Cerpen Sapta Arif
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Kau pernah bertanya padaku, bagaimana rasanya menjadi anak pesisir dengan memori tentang laut yang tak seberapa. Pertanyaan itu kau tulis di lembaran ingatanmu saat tidur sambil membayangkan langit kelabu yang memayungi kerlap-kerlip lampu kapal. Di malam yang cerah, asap mengepul melambung ke awan-awan yang semakin hari semakin legam. Suara mesin kapal terdengar dari jauh, seperti sirine yang selalu membangunkanmu dari tidur ayam. Aku tidak bermaksud mengejek keadaanmu. Atau pun pilihanmu pulang ke kampung halaman.
Siang itu, kau bertemu dengan seorang bocah berusia sepuluh tahun bersepeda di kawasan industri pelabuhan. Seorang satpam bertubuh tinggi besar dengan bibir hitam melarangnya masuk ke dermaga. Bocah itu melengos dengan wajah sedih. Kau melihatnya seperti sebuah adegan film hitam putih bersetting muram.
Kau tersentak mendengar panggilan seorang lelaki berkewarganegaraan asing. Gegas kau meloncat ke geladak. Kau tarik berulangkali tambang cokelat tua hingga terdengar bunyi batuk di mesin diesel perahu klotokmu.
“Jetty port du….wa…,” ucapnya setengah berteriak sambil menunjuk sebuah kapal besar berwarna putih terparkir di sebuah dermaga yang memanjang tegak lurus ke tubuh pantai. Seperti biasa, ia memintamu mengantarnya ke kapal itu. Kapal yang terparkir di dermaga yang akrab disebut dengan jetty.
Kau mengangguk sambil mengulang, ya! Jetty port dua. Bocah sepuluh tahun tadi beranjak. Kau melihat punggungnya semakin jauh. Ditelan jarak dan ingatanmu sebagai anak pesisir.
Sudah lama sekali ingatan itu terkubur dalam. Sangat dalam. Hingga kau mungkin lupa seberapa dalam. Namun, begitu aneh cara kerja ingatan. Ia bisa mencuat tiba-tiba oleh sengatan peristiwa yang tak seberapa. Kau masih samar mengingat sebagai bocah sepuluh tahun yang tinggal di pesisir utara Tangerang.
Sungguh, hidupmu seperti terumbu karang yang pecah dihantam ombak. Sepanjang hidupmu hanya menjadi buffer yang melawan gelombang di laut lepas. Gelombang pertama ialah kematian ayahmu. Bulan sembilan saat seharusnya kau merayakan usiamu ke sepuluh, hujan petir menyambar pesisir pantai.
Sejak sore, ibu melarang ayahmu untuk pergi melaut. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, meski badai datang, ibu tetap mengizinkan suaminya melaut. Lalu, pulang saat fajar menyingsing. Malam itu berbeda. Di usia kehamilan ke-38 minggu, ibumu merasa malam itu akan tiba saatnya. Ia bersikeras melarang ayahmu pergi. Tetapi, jika tidak melaut, mau makan apa kalian besok. Lagi pula, ayahmu harus menyiapkan uang untuk biaya kelahiran adikmu. Belum lagi, beberapa kali Mang Ujang datang menagih utang keluargamu yang kian tinggi bunganya.
“Tunda dulu malam ini, Mas. Hujan tambah deras,” pinta ibumu sambil memeluk lengan kiri suaminya.
Ayahmu berbalik, mengelus perut ibumu, lalu berbisik: “Demi jabang bayi ini,” lalu mengecup dengan tulus. Pendar matanya hangat memandang. Sehangat salam perpisahan yang tak terucap. Ibu melepas kepergian ayahmu dengan tatapan berkaca-kaca. Entah firasat apa yang menggelayuti hatinya sejak subuh.
Belum genap tengah malam, hujan kian deras. Bik Minah datang mengetuk pintu rumahmu yang terbuat dari seng berkarat dilapisi kayu sebagai kerangkanya. Kau membukanya dengan wajah takut. Kau berharap ayahmu urung melaut dan memutuskan pulang. Tetapi sebaliknya, Bik Minah datang dengan wajah cemas. Tanpa berkata-kata ia menerobos masuk. Ibumu terkulai lemas, memegang perutnya yang semakin terasa melilit.
“Man, ambilkan jarik dan baskom!” teriak Bik Minah. Kau tidak begitu paham apa yang terjadi. Gegas kau ambil jarik dan baskom. Lalu Bik Minah memberikan kode agar kau keluar dari kamar.
Ibumu berulangkali berteriak hingga mencuat urat-urat di leher dan keningnya. Darah mengucur dari celang selangkangan. Kau mengintip dari celah korden. Tidak lama kemudian, terdengar tangis bayi di tengah guyuran hujan. Ibumu terisak memeluknya, sambil menatap wajahmu yang nongol dari korden pintu.
Saat azan subuh terdengar, ibumu masih terjaga dan Bik Minah di sampingnya sambil berulangkali membantu bayi kecil itu menyusu. Tiba-tiba terdengar orang-orang memanggil nama ibumu. Mengetuk dengan tergesa. Gegas Bik Minah beranjak, kau pun mengekor di belakangnya.
“Bik? Kang Basuki…. Kang Basuki, Bik…” terbata-taba lelaki itu berkata.
Ibumu tertatih berdiri, berjalan ke muka pintu. Di tatapnya wajah lelaki itu. Seketika, tubuh ibumu lunglai bersimpuh di tanah. Terisak, ia menyebut nama ayahmu. Tidak jelas nasib ayahmu. Tiga nelayan yang datang subuh itu berkabar, sebuah perahu terbalik terdampar di pantai. Mereka tidak akan salah, itu perahu milik keluargamu. Perahu yang dipakai ayahmu melaut.
Hidup tak ubahnya permainan dadu. Kadang untung, sesekali buntung. Apakah Tuhan sedang berjudi tatkala menciptakan dunia?
Malangnya, kau kerap bertanya mengapa dadu nasib keluargamu selalu buntung. Setelah ayahmu pergi, ibumu mati-matian berjuang menghidupi biduk keluarga kalian yang hampir karam di lautan hidup. Kau membantu ibumu membuat tambak yang luasnya tidak seberapa. Di sana, ibumu memelihara ikan bandeng.
Saban pagi, ibumu memotong daun pohon mangrove yang masih muda. Mengolah daun itu sebagai pakan bandeng alami. Ketika matahari mulai tinggi, kau membantu ibumu menanam bibit mangrove. Tidak terhitung berapa mangrove yang telah kalian tanam. Sadar usaha kalian akan sia-sia, kau pernah bertanya: Bu, untuk apa kita terus menanam bibit mangrove ini?
Sambil memandangmu penuh kasih, ibumu berkata “Lihatlah nak, air laut kian tinggi melahap pantai. Kita tidak pernah tahu sampai kapan tanah rumah kita bisa bertahan sampai benar-benar terendam air. Alam itu hidup, mereka mengasihi orang-orang yang mencintai mereka,”
Ketika sudah dewasa, kau baru paham, ibumu berusaha menghalau abrasi yang kian parah melahap tanah desamu. Sebuah pabrik semen berdiri kokoh di pesisir pantai bagian timur. Kata ibumu, limbah pabrik itu penyebab tiap tahun banjir rob terasa semakin parah. Sekali lagi dadu nasib tidak berpihak pada keluargamu. Setiap tahun, air laut naik begitu cepat. Rumahmu mulai terendam mengikis pondasi dan dinding rumah yang rapuh. Ibumu bersikeras tinggal meski tetangga sudah mengingatkan untuk pindah.
Pada bulan Oktober kelabu, hujan badai datang dengan ganas. Banjir rob menerpa rumahmu hingga ambruk. Kau tidak bisa berbuat apa-apa. Ibumu hilang meninggalkanmu dan adikmu terdampar di pelataran balai desa lama.
Ingatan itu terus menetap di alam bawah kesadaranmu. Kau berupaya menimbunnya sangat dalam. Tahun demi tahun berganti, kau merasa telah melupakan segala kenangan buruk itu. Hingga bocah itu datang ke area industri pelabuhan, lalu memaksa ingatan itu muncul dari jurang hidupmu yang nestapa.
Aku terpaksa datang pada mimpimu di malam keparat yang penuh kucuran keringat lantaran pabrik-pabrik menghalau angin utara. Lalu, menciptakan angin yang kering dan panas. Kau menemuiku sebagai remaja tujuh belas tahun bertelanjang dada melihat tubuhku ditusuk jutaan tombak bambu yang saling silang.
Jika tubuhku teraliri darah sepertimu, mungkin saja seluruh bagian utara kampung halamanmu berwarna merah. Aku sudah ringkih tak berdaya. Menggigil oleh racun amoniak. Terpaksa saban tahun, aku melahap daratan, temanku. Karena terumbu karang di dalam tubuhku telah hancur oleh ombak yang kuciptakan sendiri.
Kau tak perlu termangu begitu.
Kau ingat Mang Rove? Meski namanya mirip mener Belanda, ia bukanlah lelaki dengan kulit putih cemerlang. Ia bukan juga lelaki bermata biru yang kerap kau temui di dermaga Balai Keling, lalu memintamu menyalakan perahu klotok, dan menyeberang ke dermaga Jetty.
Sudah lama, Mang Rove mengeluhkan nyeri di sekujur tubuh. Namun, ia selalu diam. Memaksa tubuh rentanya dihantam ombak. Air tubuhku kian asam berselimut polutan limbah kapal-kapal yang saban hari mengangkut material. Tidak hanya sekali, serpihan material itu jatuh ke tubuhku. Tubuh laut yang menghidupi keluargamu, bahkan sejak nenek moyangmu dulu. Kenyerian yang dirasakan Mang Rove, telah kualami juga. Aku kerap merasakan demam yang tak berkesudahan. Apalagi, kini bambu itu mengubah kembali arus air di dalam tubuhku. Memaksaku beradaptasi dalam demam yang tak berkesudahan.
Kini, Mang Rove hampir tiada. Tak ada lagi orang peduli padanya seperti ibumu dulu. Yang saban pagi menyemai benih dan menanam si mungil di sekeliling rumahmu. Bangunan itu mungkin saja sudah menetap di dasar tubuhku yang lain.
Apa kau masih ingat pertanyaanmu padaku? Bagaimana rasanya menjadi anak pesisir dengan memori tentang laut yang tak seberapa. Perlahan-lahan, anak-anak di kampung halamanmu akan mengalami hal serupa. Mungkin saja, puluhan tahun lagi. Atau, tak perlu menunggu lama, empat sampai lima tahun lagi.
Kau tersentak bangun. Tubuhmu banjir keringat. Kau pun beranjak membuka jendela. Kerlap-kerlip cahaya itu muncul dan tenggelam. Asap masih membumbung tinggi, menyambung awan yang telah kelabu. Seperti awan mendung yang enggan menumpahkan hujan.
Kau kerap mendapat cerita dari nelayan-nelayan yang beralih profesi menjadi ojek perahu klotok sepertimu.
“Dulu saya juga nangkap ikan Mas. Tapi, sejak ada dermaga jetty, saya harus pergi ke Bawean sana, biar dapat ikan. Kalau hanya di sini, ngga dapat apa-apa. Lama-lama, tekor minyaknya, mas.” percakapan itu seketika menyeruak.
“Kalau buat juragan yang punya kapal besar ngga masalah. Lha kalau hanya perahu klotok kayak gini mas, ngga bisa berbuat apa-apa. Mending buat ngantar pekerja. Untung lah, perusahaan rutin kasih sembako Mas. Dan yang paling penting saat lebaran besar, mereka urun kambing.”
Kau menatap nanar. Udara panas Gresik menerpa wajahmu. Kemudian, kau mengambil ponsel. Tiga pesan dari adikmu mengirimkan tautan berita.
“Pagar Misterius di Perairan Tangerang Ganggu Aktivitas Nelayan.”
“Misteri Pagar Laut yang Membentang di Desa Kohod.”
“Ombudsman Telusuri Dugaan Maladministrasi Penerbitan Sertifikat HGB di Pagar Lau Tangerang.”
Kau gegas berkemas. Melihat jarum jam dan mengira-ngira jadwal pemberangkatan bus. Saat kau keluar rumah, kau sempatkan menatap ke laut. Aku membayangkan kita gegas berjumpa kembali. Melihatmu, mengenang masa kecilmu di perairan tubuhku.