Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Santi Puspita Ningrum | Jeritan Ombak di Balik Pagar

Cerpen Santi Puspita Ningrum




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Keempat tombak baja itu menusuk cakrawala, memantulkan cahaya matahari yang menyilaukan laksana pisau berkilat. Di antara tiang-tiang yang berdiri pongah, jaring kawat menjelma pagar tak kasat mata, membelenggu kebebasan. Pak Rusdi terhenti, mengeluarkan sapu tangan lusuh dari kantongnya, mengusap keringat yang mengalir bak sungai kecil di dahinya. Usianya yang hampir enam dekade telah mencuri kekuatan masa mudanya. Teriknya siang ini seolah bersekongkol dengan amarah yang membara di dadanya, menghanguskannya dari dalam.


"Pak Rus, jangan berdiri di situ. Itu sudah bukan wilayah kita lagi," seru Darman dari kejauhan. Pemuda itu berlari kecil mendekatinya.


"Nak, adakah angin bisa dikurung? Sejak kapan ombak tunduk pada pemilik?" bisik Pak Rusdi, suaranya serupa desir angin senja. Tatapannya tetap terpaku pada belenggu besi yang kini mencengkeram laut, ruang hidupnya, yang telah setia memberi nafkah selama empat dekade. Darman terdiam. Ia tahu, pertanyaan itu lebih dari sekadar keluhan. Itu adalah jeritan hati nelayan yang terenggut haknya. Sejak kecil, ia mendengar kisah laut sebagai ibu kehidupan. Kini, ibu itu dikekang pagar besi.


"Kita harus kembali, Pak. Pertemuan di balai desa segera dimulai."


Pak Rusdi menatap laut yang membentang di balik pagar tinggi, seolah sebagian jiwanya tertinggal di sana. Dengan langkah berat, ia beranjak pergi.


Desa Tanjung Pesisir dulu adalah surga tersembunyi di selatan Pulau Jawa. Lautnya sebening kaca, pasirnya seputih awan, dan ikan-ikannya melimpah. Masyarakat hidup selaras dengan alam, melaut dengan kearifan yang diwariskan turun-temurun. Namun, segalanya berubah tiga tahun lalu.


PT Samudera Jaya Makmur datang membawa janji emas; lapangan kerja, jalanan mulus, dan kemakmuran yang menggiurkan. Pak Kades dan para tetua desa terbuai, menandatangani perjanjian tanpa banyak tanya. Tanah-tanah warga dijual murah, dan saat mereka sadar, laut pun diklaim. Pagar-pagar raksasa berdiri, membatasi nelayan dari sumber hidupnya.

 

Di balai desa, kemarahan menggelegak. "Katanya kita akan sejahtera, tapi kini laut kita dipagari!" seru Hamid, nelayan tua yang bertahan dengan perahu reotnya. Wajah-wajah nelayan penuh kegelisahan, nasib mereka terkatung-katung.


Pak Kades duduk dengan kepala tertunduk. Ia tahu, keputusannya tiga tahun lalu adalah kesalahan besar.


Darman mencoba memberi harapan. "Saya sudah menghubungi LBH. Mereka bilang kita bisa menggugat! Laut adalah milik negara, bukan milik perusahaan!"


"Laut ini warisan leluhur kita! Jika kita diam, apa yang akan kita tinggalkan untuk anak cucu?" seru Bu Asih, janda nelayan yang berjuang menghidupi tiga anaknya dengan berjualan ikan asin.


Tiba-tiba, pintu balai desa terbuka. Seorang pria berkemeja rapi masuk, diapit dua lelaki kekar. "Maaf mengganggu," katanya dengan suara lantang. "Saya Anton, dari PT Samudera Jaya Makmur. Saya datang untuk mencari solusi."


Ruangan seketika sunyi. Nelayan saling pandang, waspada.


Pertemuan berakhir buntu. Perusahaan hanya menawarkan kompensasi kecil, jauh dari harapan. Sementara itu, gugatan hukum berjalan lambat, sementara perut warga tak bisa menunggu. Situasi semakin sulit.


Di tengah kegelisahan, Anita, cucu Pak Rusdi, kembali dari Yogyakarta. Mahasiswi hukum lingkungan itu membawa semangat baru.


"Kakek, ini bukan hanya tentang nelayan, tapi juga tentang ekologi," ujarnya. "Pembangunan ini akan menghancurkan terumbu karang, membuat ikan-ikan pergi, dan akhirnya, desa ini akan musnah."


Pak Rusdi mengangguk pelan. "Laut bukan untuk dimiliki, tapi untuk dijaga. Jika kita menjaga laut, laut akan menjaga kita."


Mata Anita berbinar. "Bagaimana kalau kita mengundang media dan aktivis? Kita buat gerakan 'Buka Pagar Laut'!"


Pak Rusdi tersenyum. Untuk pertama kalinya sejak pagar itu berdiri, ia melihat secercah harapan.

 

Kampanye "Buka Pagar Laut" menggema. Media nasional meliput, video drone pagar besi di tengah laut menjadi viral. Tekanan publik memaksa pemerintah turun tangan. Kementerian Kelautan dan Perikanan melakukan inspeksi, menemukan pelanggaran serius; reklamasi ilegal, kerusakan ekosistem, dan hak masyarakat yang terabaikan.


Namun, semakin besar perlawanan, semakin kuat tekanan balik. Rumah Darman dilempari batu, ancaman datang silih berganti. Perusahaan mencoba memecah belah warga dengan menyebar isu bahwa beberapa tokoh desa menerima suap.


"Mereka takut karena kita semakin kuat," kata Anita. "Justru ini pertanda kita di jalur yang benar."


Pak Rusdi menghela napas. "Tapi kita harus tetap waspada. Perjuangan kita bukan melawan orang, tapi melawan ketidakadilan."


Konflik memuncak ketika PT Samudera Jaya Makmur membawa buldoser tambahan. Warga tak tinggal diam. Mereka memblokade jalan menuju proyek, mendirikan tenda-tenda perjuangan.


"Kami tidak akan menyerah!" seru Bu Asih, memimpin para ibu-ibu memasak untuk para pejuang.


Ketegangan memuncak saat perusahaan mendatangkan petugas keamanan. Untungnya, kehadiran aktivis HAM dan wartawan mencegah bentrokan.


Di Jakarta, gugatan memasuki tahap akhir. Anita dan tim pengacara menyampaikan argumen mereka dengan penuh keyakinan.


"Kami tidak menolak pembangunan," katanya di hadapan majelis hakim. "Kami hanya menuntut keadilan; pembangunan yang menghormati hak masyarakat dan lingkungan. Pagar laut ini telah mencuri penghidupan kami."


Enam bulan berlalu. Keputusan pengadilan akhirnya keluar; PT Samudera Jaya Makmur dinyatakan bersalah. Mereka diperintahkan membongkar pagar, memulihkan ekosistem yang rusak, dan memberikan kompensasi kepada warga.


Desa bersorak gembira. Tangis bahagia membasahi pipi Pak Rusdi. Ia memeluk Anita erat-erat. "Pagar laut itu akan dibuka," bisik gadis itu, suaranya bergetar.

 

Pak Rusdi mengangguk. "Ini bukan hanya kemenangan kita, Nit. Ini kemenangan bagi laut kita, bagi semua masyarakat pesisir."


Namun, mereka tahu, perjuangan belum usai. Di berbagai penjuru negeri, laut, tanah, dan hutan masih dirampas atas nama pembangunan.


Sebulan setelah putusan, buldoser perusahaan merobohkan pagar terakhir. Air laut kembali bebas, tanpa batas buatan manusia. Nelayan meluncurkan perahu mereka, kembali ke laut yang mereka cintai.


Malam itu, warga merayakan kemenangan di tepi pantai. Obor menyala, musik mengalun, dan anak-anak berlarian di pasir. Pak Rusdi duduk dikelilingi mereka, mengisahkan kembali cerita tentang laut.


"Laut adalah ibu kita. Ia memberi tanpa pamrih, tapi kita harus menghormatinya. Jika kita serakah, suatu hari ia akan mengambil kembali semua yang telah ia berikan."


Setahun berlalu. Tanjung Pesisir bukan menjadi resort mewah, melainkan desa ekowisata berbasis masyarakat. Nelayan kembali melaut dengan kesadaran baru, menerapkan cara tangkap ramah lingkungan.


Anita mendirikan pusat edukasi lingkungan, mengajarkan anak-anak tentang hak mereka atas alam. Darman memimpin program ekowisata, membawa pengunjung melihat laut bukan hanya sebagai objek wisata, tapi sebagai ekosistem yang harus dijaga.


Suatu pagi, Pak Rusdi menunjuk ke laut. Di kejauhan, lumba-lumba melompat riang. "Mereka kembali, Kek!" seru Anita takjub.


Pak Rusdi tersenyum, matanya berkaca-kaca. "Laut selalu tahu siapa yang menjaganya.


Ia akan selalu kembali kepada mereka yang menghormatinya."


Dan di atas pasir, jejak-jejak kaki anak-anak nelayan terus bercerita, tentang hubungan manusia dan laut, tentang perjuangan, dan tentang harapan yang tak pernah pudar.