Cerpen Selvia Wyona Nasalita br Tarigan
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
25 Februari 2015—Karang Arutala, dan Laut Ganeswara. Sudah bertahun-tahun semejak kakak beradik itu ditinggal oleh orangtuanya akibat tenggelamnya kapal yang dinaiki oleh kedua orang tuanya saat ingin pulang dari pulau Jawa sana.
Tahun 2011 silam, tepatnya ditanggal 12 Januari 2011 Mentari Kartala dan suaminya, Raden Pramoedya menaiki kapal yang bertujuan ke pulau Jawa, tepatnya Jawa Tengah—Semarang untuk urusan bisnis keluarganya yakni bisnis perikanan yang sudah berjalan selama bertahun-tahun. Mentari dan Raden menitipkan kedua anaknya kepada bibi mereka.
Semejak kepergian Mentari dan Raden, Karang dan Laut diurus oleh bibinya yang mereka sebut, Bibi Rosi. Karang dan Laut sering bermain-main di depan rumahnya dan rumah bibinya yang berdomisili dekat pantai, alias di pesisir pantai. Karang sangat menyukai kerang-kerang cantik yang sering kali ia jumpai di pasir pantai, kadang, abangnya dengan senang hati mencari kerang-kerang cantik itu untuk dikoleksi adiknya.
“Abang! Bantu Karang cari kerang!” Karang kecil berkata dengan mata yang berbinar dan senyum yang lebar. Senyuman tipis Laut terlukis diwajah tampannya.
“Bi! Kami pergi mencari kerang dulu ya!” Seru Laut melihat ke pintu rumah Bibi Rosi yang memperlihatkan figur yang tengah menggunakan celmek memasak.
“Hati-hati ya, Laut. Jangan berkeliaran terlalu jauh! Jaga adikmu ya,” Ucap Bibi Rosi dengan senyum hangatnya. Karang menyengir dan segera mengambil plastik random di sekitar rumah bibinya. Laut meraih tangan kecil Karang yang masih berumur 5 tahun itu, yang amat ia bangga-banggakan dan sayangi. Apapun akan dilakukannya untuk adik manisnya itu.
“Kita ke situ, ya dik. Katanya, di sana banyak kerang cantik,” Ucap Laut tersenyum dengan girang, dibalas tawa dan anggukan dari Karang kecil.
Tak terasa, sudah berminggu-minggu berlalu setelah perginya Mentari dan Raden ke pulau Jawa Tengah, Bibi Rosi mulai kebingungan. Tak ada kabar dari Mentari dan Raden tentang kepulangan mereka dari pulau Jawa Tengah.
Lalu... Terdengar seseorang mengetuk pintu rumahnya. Bibi Rosi membuka pintunya.
“Selamat sore, Kang. Ada apa sore-sore?” Tanya Bibi Rosi kepada salah satu nelayan yang sedari tadi bekerja, berdiri di depannya terlihat sedih dan lesu. Kang Herman memberi secarik surat kepada Bibi Rosi.
“Surat berita, Neng. Sedih saya bacanya... Maaf ya,” Ucap Kang Herman dengan suara paraunya. Bibi Rosi membuka surat itu dan membacanya dalam hati. Alangkah terkejutnya ia menerima kabar ini... Surat itu berisikan;
Tenggelamnya kapal ekonomi AIR448
—Jumat, 28 Januari 2011— Telah dikabarkan dan dipastikan, sudah tenggelam lah kapal ekonomi yang bertujuan dari Jawa Tengah ke Banten. Di kabarkan, terdapat 1.000 lebih korban, 310 orang selamat sedangkan selebihnya masih dicari keberadaannya. Kapal ini tenggelam usai seseorang mengotak-atik mesin di ruang navigasi kapal. Sampai sekarang, belum ada pihak berwajib yang dipercaya menyatakan pelaku sudah ditangkap.
Untuk informasi lebih lanjut, hubungi rumah sakit Harnyawa karena semua pasien telah dirawat sebaik-baiknya di sana.
“Ya Gusti... Jadi gimana ini, Kang? Memang sudah ada kepastian kalau mbak Mentari dan mas Raden meninggal?” Tanya Bibi Rosi dengan suara yang mulai lesu. Bibi Rosi sungguh tidak bisa menerima berita ini. Tapi, apa boleh buat? Boleh jadi Mentari, dan Raden masih hidup—tetapi tak menutup kemungkinan bahwa mereka bisa saja kritis, atau bahkan meninggal.
Kang Herman dengan perlahan mengucap; “Saya tadi mengecek rumah sakit Harnyawa, kebetulan saya ada kerabat, korban juga... Tak sengaja saya melihat mbak Mentari dan mas Raden sudah ada di situ... Saya tanya ke dokter nya katanya dia ‘pasien sudah tidak ada, paru-parunya sudah penuh oleh air... Dan pasien juga kekurangan darah akibat benturan yang dialaminya saat jatuh ke dasar laut’ kalau bisa mah neng, saran saya kunjungin aja dulu rumah sakitnya... Ketimbang tidak dikunjungi,” Jelas Kang Herman.
“Yasudah, Kang... Saya titip 2 bocah ini dulu ya...” Ucap Bibi Rosi dengan suara yang tidak nyaman, kesedihan mulai menyelimuti dirinya saat Kang Herman menjelaskan.
“Tidak usah, Neng... Bawa saja, kasian juga kalau mereka tidak bisa lihat orang tuanya terakhir kali” Ucap Kang Herman.
Kebetulan sekali, Laut terbangun dari tidur siangnya dan menghampiri Bibi Rosi serta Kang Herman.
“Sore, bi. Sore, kang.” Laut menyapa, ia tersenyum. Bibi Rosi mengalihkan pandangannya kearah Laut.
“Laut... Adik mu ndi? Ajak ke sini nak, bangunin... Ada yang mau bibi sampaikan,” Bibi Rosi berucap dengan nada suara yang lembut, bagai kain sutra menyentuh hati. Laut mengangguk mengerti, ia segera membangunkan Karang.
Laut tak membutuhkan waktu lama untuk membangunkan Karang, Duduklah mereka di ruang tamu, Laut duduk di samping Karang sembari merangkulnya yang masih setengah sadar. Bibi Rosi kemudian berucap.
“Nak... Bibi tahu ini berat, ya? Tetapi, ibunda dan ayah kalian telah tiada... Mereka tidak akan balik lagi, nak. Mereka udah di sana, selamanya” Bibi Rosi menjelaskan. Laut terdiam, ia dapat merasakan dadanya sesak akibat informasi yang baru saja dicerna nya. Laut merangkul Karang lebih erat.
Matanya terasa perih dan panas, mendapatinya basah dengan air mata pilu. Penglihatannya buram, bayangan kedua orang tuanya menari-nari di dalam pengelihatan nya yang buram itu. Kemudian, Karang melihat ke arah Laut, ia memiringkan kepalanya—bak anak kecil yang tak tahu apa-apa. Laut memeluk Karang erat.
“Kenapa, bang? Kok... Kok abang nangis?” Tanya Karang kecil dengan polos. Karang memanyunkan bibirnya sedikit.
“Adek, kalau bunda sama ayah ga balik lagi, gapapa ya?” Ucap Laut, tersenyum tipis sembari mengelus kepala adiknya yang manis itu.
“Kenapa tidak balik lagi, abang?” Tanya Karang dengan nada suara yang mulai memelan dan ragu. Laut menarik nafasnya, dan mulai berbicara lagi;
“Mereka sudah bersatu dengan alam. Mereka sudah bersatu dengan sagara—lelautan, dik. Di mana kita sering melayarkan lakara kertas bersama-sama.” Jelas Laut, ia tersenyum. Manyun Karang tak dapat ditahannya lagi, disaat ia menyadarinya, Karang memeluk Laut. Meraih bajunya dan menggenggamnya di tangannya yang mungil.
“Abang...” Ucap Karang tak berdaya, suaranya seketika berubah parau. Laut masih tersenyum, menjaga adiknya lepas ke ruangan yang gelap dan kelam, di mana ia tak bisa mendapatkan kasih sayang lagi—di mana ia larut dalam kesedihan yang mendalam.
Mentari mulai terbenam di kaki cakrawala, menimpa wajah mereka yang dialiri air mata kesedihan. Ketika wajah mereka terasa hangat, rambut yang terkibas akibat semburat angin—Laut berkata;
“Namun, walau demikian—jangan khawatir ya, adik? Abang selalu di sini, akan selalu di sini menemani adik sampai nafas yang terakhir kali kamu hembuskan. Baik di sini, atau di tempat itu kelak—abang masih akan sama.”
—2 November 2020— Tak terasa, sudah beberapa tahun lamanya setelah insiden itu. Karang dan Laut sudah bertumbuh besar, dibesarkan oleh Laut dan Bibi Rosi. Seperti yang bisa ditebak Bibi Rosi, Laut akan melanjutkan bisnis kedua orang tuanya yang telah lama terlantarkan. Kini, Karang berumur 10 tahun sedangkan Laut berumur 19 tahun.
3 hari lagi Karang berulang tahun. 5 November 2020 ia akan genap berumur 11 tahun. Di situ juga Laut akan berlayar untuk memantau perkembangan bisnisnya. Saat Laut sedang menyimpan baju-baju yang akan dibawanya, ia mendapati Karang menghampirinya;
“Sore, bang. Besok mau berangkat ya bang? Abang, aku boleh nitip?” Tanya Karang sembari ia duduk di pinggir kasur Laut. Laut tersenyum, ia mengangguk menyetujui.
“Abang, Karang boleh minta kerang cantik sebagai hadiah ulang tahun tidak?” Ucap Karang dengan nada sugesti, Laut tertawa kecil. “Boleh, adik. Boleh... Tapi selama abang diluar kota, jangan nakal sama Bibi ya? Abang ga lama kok” Ucap Laut sembari mengelus kepala Karang. Karang berlari keluar menemui Bibinya, yang langsung disahut oleh Bibi Rosi.
Laut tersenyum, namun, ia menghela nafasnya. Tetapi apapun yang akan terjadi, Laut akan kembali, tak secara fisik pun—ia pasti akan kembali.
Esok harinya, Laut diantarlah oleh Bibi Rosi dan Karang ke pelabuhan. Karang melambai-lambaikan tangannya dengan senyum yang amat lebar. Laut tersenyum, entah kenapa—senyuman yang diberikan Karang itu terasa perih di dadanya—seperti garam yang ditaburi di luka sayat yang telah terbentuk. Figur lelaki itu kemudian perlahan menjauh, dan menjauh—tak terlihat lagi oleh Bibi Rosi dan Karang.
Karang Arutala, adik kesayangan Laut Ganeswara.
Adik, abang tidak pernah bisa memprediksi apa yang akan terjadi kepada abang. Tetapi, surat ini abang tulis malam sebelum abang pergi dan abang titipkan pada petugas untuk mengirimkannya untukmu pada tanggal 5 November 2020. Selamat ulang tahun, adik. Jika kelak surat inilah yang datang ke tanganmu, maafkan aku jika tidak bisa mendatangimu secara fisik, Karang. Abang tahu kamu hebat, abang tahu kamu kuat. Ikhlaskan lah yang sudah terjadi—jika kelak kapal ini akan tenggelam, sama seperti apa yang dialami orang tua kita dahulu—ikhlaskan. Berat ya, adik? Tapi, abang tahu kamu hebat. Kamu yang terhebat. Teruslah mencari kerang-kerang cantik itu adik, cari abang di salah satu bintang di langit karena abang selalu ada di situ memandangi adik tumbuh. Seperti yang kukatakan adik, maupun di sana dan di atas kelak—abang pasti akan sama. Selalu sama. Cari panggilanmu adik, maaf atas perjalanan yang tidak sempurna.
Karang tersenyum, kini, dipelabuhan tempatnya meninggalkan Laut sudah dibangunlah pagar laut. Kawasan ini sudah tak dipakai lagi—biasanya hanya untuk memancing. Tetapi pagar laut ini membatasi itu—itu menjengkelkan dan menyedihkan bagi Karang. Hari ini, sudah 21 lah umurnya dan membaca ulang tuliskan oleh Laut Ganeswara. Karang tersenyum bebas sembari melihat ke langit, mentari yang dengan halus menimpa wajahnya.
“Abang, Karang sudah ikhlas. Karang kuat, ya abang?” Ucap Karang, dibalas semburat angin yang menimpa wajahnya. Karang telah menerima apa yang diberi oleh semesta dan akan dipeluknya erat-erat sembari diarahkan oleh sang pencipta, dan abang tersayangnya—Laut Ganeswara.