Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Sekar Nurshabrina Azkadewi | Gema Perlawanan Sang Pahlawan

Cerpen Sekar Nurshabrina Azkadewi 



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Aku terbangun pagi pagi sekali karna suara bising di luar.  Aku mendekat menuju inti kebisingan. Mataku menyipit, apa itu?, kayu kayu berjejer membentuk pagar, beberapa tetanggaku menaiki sampan untuk melihat lebih dekat.  Aku berbalik, memilih tidak peduli.  Ah, menjijikkan sekali ini. Aku menginjak sebuah permen karet yang sudah kotor. Aku tersungkur,  sakit sekali rasanya. Mataku mendelik ke arah pria yang menabrakku barusan. Aku berdiri, mengejar pria itu. Sial, aku tertinggal jejaknya. Huh, sudahlah, aku akan pulang saja. Tapi, siapa itu? Apa itu pria yang menabrakku?. Aku mendekat, ingin sekali aku menghajar pria itu. 


Pria jangkung itu mengangkat tangannya. Aku berhenti. Apa maksudnya?. Ia tersenyum. Sialan, pria itu seram sekali. Pakaiannya yang hitam hitam mendukung auranya. Niatku berubah, aku tak ingin berurusan dengan orang sepertinya. Tubuhku berbalik, hendak pergi meninggalkannya.  


“Berhenti!” suaranya yang berat semakin membuatku merinding. Tapi, tubuhku menuruti perintahnya. Tubuhku bergetar hebat saat derap langkah pria itu mendekat. Ia menyodorkan sebuah kertas, aku menerimanya ragu ragu. Mataku mengamati kertas yang di berikan pria itu cukup lama, kertas ini tampak familiar bagiku. Pandanganku terangkat. Tunggu, kemana pria tadi?. Cepat sekali orang itu menghilang. Seketika udara terasa lebih dingin di sekitarku. Baiklah, aku ingin pulang sekarang. Terlalu banyak kejadian aneh pagi ini. 


***


Aku memandang lama kertas yang tampak robek di beberapa sisinya. Belum pernah aku membuka kertas itu semenjak aku menerimanya beberapa minggu yang lalu. Keluh kesah tetanggaku juga semakin bising membicarakan kayu kayu berbentuk pagar yang membatasi pergerakan nelayan. Entahlah, aku selalu merasa was was jika membukanya. Tapi, entah kenapa rasa penasaran itu melebihi rasa was wasku. Aku mengambil kertas itu dan membuka lipatannya.  


 “Hubungi nomor ini jika kau ingin uang. +62 812 2965 9944“  


Astaga, bagaimana bisa Aku menunda kedatangan uang yang aku nantikan? Baiklah, aku tak akan menundanya lagi. Aku berlari keluar kamar, menemukan anak sulungku yang sedang asyik bermain cacing di ponsel tua milikku. Aku mengambilnya tanpa aba aba membuat anak itu merengek minta dikembalikan. Aku tak peduli. Menurutku uang adalah yang terpenting. Aku mulai menelepon nomor itu. Terlalu bersemangat rasanya sampai aku merasa lama sekali telepon itu tersambung.  


 “Halo!” 


 “Ya, halo. Saya mendapatkan kabar jika menghubungi nomor ini saya bisa dapat uang” 


 “Buatlah kayu kayu yang akan dibuat membatasi daerah perairan dekat rumahmu. Jangan sampai ketahuan dan kau akan mendapat uang itu. 100 rb per hari.”  


Telepon dimatikan saat itu juga. Apakah ini nyata? Aku akan dapat uang? Baiklah, jika hanya itu yang harus di lakukan aku akan memulainya malam ini juga. 


***


Angin bertiup kencang dan gelombang mulai besar. Aku berdiri tegak memandang lautan yang tampak sunyi. Biasanya banyak nelayan yang memancing di sekitaran sini. Tapi sepertinya para nelayan itu terlalu pengecut untuk melawan laut pasang. Baiklah, aku akan memulai pekerjaanku. Aku mengambil rangkaian kayu yang kubuat dan memasangnya di dasar laut yang tak begitu dalam bagiku. Satu persatu, kayu itu terpasang, membentuk pagar. Sama persis dengan pagar laut yang kulihat sejak beberapa minggu yang lalu dengan para tetangga. Malam semakin larut semua kayu sudah ku pasang dengan sempurna. Aku akan pulang sekarang juga. 


***


Akhir akhir ini aku semakin sering mendengar para tetangga membicarakan pagar kayu yang ada di laut. Dan aku semakin sering mendengar pertanyaan pertanyaan anak-istriku tentang pekerjaanku selain nelayan. Aku tak pernah menggubrisnya. Untuk apa? Mereka hanya akan menghabiskan uang yang aku dapatkan hasil pekerjaanku. Aku tak akan membagikannya dengan siapa pun termasuk anak-istriku. Orang misterius itu juga tak pernah muncul kembali. Tapi setiap aku kembali memasang kayu kayu itu, uang selalu saja mengalir.  


Akhir akhir ini juga muncul sosok bapak bapak tua yang berusaha melaporkan pagar laut ke dinas kelautan. Dan mem viralkan kejadian ini kemana mana. Membuatku resah. Bagaimana jika ketahuan?. Astaga, dasar pria tua tidak tahu malu. 


“Bapak, ada telepon”  


Anak sulungku datang menghampiri. Membawa ponsel tuaku yang sedang berdering. Aku mengambil ponsel itu dan mengangkat telepon.   


“Buat kholid menutup mulutnya dan kau akan dapat lebih banyak uang.” 


Belum sempat aku menjawab, telepon sudah lebih dulu ditutup. Nomor ini, nomor yang berbeda dari nomor sebelumnya. Aku sempat berpikir bagaimana cara aku membuat pria tua itu tutup mulut? tapi anak sulungku tampak tak sabar ingin memainkan ponsel tuaku ini. Lantas, aku memberikannya dan mengusir anak itu keluar kamar. Baiklah, aku akan mengancamnya lewat telepon saja.  


Langit sudah gelap, aku akan kembali melakukan rutinitasku seperti biasa. Aku keluar rumah tepat saat adzan isya selesai berkumandang.  


 “Bapak, mau kemana? Sholat dulu yuk Pak!” istriku yang sudah tua itu datang tergopoh gopoh dengan memakai mukena putih yang tampak usang dan di tambal sana sini.   


 “Mau pergi melaut lah Buk, tak usah keluar seperti itu, saya malu.”  


Wanita itu tampak menunduk malu mendengar ucapanku barusan. Tapi aku memilih tidak peduli. Aku bergegas membawa kayu kayu yang sudah kurakit untuk di taruh ke dalam perahu.  langkahku terhenti saat tubuh gempal istriku memelukku dari belakang. 


“Bapak hati hati ya, ibuk dan anak anak nunggu di rumah.”  


Aku mendorong tubuhnya ke belakang. Bau tubuhnya yang bercampur dengan bawang dan terasi sangat mengganggu penciumanku. Aku hanya mengangguk dan berlalu pergi. Rasanya muak sekali melihat istriku yang tampak kumal itu. 


***


Berhari hari aku mencari nomor telepon milik kholid si pria tua itu. Tapi tampaknya aku mendapat info lebih banyak dari yang aku kira. Saat minggu pagi, aku sempat mendatangi rumahnya yang berada tak terlalu jauh dari rumahku. Hari ini aku akan memulai aksiku. 


 “Halo, dengan siapa?” 


“Tak perlu kenal. Saya cuman mau bilang, anda jangan lagi ngomong macam macam urusan pagar laut. Saya ingatkan agar anda tak terkena bahaya, kasihan anak istri Anda.” 


“Apa maksud-” 


Aku terlanjur mematikan telepon sebelum mendengar jawaban dari pria tua itu. Setidaknya aku sedikit lega karna telah menjalankan tugas yang ‘orang’ itu perintahkan. Aku pergi keluar kamar, tenggorokanku rasanya begitu kering. Aku menggeser tubuh istriku agar menyingkir. Tunggu, sejak kapan wanita itu ada disini?. Aku menatap wajahnya yang gelap dan berminyak itu. Matanya tampak berkaca kaca, entah karna sedih atau marah. Aku belum sempat memikirkan apakah ia mendengar percakapanku barusan, tapi wanita itu sudah menamparku duluan.  


 “Jadi selama ini Bapak yang telah membuat orang orang sengsara?” 


 “Tidak Bu. Ibu salah paham.”  


 “Salah paham apa Pak? Jelas jelas bapak yang mengancam Pak kholid agar tidak melapor. Itu maksudnya apa Pak?”  


Aku bergeming. Wanita itu telah mendengar semuanya. Aku berseru panik saat istriku keluar hendak memberitahu semua orang. Itu tak akan kubiarkan. Aku menarik tubuhnya yang gempal dan memasukkannya ke dalam kamar. Wanita itu memberontak. Aku mengambil vas kaca dan kulemparkan ke kepalanya. Aku mendorong tubuh wanita itu yang mulai limbung. Kuambil batang kayu yang berada di tangannya dan kutusukkan ke perutnya. Darah mengalir deras. Nafasku berhembus tak beraturan. Mataku membelalak, aku lempar batang kayu itu. Tidak, tidak mungkin aku membunuh istriku sendiri. Kulihat lagi batang kayu yang kulempar. Pisau. Aku menutup mulutku tak percaya. Apa aku menusuknya dengan pisau?. Tidak!. Aku terlalu ketakutan, para tetangga yang mendengar keributan di rumah kami akan datang sebentar lagi. Ini tak bisa dibiarkan!. Aku mengambil pisau itu dan menusuknya ke jantungku sendiri.