Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Shakila Althafunnisa | Pagar Laut Adalah Seni

Cerpen Shakila Althafunnisa



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  |


Suatu pagi di pesisir laut, angin laut berhembus pelan, seperti melodi yang sengaja dibuat agar tak terdengar. Seorang pemusik, yang hidupnya lebih banyak berurusan dengan nada dan harmoni, berjalan di tepi pantai tak tau arah. Kaki nya berhenti ketika Ia menginjak sesuatu, dan sesuatu itu adalah kertas. Kertas itu tergeletak begitu saja di atas pasir, tak terlihat penting. Kertas biasa, dengan tulisan yang tak biasa. "Pagar laut itu harus dihentikan, Berbagai dampak negatif untuk para nelayan yang mencari ikan, SUARAKAN OMBAK YANG TERKUNCI OLEH PAGAR LAUT !" begitu bunyi kalimatnya. Sebuah permintaan sederhana yang pasti tak akan pernah sampai ke telinga yang tepat. Tapi siapa yang peduli? Toh, dunia ini penuh dengan suara yang lebih keras dan lebih penting: suara kekuasaan, suara uang, suara yang memintaan memilih dengan dilapisi janji manis kepada rakyat.


Pemusik itu berhenti sejenak, membaca tulisan itu dengan penuh perhatian, seolah kertas itu mengundang untuk berbicara lebih dalam. "Ah omong kosong," gumamnya sembari terkekeh melihat ke arah sesuatu yang dimaksud didalam tulisan ini. "Pagar laut yang menghalangi nelayan dari rumah mereka, pasti dibangun oleh 'seniman' yang sangat berbakat. Mungkin mereka menganggap itu adalah karya seni yang 'membingkai' laut, menjadikannya lebih eksklusif. Kenapa tidak? Atau mungkin mereka hanya ingin menciptakan melodi baru untuk Masyarakat di pinggir Pantai agar tidak terbangun akan suara suara ombak yang keras, maka mereka buatlah pagar ini agar bisa membantu mereka lebih damai? Pagar itu pasti lebih indah daripada melodi yang dimainkan oleh ribuan nelayan yang terus berjuang untuk makan. Dasar rakyat kecil, mahakarya se indah ini masih saja di permasalahkan."


Ia membuang napas panjang, mencibir pada absurditas dunia yang semakin jauh dari kenyataan. "Kita berbicara tentang pagar yang membatasi laut dengan ketelitian seniman abstrak, sementara mereka yang berada di laut tidak mengenal apa itu ketelitian seniman abstrak— karna yang pasti mereka tau hanya lah menangkap ikan sebanyak banyaknya hari ini dan esok. Pagar laut ini di buat dengan sentuhin partitur yang diberi oleh tuan yang baik hati di balik Gedung yang megah itu, Ia pasti sibuk sekali menciptakan simfoni politik yang hanya bisa didengar oleh mereka yang berkuasa. Pasti mereka sedang 'berinovasi' dengan kebijakan baru yang akan mengubah dunia, tentu saja, sesuai dengan ukuran laporan keuangan yang selalu kurang untuk porsi mereka yang sangat berjuang demi rakyat di ruang rapat."


Pemusik itu teringat akan tugasnya. Menulis sebuah surat kepada tuan yang sangat baik—  ya, mereka yang duduk dengan anggun di kursi empuk, memegang segudang angka. Ia mulai menulis dengan tangan yang mantap, seperti memainkan biola yang sudah terlalu sering digesek tanpa henti, berharap bisa menghasilkan harmoni meskipun jari-jarinya menjadi luka. Ia tahu betul bahwa apa yang akan ditulisnya hanyalah simfoni yang tak akan pernah terdengar. Tapi setidaknya, ada kepuasan kecil dalam mencoba.


"Untuk yang terhormat tuan yang sangat baik hati, saya berharap Anda membaca ini dengan penuh perhatian yang saya yakin sangat Anda miliki, karena saya percaya, Anda pasti mendengarkan semua suara kecil yang tertinggal di pinggiran dunia Anda. Tentunya Anda tahu betapa pentingnya pagar laut ini, dan bagaimana keberadaannya menyelamatkan hidup ribuan orang... yang bukan nelayan atau manusia biasa, tapi mungkin semacam spesies langka yang hanya bisa dilihat oleh para ahli kebijakan."


Ia menambahkan dengan sedikit pujian, "Saya yakin Anda sangat mengerti tentang karya seni anda yang berjudul pagar laut ini. Jangan hiraukan para nelayan yang tidak bisa apa-apa. Mereka hanya tahu menangkap ikan sehari-hari. Apa yang bisa mereka lakukan selain menikmati karya seni anda, oh tuan?"


Surat itu pun dikirim, meskipun ia tahu, balasan tidak akan pernah datang. Kertas itu, seperti karya seni lainnya, hanya akan tergeletak di ruang rapat yang penuh dengan anggukan kosong dan ketukan pena yang tidak berarti. Ia melangkah pergi, masuk ke dalam bilik kotornya dan mencari kesenangan di balik dunia abstrak tanpa aturannya, tenggelam dalam setiap melodi yang tidak pernah dipahami oleh siapapun kecuali dirinya sendiri. Berharap esok Ia tetap bangun di bilik kotor ini, bukan bilik dengan jeruji besi yang sangat amat gelap.


Hari-hari berlalu dengan sangat damai, pagi hari membuka jendela melihat bagaimana seni pagar laut ini disombongkan oleh sang alam bak inilah satu-satunya yang paling indah di dunia ini. Bagaimana dengan nelayan? Oh tuan, tenang saja. Mereka hanya warga bodoh yang sama sekali tidak paham dengan karya seni yang Anda buat ini. Mereka tak apa. 


Dihari yang cerah untuk kesekian kalinya, Pemusik itu duduk di sebuah bangku kayu sedikit rapuh di bawah pepohonan yang rindang, menatap laut yang sekarang terasa lebih sunyi. "Lihatlah," ia berkata kepada dirinya sendiri dengan penuh senyum kepasrahan. "Laut ini, yang dulu berirama, sekarang terperangkap dalam kerangka pagar yang indah. Mungkin mereka yang membuat pagar ini benar-benar berbakat karena mereka berhasil menutup mulut lautan sialan yang berisik ini dengan sangat elegan. Suara ombak yang dulu begitu riang kini hanya menjadi bisikan yang semakin jauh, tertelan kebisuan yang tercipta oleh mereka yang tak pernah mendengarkan." Ia tersenyum pahit. "Tapi siapa yang peduli? Tentu saja mereka yang duduk di kursi empuk itu, berdasi warna warni, berpakaian rapi serta membawa tas tas berisi laptop dan banyaknya berkas pemerintahan itu pasti untuk membincangkan hal yang lebih mengutamakan 'keamanan rakyat' daripada hak orang untuk hidup dengan cara mereka sendiri."


Dan di balik gedung tinggi itu, para tuan yang baik hati terus menggeser tuts-tuts politik mereka, menciptakan komposisi baru yang tak pernah dipahami oleh orang-orang yang tertinggal di dunia ini. Mereka berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang lebih senang menghabiskan waktu untuk tidur¬—Oh berdiskusi di ruang rapat daripada mendengarkan dunia yang sebenarnya.


Mungkin suatu saat nanti, kita akan menemukan cara untuk memberi aturan pada seni, karena selama ini seni tidak memiliki batasan yang mengikatnya, sehingga seni bisa menjadi medan pertempuran batin dan tempat yang penuh dengan kesengsaraan. Seni bebas, tanpa terkendali, dan dalam kebebasannya itulah ia sering menimbulkan penderitaan.


Oh, tuan, aku telah meninggalkan instrumen seni yang dulu sangat kupegang erat, dan kini kembali menjadi nelayan biasa yang begitu Anda perhatikan. Aku mencari ketenangan dalam peredam laut yang Anda buat, untuk menangkap ikan yang terantuk pagar laut, menghindari pertempuran jiwa yang dulu sia-sia.