menguasai bumi memang manusia, sebagai khalifah. Tapi barangkali lebih
banyak khalifah-khalifah lalim yang menapak tanah Gusti Nu Agung
daripada ratu-ratu adil. Sebagaimana kekuasaan paripurna mampu mengubah lautan
lepas menjadi 280 bidang-bidang yang siap ditransaksikan.
“Sekarang rencanamu apa Kok, Belekok? Tetap
bermalas-malasan menunggu semua pagar tercerabut? Apa menyerah pada nasib
sampai semua laut tetap menjadi laut?” Caladi mencecar wajah oon Belekok.
Baginya Belekok terlalu naif, tak pandai melihat situasi, tak lihai menilai
ekskalasi.
“Kau mengharap aku ikut demo? Ikut majelis manuk-manuk
yang ketakutan setengah mati itu? Kita ini burung, bukan manusia. Hak Guna
Bapak lebih tokcer dari Hak Guna Kahirupan, leuwih mujarap henteu?
Sekarang nelayan sini berbondong-bondong, mendadak peduli pada lautnya. Padahal
kulihat pula saban hari membuangi sampah ke kisi-kisi bakau. Tuan Naga, Tuan
Sini, semuanya sama. Bagaimana Nyi?” Belekok melempar pertanyaan. Yang ditanya
masih menggeleng-gelengkan kepala.
Kiri-atas, atas ke bawah; Nyi Japati berusaha mengingat.
Rakyat besar memagar laut, rakyat kecil memagar trotoar. Semuanya untuk
berjualan, alasan ekonomi maupun alasan pembangunan. Agaknya Belekok benar. Di
Republik ini sekalipun nafasnya mendengus religi, tetapi mulutnya tak bisa
menampik untuk mengunyah harta korupsi. Siang berebut Hak Guna, malam berebut sabilu
taubah.
“Menurut Nyai, Belekok tak sepenuhnya keliru. Rebutan itu
budaya manusia, berebut harta, berebut ruang, berebut kuasa, berebut suara,
sampai berebut jatah subsidi pemerintah. Yang berbahaya saat ini adalah Hak
Guna Bapak yang simsalabim ada. Kenapa muncul sekarang? Apa karena kepala
pengganti siap dipanen?”
Kepala pengganti.
Seandainya manusia-manusia itu mau bertukar kepala dengan
sesamanya secara kontekstual, kemungkinan tak ada budaya rebutan, tak ada Hak
Guna Bapak. Relevansi untuk mengatur dan menguasai dibatasi oleh prinsip
keadilan dan kemanusiaan. Sehingga tidak ada praktik manusia tamak yang resah
dengan ketamakan manusia lainnya.
“Lantas nasib tiga ribu delapan ratus nelayan itu apa
cuma rhetorika politis, Nyi? Ada anak-istri di enam belas desa yang
menggantungkan isi perutnya dari hasil laut. Kalau memang budaya manusia
rebutan, bukan seharusnya yang mengatur harus bertindak adil?” Nada Caladi
menyeruak, ia tidak terima opininya menguap berdampingan dengan pragmatisme cetek
Belekok.
Hening.
Satu dahan bakau terlobangi sempurna. Caladi berhenti.
Matanya menikam tajam sorot Belekok yang nampak tak suka. Berbicara rebutan
ruang, Si Pengais Lumpur selama ini merasa nir-khawatir dengan kehadiran Caladi
karena urusan mereka tidak saling berkelindan. Belekok melengos, membuang muka
pada capit rajungan yang bersiap menyapa sinar bulan. Belum waktunya! Kutuk
Belekok. Burung pematuk itu harus diberi pelajaran agar paruhnya bengkok
seperti hukum negara ini.
Awan semburat jingga mulai bertengger. Nyi Japati hendak
berpamitan saat kepakan kawanannya mengajak kembali ke Alar Jiban.
“Sebelum aku pergi, kalian harus ingat yang kubilang
tadi. Semua sudah diatur, diorganisasi, dan diselidiki. Perkara kepala
pengganti, sebenarnya itu masalah pemalsuan data. Setidaknya itu yang kudengar.
Kasusnya sudah mendekati resolusi. Sudah, kalian kembali sarang. Mendebat
perkara manusia hanya berujung permusuhan.” Nyi Japati menuntaskan obrolan hari
itu dengan tubuh rampingnya yang mengambil ancang-ancang terbang.
Belekok dan Caladi kembali menumbukkan kedua mata.
Keduanya maklum. Bayangan camar-camar berkeliaran, pekiknya memecah keperawanan
Tanjung Anom yang sebentar-sebentar dikoyak deru pesawat berlalu-lalang. Temaram
menyongsong, pijar surya dipadamkan, dan negeri lohjinawi ini dikabarkan
menggelap. Barang sewindu akan menyusul, akankah Kohod berkelahi dengan Kepala
Naga lagi?