Suara
deburan ombak laut pagi ini cukup mengisi keheningan di antara aku dan Bapak
yang tengah sibuk mempersiapkan perahu kami untuk berlayar. Setiap hari Minggu
aku selalu ikut bersama Bapak untuk mencari ikan. Bapakku seorang nelayan kecil
yang mencari ikan sendiri untuk dijual kepada pedagang-pedagang di pasar sana. Aku
sangat ingin menjadi nelayan seperti Bapak, aku mencintai laut, aku juga
mencintai ikan. Meskipun Ibu terkadang
tidak mengizinkanku untuk ikut bersama Bapak pergi ke laut, tapi aku selalu
berhasil menyelinap setiap Minggu pagi untuk ikut mencari ikan dan beruntungnya
Bapak hanya pasrah saat aku memaksa ikut bersamanya.
“Ido cepat naik ke atas perahu!” aku
segera naik ke atas perahu, kaki kecilku agak tertatih karena tinggi perahu
Bapak hampir dua kali tinggi badanku. Setelah aku naik, Bapak mendorong perahu
menuju perairan yang lebih dalam, kemudian Bapak naik dan mulai menyalakan
mesin. Setiap kali perahu mulai berjalan aku merasakan perasaan gembira yang
membuncah dalam hatiku. Ku hirup dalam bau laut, bau udara pagi, serta sedikit
bau amis ikan dari jala milik Bapak.
“Eh, kenapa ada bambu di laut?
Memang bambu bisa tumbuh di laut?” aku bergumam heran, seingatku minggu lalu
tidak ada bambu disini.
“Ya tidak bisa lah, bambu hanya
tumbuh di darat, tapi sudah lima hari bambu ini ada di laut, mungkin ada orang
yang menancapkannya,” aku makin terheran, mengapa laut harus ditancapi bambu,
bentuknya juga aneh sekali.
“Apakah laut kita di penjara?” aku
sering melihat film di televisi dan bentuk penjara mirip seperti bambu-bambu
yang berjejer di laut ini, hanya saja mungkin penjara di dalam film menggunakan
besi hitam.
Kegiatan berpikirku harus terganggu
saat perahu kami seperti menabrak sesuatu, terdengar bunyi cukup keras dari
arah depan perahu. Bapak segera bergeser posisi ke depan dan aku mengikutinya.
Aku melihat perahu kami menabrak salah satu bambu itu, kemudian aku bisa
mendengar Bapak mendesah keras.
“Menyusahkan sekali, sudah 3 kali
perahuku menabrak bambu, mengapa juga ada bambu di laut, nelayan jadi kesulitan
berlayar,” aku mendengarkan Bapak mengomel kesal. Aku membantu Bapak untuk
membetulkan posisi perahu agar kita bisa berlayar kembali. Sepertinya benar,
laut ini sudah di penjara, tapi laut berbuat salah apa sampai ia di penjara,
berapa lama kira-kira laut akan di penjara, aku kasihan jika setiap berlayar
perahu nelayan harus menabrak penjara laut ini.
“Sudahlah merepotkan, tangkapan ikan
juga berkurang banyak sekali, ide siapa memasang bambu sepanjang ini di laut,
memang ini laut mereka, seenaknya saja menyusahkan nelayan,” Bapak masih
bergumam kesal, aku juga ikut merasa kesal. Aku melihat beberapa hari ini
tangkapan ikan Bapak tidak sebanyak biasanya, aku kira ikannya sedang tamasya
ke laut lain, ternyata karena ada penjara di laut, mungkin ikan ketakutan jika
mendekat ia juga akan di penjara makanya ia menjauh.
Singkat cerita kami lanjut berlayar,
Bapak sudah menebar jala miliknya, kami menunggu beberapa saat, kemudian
menarik kembali jalanya bersama-sama. Lagi-lagi aku hanya mendapati ekspresi
kecewa Bapak, sedikit sekali ikan yang didapatnya. Beberapa jam berlalu
akhirnya kita memutuskan untuk pulang saja daripada menambah kecewa karena tak
kunjung mendapat ikan banyak. Saat perjalanan pulang aku terus mengamati bambu
penjara laut itu, aku masih bingung apa kesalahan laut sampai ia di penjara dan
menyusahkan nelayan. Aku akan bertanya pada Ibu, Ibu seorang guru jadi Ibu
pasti tahu karena Ibu pintar.
“Ibu, dimana? Aku ingin bertanya
sesuatu,” sesampainya di rumah aku berlari mencari Ibu mengabaikan Bapak yang
membawa bak ikan sendirian.
“Ada apa Ido?” ternyata Ibu ada di
belakang rumah sedang mencuci piring. Aku duduk di sebelahnya, mulutku terbuka
beberapa kali, aku bingung menyampaikan pertanyaanku.
“Ibu, apakah laut bisa di penjara?”
Ibu menoleh dengan tatapan aneh.
“Hah? Tidak ada yang namanya laut di
penjara, aneh-aneh saja,” Ibu melanjutkan kegiatannya. Aku merasa sedikit
kesal, mengapa semua orang tidak tahu apa yang terjadi di laut. Fungsi
bambu-bambu yang ada di laut itu untuk apa sebenarnya, tidak bermanfaat malah
menyusahkan.
“Bambu-bambu di laut itu loh Bu,
tadi perahu Bapak menabrak bambu itu, menyusahkan sekali,” sepertinya nada
perkataanku terdengar kesal kali ini.
“Oh itu, Ibu dengar-dengar dari Pak
Kades itu akan dibangun proyek reklamasi, Ibu lupa kemarin memberitahu
Bapakmu,” apa lagi ini, reklamasi? Aku tidak pernah mendengar itu dimana-mana,
di sekolah juga tidak.
“Reklamasi itu apa Bu? Tapi laut
kita tidak benar-benar di penjara kan?” aku masih terus bertanya, dapat ku
rasakan Ibu mulai kesal dengan pertanyaan penjara laut yang tidak ada habisnya.
“Aduh ibu tidak tahu, tanya saja
sendiri sama Pak Kades, kamu ini ada saja pertanyaan aneh, Ibu juga tidak faham
reklamasi seperti apa maksudnya, sudah Ibu harus mencuci bajumu setelah ini,
kamu mandi sana!” Ibu berdiri meninggalkanku di belakang rumah dengan rasa
penasaran yang belum terjawab.
“IBU, AKU PERGI DULU SEBENTAR,” aku
berteriak keras, kemudian berlari memutar ke depan rumah, aku harus ke rumah
Pak Kades bertanya apa itu reklamasi, jika tidak terjawab hari ini pasti aku
tidak bisa tidur. Aku terus berlari hingga sampai di rumah Pak Kades yang hanya
berjarak beberapa gang dari rumahku. Kebetulan sekali Pak Kades sedang duduk di
teras rumahnya. Aku segera menghampirinya, aku butuh jawaban.
“Pagi Pak Kades, saya ingin bertanya
sesuatu boleh?” tanpa basa-basi aku langsung berdiri di hadapan Pak Kades,
ekspresi sedikit kaget terbentuk di wajahnya.
“Eh, kamu ini Ido ya? Anaknya Pak
Wawan yang rumahnya di gang belakang,” sepertinya tidak susah mengingatku
karena aku memang sering bermain di sebelah rumah Pak Kades yang juga merupakan
rumah temanku.
“Betul Pak, jadi saya mau bertanya
tentang reklamasi, Kata Ibu tadi penjara bambu di laut itu akan dibuat
reklamasi, nah reklamasi itu apa? Saya tadi bertanya pada Ibu tapi Ibu menyuruh
bertanya sendiri pada Pak Kades jadilah saya sekarang disini,” Pak Kades
tersenyum tipis, kemudian menyuruhku untuk duduk di kursi sebelahnya.
“Itu bukan penjara bambu Ido, mana
bisa laut di penjara, lucu sekali. Nah, jadi reklamasi nanti akan dibentuk
daratan di laut, keren bukan? Nanti kamu bisa bermain-main disana bersama
temanmu,” aku menganggukkan kepalaku pelan, jadi nanti laut akan diubah jadi
daratan.
“Eh tapi Pak Kades, berarti lautnya
hilang dong? Bapak dan nelayan lain kalau mau cari ikan bagaimana jika tidak
ada laut?” aku baru menyadari hal ini, berarti tidak ada laut, tidak ada ikan,
mungkin saja tidak ada nelayan.
“Ya tidak dong, laut itu luas,
Bapakmu dan nelayan lain masih bisa cari ikan di bagian lain,” aku mendengar
Pak Kades menjawab sedikit kesal.
“Tapi kan-“
“Ah sudah-sudah, Pak Kades mau ada
kegiatan dulu, kamu lebih baik pulang saja Ido, nanti Ibumu mencari,” belum
selesai aku bicara tapi Pak Kades sudah memotong, mungkin Pak Kades memang
harus pergi kegiatan. Kepala desa kan harus mengurus banyak hal.
Aku segera pamit kemudian berjalan
keluar dari teras rumah Pak Kades lalu melewati halaman rumah Pak Kades yang
sedikit luas. Saat di depan gerbang aku berpapasan dengan Pak Yitno, aku
menyapanya hanya dengan senyum kecil. Kami saling bertolak, aku keluar dari
rumah Pak Kades dan Pak Yitno masuk ke rumah Pak Kades. Sedikit aneh, tumben
sekali tadi Pak Yitno tidak berlayar juga, biasanya aku dan Bapak berpapasan
dengan Pak Yitno di laut tapi hari ini tidak. Aku tetap berjalan lewat gang
samping rumah Pak Kades dan aku mendengar sayup-sayup percakapan Pak Kades dan
Pak Yitno, akhirnya aku memutuskan berhenti dan menguping.
Aku tidak terlalu faham apa yang
mereka bicarakan, sepertinya itu pembahasan orang dewasa. Tapi aku dengar
mereka berbicara tentang bambu, reklamasi, ikan, nelayan dan kebijakan,
mungkin. Semakin aku mendengar, aku semakin tidak faham, tapi sepertinya
percakapannya tidak baik karena nada bicara Pak Kades maupun Pak Yitno
berapi-api. Apakah mereka juga membicarakan tentang penjara bambu di laut itu.
“Kalau begitu kami nelayan akan
kehilangan pekerjaan, itu laut milik kami, milik kita semua, bukan milik
seorang saja,” aku mendengar Pak Yitno berucap semakin marah, perasaanku ikut
terhanyut, tidak baik jika di dunia ini tidak ada nelayan. Sepertinya laut
disana sedang benar-benar di penjara sehingga tidak boleh ada nelayan lagi yang
datang untuk mencari ikan.
Ini tidak bisa dibiarkan, aku harus
membebaskan laut dari penjara bambu itu. Lagipula menurutku laut tidak pernah
punya salah, laut itu berjasa, untukku, untuk Bapak, untuk nelayan, untuk kita
semua. Aku harus berpikir bagaimana cara membebaskan laut. Mungkin dengan
mencabut saja penjara bambu itu? Tapi sepertinya itu susah untuk ku lakukan
sendiri. “Saya dan para nelayan
tidak akan diam saja Pak Kades, kami melawan, kami akan terus melawan sampai
bambu-bambu itu dicabut dan laut kembali seperti semula,” aku sedikit terlonjak
sebab terdengar suara bantingan pintu keras setelah suara Pak Yitno yang penuh
kemarahan itu bergema.
Sepertinya Pak Yitno juga berusaha
agar laut tidak di penjara, aku harus bergabung dengan Pak Yitno membebaskan
laut. Apapun akan aku lakukan, meski aku hanya bocah 10 tahun tapi aku juga
harus berjuang untuk lautku, laut kita semua para nelayan dan warga.
Betul-betul tidak bisa dibiarkan jika seseorang memenjarakan laut meski laut
tidak bersalah, juga membuat Bapak dan nelayan lain kesusahan berlayar mencari
ikan. Jika tidak ada laut, maka tidak ada ikan, tidak ada pula nelayan, dan
jika tidak ada nelayan aku tidak punya impian lagi di masa depan.