Cerpen Sahrul Effendi
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Tahun 2085. Kota Amanah berdiri megah di pesisir, Pagar laut tampak tak kasat mata, namun ombak besar yang terhenti di udara memperjelas keberadaannya. Bima berdiri di tepi dermaga, memandang medan energi yang membentang di cakrawala. Sejak kecil, ia tumbuh di Kota Amanah, tempat ayahnya menjadi nelayan yang gigih. Ia teringat masa-masa itu, saat senja mewarnai langit jingga dan perahu ayahnya terlihat sebagai siluet di kejauhan. Namun kini, lautan di balik Pagar Laut tak lagi terlihat sama. Tak ada perahu nelayan yang berlayar, tak ada burung camar yang berputar di atas air, semua terasa sunyi.
Sejak Pagar Laut diaktifkan, ekosistem laut berubah. Arus laut terhenti, makhluk laut beradaptasi secara tak wajar, dan nelayan kehilangan mata pencaharian. Bima memutuskan menjadi insinyur Pagar Laut agar bisa menjaga kota kelahirannya dari ancaman air pasang. Suara berat mengagetkannya.
“Masih termenung, Bim?” Awan, rekan kerjanya yang setia, menyodorkan secangkir kopi. “Aku dapat laporan lagi tadi pagi, katanya nelayan nemuin ikan-ikan aneh di pesisir. Kulitnya keras kayak baja, dan giginya tajam kayak belati.”
“Apa mungkin mereka bermutasi karena pagar laut?” Bima menatap medan energi dengan alis berkerut. Awan menggeleng. “Nggak mungkin. Teknologi ini udah diuji berkali-kali loh. Pagar laut cuma medan energi statis.”
“Tapi medan energi ini mengganggu arus laut alami, Wan. Sejak kecil, aku sering melihat arus yang deras di sini. Sekarang, semuanya tenang... tapi terlalu tenang.”
Awan menghela napas. “Aku tahu kau khawatir, Bim. Tapi fokuslah sama tugas kita. Lagipula, Pak Tio nggak suka insinyur yang mulai skeptis sama proyek perusahaan.” Nama itu membuat Bima menggertakkan gigi. Pak Tio, kepala divisi proyek Pagar Laut, pria berkacamata dengan senyum licik, semua orang tahu ia lebih peduli pada angka di laporan keuangan dibanding dampak lingkungan.
“Bima!” Suara Pak Tio menggema dari pengeras suara. “Rapat evaluasi sepuluh menit lagi. Jangan telat!”
***
Ruang rapat terasa dingin, layar besar, grafik dan data sensor diproyeksikan. Pak Tio berdiri di depan dengan senyum tipis. “Seperti yang bisa kita lihat, Pagar laut bekerja dengan sempurna. Kota Amanah terlindung dari kenaikan air laut.”
Bima mengangkat tangan. “Pak, tentang laporan mutasi makhluk laut... apakah kita sudah menyelidikinya?” Pak Tio menatapnya tajam. “Laporan itu hanya rumor yang dibesar-besarkan. Fokus kita adalah melindungi kota, bukan mengurus mitos mutasi.”
“Tapi, laporan dari nelayan dan hasil observasi lapangan menunjukkan adanya perubahan perilaku hewan laut. Beberapa bahkan menyerang kapal nelayan.” Protes Bima. Pak Tio berjalan mendekat, suaranya pelan namun dingin. “Tugasmu adalah memastikan pagar tetap berfungsi. Jangan cari masalah yang nggak ada, Bima!”
Setelah rapat bubar, Sita, ilmuwan muda dari tim riset biologi laut, mendekati Bima. “Aku percaya kau. Aku juga menemukan sesuatu yang aneh.” Mata Bima berbinar. “Apa yang kau temukan?” Sita menunjukkan tablet datanya. “Makhluk laut ini tidak hanya bermutasi secara fisik, tapi juga perilakunya. Mereka terlihat lebih agresif, seolah-olah ada sesuatu yang mempengaruhi otak mereka.”
“Apa mungkin medan energi itu mengganggu sinyal sonar alami mereka?” Bima berspekulasi. “Bisa jadi Bim. Atau... medan energi itu beresonansi dengan gelombang elektromagnetik di laut, memicu mutasi genetik.” Sita terdiam sejenak. “Kita harus menyelidiki lebih lanjut. Tapi kalau Pak Tio tahu, kita bisa dipecat.”
“Kalau kita nggak menyelidikinya, mungkin seluruh kota ini dalam bahaya,” jawab Bima tegas. “Kita mulai malam ini.”
***
Di tengah malam yang pekat, Bima dan Sita menyusup ke laboratorium pusat data. Mereka menelusuri log sistem Pagar Laut. “Lihat ini!” Sita menunjuk layar. “Ada sinyal elektromagnetik anomali di sektor barat. Seharusnya medan energinya statis, tapi di sini terlihat fluktuasi tak wajar.” Bima menyipitkan mata. “Ini bukan kesalahan teknis. Seseorang memanipulasi medan energi.”
“Apa maksudmu?” tanya Sita. “Sabotase,” jawab Bima. “Seseorang mengubah frekuensi medan energi untuk mengganggu makhluk laut.”
Suara langkah kaki terdengar. Pintu laboratorium terbuka dan Pak Tio berdiri di sana, menatap mereka dingin. “Kalian sudah terlalu jauh.”
“Kau yang melakukannya?” tanya Bima dengan amarah di matanya. Pak Tio tersenyum licik. “Tentu saja. Dengan membuat makhluk laut jadi agresif, kita bisa menunjukkan bahwa manusia butuh Pagar Laut. Investasi akan mengalir deras, dan aku akan jadi pahlawan yang menyelamatkan kota.”
“Kau gila!” Sita berteriak. “Kau mengorbankan keseimbangan ekosistem demi ambisi pribadimu?” Pak Tio Membalas tenang. “Dunia ini milik mereka yang berkuasa, sekarang serahkan data itu atau kalian akan dianggap sebagai pengkhianat.”
Bima meremas genggamannya. “Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan lautan.” Ia menarik Sita dan berlari keluar, membawa data bukti sabotase. Alarm berbunyi nyaring. “Kita harus keluar dari sini Bim!” Sita berbisik panik. “Lewat pintu darurat di ujung koridor. Ayo!” Bima menggenggam tangan Sita dan mempercepat langkah. Namun, tepat saat mereka mencapai pintu, dua penjaga menghadang dengan senjata teracung. “Berhenti! Serahkan data itu!”
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Sita bertanya dengan suara bergetar. “Kita harus menghentikan medan energi anomali itu sebelum semua makhluk laut menjadi gila. Kalau tidak, mereka akan menghancurkan kota.” Jawab Bima. “Tapi kita butuh akses ke pusat kendali, dan itu pasti dijaga ketat.” Sita Khawatir. “Aku kenal seseorang yang bisa membantu. Ayo!” Bima menarik Sita. Mereka berlari semakin cepat.
***
Bima dan Sita menyelinap masuk ke pusat kendali di tengah malam, menyamar sebagai teknisi perawatan. Mereka berhasil mencapai ruang inti energi, namun di sana, Pak Tio sudah menunggu. Tangan kanannya diperban, tampak seperti terkena bekas gigitan ikan yang telah bermutasi. “Kalian pikir bisa menghentikanku?” suara Pak Tio penuh kebencian. “Kota ini membutuhkan Pagar Laut! Tanpa itu, kita semua akan tenggelam!”
“Tidak, yang kita butuhkan adalah keseimbangan dengan alam. Bukan menaklukkan lautan!” balas Bima tegas. Pak Tio tertawa sinis. “Kau berbicara tentang keseimbangan? Itu hanya omong kosong. Alam itu liar dan kejam. Kita harus mengendalikannya, atau kita yang akan musnah.”
“Apa harga yang harus kita bayar, Pak? Mutasi makhluk laut? Kehancuran ekosistem?” Sita mendekat, menatap tajam. “Apa pantas menyelamatkan kota dengan menghancurkan lautan?” Pak Tio terdiam, wajahnya menegang. “Aku... aku hanya ingin jadi pahlawan.” Ia melihat tangannya yang terluka, menggigil ketakutan. “Makhluk-makhluk itu... mereka datang karena aku mengganggu habitat mereka. Mereka marah... dan mereka bicara padaku...”
“Tidak, Pak,” suara asing menggema di ruangan itu. Seekor makhluk laut raksasa muncul di balik medan energi kaca, kulitnya bersinar keperakan dengan mata tajam berwarna hijau zamrud. Ia berbicara dalam bahasa yang asing namun entah bagaimana bisa dipahami. “Kalian manusia sombong, ingin mengendalikan alam. Pagar ini menghancurkan arus laut, membuat kami gila.” Makhluk itu menatap Bima dengan tatapan sedih. “Tolong selamatkan Kami… hancurkan medan magnet ini, gantikan dengan pagar laut yang ramah lingkungan!”
“Tapi kota ini...” suara Bima bergetar. Makhluk laut raksasa mencoba menenangkan. “Lautan selalu memberi dan mengambil. Kehidupan adalah siklus. Jika kau menghormati kami, kami akan melindungi kalian.” Pak Tio berteriak putus asa. “Tidak! Aku tidak akan membiarkanmu menghancurkan hasil kerjaku!” Ia menarik pelatuk senjata, namun makhluk laut itu menggeram, menyebabkan gelombang energi yang menghancurkan kaca pelindung. Angin laut masuk dengan deras, dan Pak Tio terlempar menabrak dinding, senjatanya jatuh terlepas. Bima berjalan mendekat, menatap pusat kendali energi. Ia mengingat Kota Amanah, kenangan masa kecil, suara tawa ayahnya... dan ia sadar, untuk menyelamatkan laut, ia harus mengorbankan semua itu.
Dengan tangan gemetar, ia mematikan inti energi. Medan transparan bergetar, retak, dan runtuh. Ombak besar menerjang, meratakan Kota Amanah dalam sekejap. Air mata Bima jatuh, namun di kejauhan, ia melihat makhluk laut itu tersenyum. “Kau telah mengembalikan keseimbangan. Kami tidak akan melupakan pengorbananmu.” Ucap Makhluk tersebut yang berangsur kembali normal. Bima berdiri di tepi pantai, memandang lautan yang kembali mengalir bebas. Di dalam hatinya, kenangan Kota Amanah akan hidup selamanya.