Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Sendy Dinova | Gelombang di Batas Laut

Cerpen Sendy Dinova



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Malam itu, suara debur ombak terdengar menggema di pesisir Kampung Laut, sebuah desa nelayan kecil di pesisir Tangerang. Awan kelabu menggantung di langit, seolah menanti badai yang akan datang. Tenda-tenda darurat berdiri di sepanjang pantai, tempat para nelayan yang kehilangan mata pencaharian berkumpul, menunggu keajaiban yang tak kunjung tiba.


Di sebuah pondok reyot yang diterangi lentera tua, Pak Jamil, pemimpin desa, duduk berseberangan dengan Ardi, seorang nelayan muda yang penuh semangat dan idealisme. Mereka berbincang dalam suasana yang sarat kekhawatiran.


"Pak Jamil," ujar Ardi, matanya menyiratkan tekad, "kita tidak bisa terus begini. Sudah berbulan-bulan kita terhalang oleh pagar laut itu. Ikan semakin sulit ditangkap, dan banyak dari kami yang terpaksa menjual perahu untuk bertahan hidup. Apa yang bisa kita lakukan?"


Pak Jamil menarik napas panjang. Usianya yang senja tidak mengurangi pancaran kebijaksanaan dari raut wajahnya. "Saya mengerti, Ardi. Tapi kita menghadapi kekuatan besar. Pagar itu dibangun oleh pihak yang punya kuasa dan uang. Jika kita gegabah, bisa-bisa malah kita yang dituding mengganggu ketertiban."


Ardi mengepalkan tangan. "Tapi mereka tidak punya izin! Kita tahu pagar itu ilegal!


Apa mereka pikir kita hanya sekadar penduduk yang tak punya suara?"


Keesokan harinya, suasana di dermaga semakin panas. Nelayan-nelayan lain berkumpul di sekitar papan pengumuman desa, membaca berita terbaru yang dipasang oleh seorang wartawan lokal bernama Mira. Artikel itu berjudul: “Pagar Laut: Simbol Penindasan atau Upaya Konservasi?”


"Mira!" seru Ardi ketika melihat wartawan muda itu berdiri di dekat papan pengumuman. "Kamu harus bantu kami menyuarakan ini lebih luas. Kita butuh perhatian publik."


Mira menatap Ardi dengan mata tajam. "Aku sudah mencoba. Tapi berita seperti ini sering tenggelam oleh berita-berita besar. Kita butuh sesuatu yang lebih dramatis agar orang mendengar."


Pak Jamil tiba-tiba muncul dari balik kerumunan. "Ardi, Mira, saya tahu sesuatu yang mungkin bisa membantu. Tapi ini berisiko besar." Ardi dan Mira saling pandang, penasaran dengan maksud Pak Jamil.


"Ada bagian dari pagar itu yang rusak akibat badai beberapa hari lalu. Kita bisa mengajak pihak berwenang datang dan melihat sendiri kerusakan serta dampaknya pada ekosistem laut," jelas Pak Jamil.

 

"Tapi bagaimana jika mereka justru menuduh kita yang merusaknya?" tanya Mira. "Itulah risiko yang harus kita ambil. Tapi jika kita tidak bergerak sekarang, laut ini akan menjadi milik mereka sepenuhnya," jawab Pak Jamil tegas.


Malam itu, Ardi dan beberapa nelayan lain berlayar menuju pagar laut yang membatasi mereka dari wilayah penangkapan ikan terbaik. Bambu-bambu panjang yang menancap di dasar laut tampak seperti barisan tombak yang siap menusuk siapa pun yang mendekat.


"Lihat itu!" seru Ardi sambil menunjuk ke arah sebuah celah besar di pagar.


Nelayan lain mengangguk. "Ardi, kita harus mengambil foto ini. Bawa bukti ini ke Mira besok pagi," ujar seorang nelayan tua bernama Pak Rahman.


Namun tiba-tiba, suara motor perahu terdengar dari kejauhan. Lampu sorot menembus gelap malam, menyapu perairan seperti mata elang yang mencari mangsanya.


"Mereka datang!" bisik Ardi. "Cepat, kita harus pergi sekarang!"


Mereka mengayuh perahu sekuat tenaga, berlomba dengan suara mesin yang semakin mendekat. Setelah beberapa menit yang terasa seperti seabad, mereka berhasil sampai ke dermaga dan segera membawa bukti tersebut ke Mira.


Keesokan harinya, Mira membawa bukti foto ke kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan. Dia bertemu dengan seorang pejabat bernama Bu Dian, yang dikenal sebagai pendukung konservasi laut.


"Bu Dian, pagar laut ini bukan hanya ilegal, tapi juga merusak ekosistem dan menghancurkan kehidupan para nelayan. Kami mohon Anda turun langsung ke lapangan," pinta Mira.


Bu Dian memeriksa foto-foto itu dengan saksama. "Saya sudah mendengar desas-desus ini, tapi tidak ada bukti kuat sampai sekarang. Saya akan mengatur inspeksi segera."


Beberapa hari kemudian, tim inspeksi tiba di Kampung Laut. Para nelayan berkumpul di pantai, menunggu dengan tegang. Saat tim mencapai pagar laut, mereka menemukan kerusakan besar dan berbagai jenis sampah yang terperangkap di antara bambu-bambu pagar. "Ini bukti yang tidak bisa disangkal," ujar Bu Dian kepada timnya. "Segera cabut pagar ini dan siapkan laporan resmi ke Kementerian."


Namun, kemenangan ini tidak datang tanpa perlawanan. Beberapa orang yang diduga sebagai pemilik pagar laut muncul dan berusaha menghentikan tim inspeksi.


"Kalian tidak punya hak untuk mencabut pagar ini!" teriak seorang pria berpakaian rapi, yang belakangan diketahui bernama Pak Surya, seorang pengusaha besar.


"Pagar ini dibangun tanpa izin. Kalian melanggar hukum dan merusak ekosistem laut.


Kami bertindak atas dasar undang-undang," jawab Bu Dian tegas.

 

Pak Surya tertawa sinis. "Kita lihat saja di pengadilan nanti. Uang bisa membeli banyak hal, termasuk keadilan."


Ardi yang berada di belakang kerumunan maju dengan penuh amarah. "Tidak ada uang yang bisa membeli suara hati rakyat! Kami akan terus berjuang meski harus menghadapi segala ancaman!"


Beberapa bulan kemudian, berita tentang pencabutan pagar laut tersebar luas. Kasus ini menjadi simbol perjuangan masyarakat pesisir melawan ketidakadilan. Kampung Laut perlahan bangkit kembali. Nelayan mulai bisa melaut dengan bebas, dan kehidupan desa kembali cerah.


Namun tantangan belum berakhir. Pak Surya menggunakan pengaruh dan uangnya untuk membawa kasus ini ke pengadilan, mencoba membalikkan keputusan yang sudah dibuat. Di ruang sidang, suasana tegang menyelimuti. Mira, Ardi, dan Pak Jamil duduk di barisan depan, menyaksikan setiap argumen yang diajukan oleh pengacara Pak Surya. Tetapi, pengadilan kali ini berbeda. Dukungan masyarakat luas dan perhatian media membuat kasus ini sulit untuk disembunyikan atau dimanipulasi.


Ketika hakim memutuskan untuk menolak tuntutan Pak Surya, suasana meledak dalam sorak-sorai. Ardi memeluk Pak Jamil dengan penuh rasa syukur.


"Ini adalah kemenangan kita semua," bisik Ardi dengan mata berkaca-kaca.


Di dermaga, Ardi berdiri sambil memandang laut lepas yang kini bebas dari penghalang. Mira berdiri di sampingnya, mencatat cerita ini untuk tulisan berikutnya.


"Kita berhasil, Ardi. Tapi perjuangan belum selesai. Masih banyak kampung lain yang menghadapi masalah serupa," kata Mira.


Ardi tersenyum. "Selama kita bersatu, kita akan selalu punya harapan. Laut ini adalah milik kita semua, bukan milik segelintir orang yang serakah."


Pak Jamil bergabung dengan mereka, menepuk bahu Ardi dengan bangga. "Kita telah menunjukkan bahwa suara rakyat tidak bisa dibungkam. Dan ingatlah, gelombang terbesar datang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membersihkan segalanya."


Debur ombak malam itu seolah menyanyikan lagu kemenangan. Dan di bawah sinar bulan, Kampung Laut memulai babak baru yang penuh harapan.


Enam bulan kemudian, Pak Surya yang penuh dendam mencoba cara licik lainnya. Dia menyebarkan isu bahwa kampung itu terkontaminasi limbah berbahaya. Namun Ardi dan Mira sudah siap. Dengan bukti baru, mereka berhasil mengungkap kejahatan Pak Surya yang sebelumnya menyelundupkan limbah beracun ke laut.

 

Pak Surya akhirnya ditangkap, dan Kampung Laut dinyatakan sebagai zona konservasi laut yang dilindungi.


Di pantai yang sama, Ardi, Mira, dan Pak Jamil berdiri bersama, menyaksikan laut yang kini bersih dan indah.


"Kita telah menang, tidak hanya untuk kita sendiri, tetapi juga untuk masa depan anak- anak kita," kata Pak Jamil sambil tersenyum bangga.


Mira menatap Ardi. "Gelombang mungkin datang silih berganti, tetapi selamanya laut ini akan menjadi milik mereka yang berani memperjuangkannya."