Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Saniman | Tirai Bambu di Lautan

Cerpen Saniman




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Pagi itu, ketika azan Subuh menggema memanggil hamba-hamba Allah untuk bangkit dari tidur dan bergegas ke kamar mandi guna berwudu, aku bersama Ayah melangkah menuju masjid. Suasana masih gelap, udara pagi yang sejuk menusuk kulit. Di kejauhan, deburan ombak menghantam batu karang dengan ritme yang konstan, menandakan air laut masih dalam keadaan pasang. Suara iqamah berkumandang dari pengeras suara masjid, membuat kami mempercepat langkah agar dapat segera bergabung dengan jamaah lainnya.


Aku adalah anak pesisir dari utara pantai Banten, tepatnya di Kabupaten Serang. Aku lahir dan besar di daerah ini. Laut telah menjadi sahabatku sejak kecil. Sejak bisa berjalan, aku sudah terbiasa bermain di bibir pantai, mengumpulkan cangkang kerang, dan berlarian kecil mengejar ombak yang surut. Bau khas air laut dan hembusan angin pesisir adalah bagian dari keseharianku.


Setelah salat Subuh, Ayah dan aku tidak langsung pulang. Kami duduk di serambi masjid, menikmati semilir angin pagi. Ayah, seorang nelayan yang tangguh, menatap ke arah laut dengan pandangan penuh harap. "Hari ini gelombangnya cukup tinggi," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Aku hanya mengangguk, memahami bahwa laut tidak selalu ramah. Ada hari-hari ketika Ayah pulang membawa hasil tangkapan berlimpah, tetapi ada pula hari-hari ketika beliau kembali dengan tangan hampa.


"Besok, kau ikut ke laut," ucap Ayah tiba-tiba. Aku menoleh, menatapnya dengan mata berbinar. Ini adalah saat yang kutunggu-tunggu. Sejak kecil, aku selalu ingin ikut melaut, merasakan bagaimana Ayah berjuang melawan ombak demi membawa pulang ikan-ikan segar untuk keluarga.


Matahari baru saja terbit saat kami tiba di rumah. Ibu sudah menyiapkan sarapan sederhana, nasi hangat dengan ikan bakar dan sambal terasi favoritku. Kami makan dengan lahap, sambil sesekali Ayah memberikan nasihat tentang kehidupan di laut.


Malam itu, aku sulit memejamkan mata. Bayangan tentang laut dan perahu Ayah memenuhi pikiranku. Angin yang berhembus dari jendela membawa aroma asin khas laut, semakin membuatku tak sabar menanti fajar.


Ketika Subuh tiba, aku sudah siap. Dengan mengenakan jaket tebal dan topi untuk melindungi diri dari terpaan angin laut, aku bergegas membantu Ayah menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan untuk menangkap ikan di laut, mulai dari kail, jala, pelampung, hingga bekal untuk makan siang.


Aku dan Ayah segera bergegas menuju bibir pantai dan menaiki perahu kayu kecil yang sudah mulai usang dan lapuk. Ayah langsung menarik recoil starter untuk menyalakan mesin diesel berbahan bakar solar bersubsidi yang kami beli dengan susah payah, karena ada beberapa persyaratan yang harus kami penuhi. Sebagai nelayan kecil, kami hanya ingin segala kebutuhan kami dipermudah. Kami tidak ingin menjadi kaya raya, kami hanya ingin bisa makan.


Perahu langsung diarahkan ke tengah laut, menuju tempat berkumpulnya ikan. Belum sampai ke titik yang kami tuju, betapa kagetnya kami, perahu kami tidak bisa melintas. Perahu kami terhalang oleh bambu-bambu yang tertancap ke dasar laut dan menjulang tinggi membentuk pagar. Pagar ini terbentang sejauh mata kami memandang, entah berapa kilometer panjangnya.


Perasaan kaget pun akhirnya bercampur dengan rasa kesal. Betapa tidak, niat kami mencari rezeki terhalang oleh pagar di laut. Dan yang lebih mengherankan lagi adalah baru kali ini ada pagar di laut. Bukankah lautan adalah tempat umum yang tidak bisa dimiliki oleh pribadi? Semua orang berhak mengarungi lautan di seluruh penjuru negeri ini. Lantas, siapa pula yang memasang pagar di laut ini? Apakah mereka begitu serakahnya, hingga lautan saja ingin dikuasai?


Rasa kesal ini tidak boleh terus dilampiaskan, karena bagaimanapun hari ini kami harus membawa pulang ikan untuk dijual sore nanti. Jika tidak, apa yang akan kami makan? Akhirnya kami mencoba mencari celah dari pagar itu agar kami bisa lewat, tetapi ternyata setelah sekian jauh kami menyusurinya, tidak ada celah untuk perahu kami lewat. Pagar itu terlalu rapat, hanya bisa dilewati oleh badan manusia saja. Mau tak mau, kami harus mencari ujung pagar ini. Setelah perahu kami menyusurinya, akhirnya kami menemukan ujungnya, jauh sekali dari bibir pantai, sepertinya panjangnya lebih dari 10 kilometer.


Karena harus memutar dengan jarak yang sangat jauh, selain menambah waktu, kami juga harus menghabiskan solar yang lebih banyak. Jadi, mau tidak mau, kami harus membeli solar lebih banyak. Pengeluaran kami pun bertambah, waktu melaut pun harus lebih lama. Padahal, ikan yang kami tangkap tidak seberapa harganya, hanya cukup untuk menyambung hidup untuk besok saja.


Matahari sudah semakin tinggi, jala harus segera ditebar. Setelah kami sampai di titik yang kami tuju, Ayah langsung mengeluarkan jalanya, mencari posisi terbaik dan langsung menebarkannya. Ketika waktunya sudah cukup, aku membantu menarik jala yang Ayah tebar, berharap semoga banyak ikan yang tersangkut. Setelah kutarik, ternyata hanya beberapa ikan saja yang tersangkut. Tapi aku tak boleh berkecil hati, masih banyak kesempatan berikutnya. Ayah kembali menebar jalanya, kali ini di titik yang berbeda dari sebelumnya.


Matahari semakin terik, terus menyengat kulit kami. Aku merasa sangat lelah dan haus. Aku mencoba mengambil botol air minum dalam kotak bekal yang sudah disiapkan sebelumnya. Sedangkan Ayah masih terus menebarkan jalanya, tidak peduli matahari seterik apa pun yang menyengat kulitnya. Sambil mengusap keringat di keningnya, Ayah memintaku untuk merapikan ikan hasil tangkapan yang ada di ember agar tidak lepas lagi. Sambil terus memandanginya, aku tidak bisa membayangkan betapa beratnya tugas Ayahku yang harus mencari rezeki demi menafkahi keluarga.


Selintas aku teringat dengan pagar yang membentang di laut tadi, aku menjadi semakin kesal. Aku terus bertanya-tanya, siapa yang memasang pagar itu, untuk apa pagar itu, dan mengapa harus memagari laut? Pasti orang yang memasang pagar itu adalah orang kaya, karena tidak mungkin orang miskin bisa membeli bambu yang sangat banyak dan menancapkannya di laut. Orang kaya itu akan semakin kaya, sedangkan aku dan keluargaku mencari rezeki semakin susah karena harus terhalang pagar itu.


Matahari mulai turun, langit menguning tanda hari sudah sore, waktunya harus pulang. Ember tempat menampung ikan yang tertangkap hanya terisi setengahnya. Alhamdulillah, ini sudah cukup untuk dijual di pelelangan ikan dekat rumah. Ayah memberikan senyumannya, mengisyaratkan pesan kepadaku agar jangan kecewa. Akupun ikut tersenyum dan segera merapikan jala dan ember yang sudah selesai digunakan.


Sebelum menyalakan mesin, Ayah membuka tutup tangki bahan bakar untuk memeriksa ketersediaannya. Dari ekspresi Ayah, sepertinya solar cukup untuk sampai ke dermaga. Meskipun kami harus memutar lebih jauh lagi untuk menghindari pagar itu. Terlihat juga beberapa nelayan yang juga tetangga melakukan hal yang sama. Mereka pun mengeluhkan keberadaan pagar itu. Sungguh malang nasib nelayan-nelayan di sini, tanpa adanya pagar laut saja mencari ikan sudah susah, apalagi dengan adanya pagar ini, hidup kami semakin susah.


Sesampainya di dermaga, aku dan Ayah langsung menuju tempat pelelangan ikan untuk menjual hasil tangkapan kami. Sebagian besar kami jual, sebagian lagi kami bawa pulang untuk dimasak oleh Ibu. Meskipun tidak banyak, setidaknya hasilnya cukup untuk membeli beras dan sayur untuk besok. Kalau untuk lusa, akan dicari besok lagi. Beginilah kehidupan kami, mencari rezeki hanya cukup untuk makan sehari.


Selesai dari tempat pelelangan ikan, kami segera bergegas menuju rumah untuk membersihkan diri dan beristirahat serta tak sabar ingin menyantap masakan Ibu. Di tengah jalan, kami dikagetkan oleh kerumunan warga. Terdengar teriakan dan suara warga yang marah. Aku semakin penasaran dan langsung lari menuju keributan itu.


"Rumah kita akan digusur..." ucap Ibu Maryam, seorang ibu rumah tangga dengan suara terisak-isak.


Suasana keributan tadi berubah menjadi haru ketika semua orang yang ada di tempat tersebut ikut menangis. Aku juga sangat terpukul mendengar berita ini. Aku masih tidak percaya rumah yang sudah aku tinggali sejak lahir akan digusur. Dan yang lebih membuatku kesal dan marah adalah orang yang menggusur adalah orang yang sama dengan orang yang memasang pagar di laut itu. Ternyata tempat tinggal kami akan dijadikan tempat hunian bagi orang-orang kaya.


Aku tidak tahu lagi, aku bingung harus melapor ke siapa. Rasanya melapor ke polisi pun tidak akan membantu, hanya akan menambah rasa kesal saja. Aku juga tidak tahu, mengapa hidup di negeri ini seperti ini. Padahal kami mencari makan sendiri, kami tidak meminta apa pun dari negara ini. Kami hanya tidak ingin hidup kami diganggu, apalagi dibuat susah.