Cerpen Silmi Kaffah Lampadjoa
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Di suatu pagi yang cukup cerah para nelayan kembali dari halaman laut yang terhampar di hadapan. Satu persatu perahu mereka mulai bersandar pada daratan yang menjorok ke lautan itu. Mereka bahu membahu mengumpulkan hasil laut yang diambilnya dari semalam sebelumnya untuk kemudian dibawa ke pasar dan dijual. Namun kali ini berbeda, senyum ramah yang biasanya ku dapatkan dari ayah jika aku telah menunggunya pulang dari melaut hanya menyisakan senyum getir yang terpatri.
"Ayah... sini ayah aku bantu mengangkatnya" teriakku dari kejauhan saat melihat perahunya mulai bersandar. Ayahku tersenyum kepadaku. Aku dengan sigap menunggu operan kotak ikan darinya. Kotak ikan itu kutaruh di dekat bale-bale warga. Namun, saat aku kembali ke perahu ayah ternyata dia sudah mengangkat kotak selanjutnya. Aku tetap mendekat ke perahunya untuk mengambil kotak selanjutnya tapi kenapa kotak ini sangat ringan diangkat yah. Padahal kotak sebelumnya saja aku harus dibantu oleh sepupuku. Tak lama ayah pun datang, untuk mengambil 2 kotak lagi di belakangku. Kami pun duduk di bale-bale tersebut sambil menunggu nelayan yang lain menurunkan ikan hasil tangkapannya. "Ayah, apakah cuaca laut sedang tidak baik sehingga ikan-ikan kabur dan berpindah tempat?" tanyaku padanya. "Tidak nak, cuaca semalam cukup baik. Hanya saja ayah hanya menunggu ikan di satu tempat saja tidak berpindah kemanapun" jawabnya. Aku mengerutkan keningku dan bertanya kembali padanya "Memangnya kalau ayah melaut itu berpindah tempat yah?". Ayah menjawab lagi "Iya biasanya ayah berpindah tempat untuk mencari ikan-ikan di wilayah lainnya. Dengan berpindah tempat tentunya kesempatan mendapatkan ikan yang lebih banyak tentunya semakin tinggi". "Terus kenapa ayah hanya menangkap ikan di satu tempat semalam? karena biasanya kotak-kotak ikan ayah akan terisi semuanya. Apa ayah sedang lelah?ayah tidak apa-apa kan?" kataku sambil menunjuk kotak-kotak ikan ayah di sampingku. "Ayah baik-baik saja nak. Hanya saja ayah tidak tau, kenapa wilayah laut yang biasa ayah datangi dibatasi dengan bambu-bambu seperti pagar yang sangat panjang. Padahal di daerah sana adalah daerah tempat para nelayan biasanya mencari ikan. Itulah mengapa kotak-kotak kita banyak yang tidak terisi dengan ikan" ucapnya.
Dari kejauhan aku melihat paman Anto dan sepupuku Riki juga telah merapikan kotak- kotak ikannya. Mereka pun berjalan menghampiri kami disertai salah satu paman lainnya yang kukenal sebagai teman ayahku. "Hei Herman apakah hasil tangkapanmu banyak semalam? Aku hanya mendapatkan 2 kotak ikan itu pun tidak penuh". Ayah menggelengkan kepalanya lantas menjawab "Aku tidak mendapatkan ikan yang banyak seperti biasanya karena pagar laut itu". Teman ayahku yang berdiri di sebelah paman ikut menjawab "Kau benar, aku juga tidak mendapatkan ikan yang banyak karena pagar-pagar itu. Aku sempat menelusurinya untuk mencari celah namun, ternyata pagar itu begitu panjang terhampar. Entah pekerjaan siapa yang seenaknya memagari laut itu" ucap paman itu dengan kesal. "Jika terus begini, pendapatan kita akan semakin menurun. Kasihan keluarga kita di rumah" lanjutnya. Setelah menjual ikan-ikan tersebut ke pasar. Kami pun kembali ke rumah.
Keesokan harinya sepulang sekolah aku menghampiri ayah yang sedang memperbaiki jaring ikannya di teras rumah. "Wa'alaikumussalam" ucapnya saat menyadari kedatanganku. Aku pun melepaskan sepatu dan bergegas masuk untuk melepaskan seragam sekolahku, "Ibu dimana yah?" tanyaku pada ayah. "Ibumu sedang pergi ke rumah tetangga di dekat dermaga, ayo sini duduk di dekat ayah" aku pun mendekat ke arahnya. "Ayah lihat sepatu sekolahmu sudah rusak yah nak?" tanyanya padaku. Aku mengangguk membenarkannya, memang sepatu itu sudah hampir dua tahun aku kenakan dan alas kakinya sudah mulai terlepas dengan warna yang mulai usang. "Ayah akan pergi melaut lagi malam ini?" ayahku tersenyum dan berkata ia akan pergi kembali melaut karena cuacanya cukup bagus dan berharap mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Hari berganti dan tidak terasa hari minggu datang kembali dengan cepat. Aku pun bersegera bangun dan bersiap ke pantai untuk membantu ayahku mengangkat ikan dan menjualnya ke pasar. Namun lagi-lagi saat aku membantunya. Hanya ada dua kotak yang berisi ikan diturunkan dari perahunya. Aku bertanya pada ayah, mengapa hasil tangkapannya berkurang. Awalnya kupikir ini karena cuaca yang kembali kurang mendukung tetapi katanya ada sebab yang lain yang membuat hasil tangkapannya berkurang selama beberapa hari. Saat sore hari, aku melihat ayah dan pamanku sedang berbicara di depan rumah. Tak lama kemudian ayahku masuk dan pamit untuk pergi bersama paman entah kemana. Merasa bosan, aku juga pamit pergi kepada ibuku untuk bermain ke rumah temanku. Saat keluar kulihat beberapa tetanggaku sedang berkumpul di depan rumah pak RW. Tak kusangka ada ayahku juga disana. Sepertinya memang ada masalah karena dari raut wajah mereka sepertinya sangat serius. Saat ingin menghampirinya ayahku melihat dan pamit dari tetanggaku yang lain. Ayahku bercerita bahwa ia bersama paman dan lainnya sedang berdiskusi dengan pak RW mengenai keberadaan pagar laut yang tempo hari ia katakan. Ternyata pagar laut itu membuat ayah dan para nelayan lainnya kesusahan untuk melaut karena letaknya yang menghalangi wilayah di dalamnya dan sangat panjang terbentang. Hal itu juga yang membuat hasil tangkapan ayahku dan nelayan lain berkurang. Ayah, pak RW dan beberapa orang lainnya bersepakat untuk keesokan harinya melapor terlebih dahulu ke kelurahan yang ada di daerah kami sebelum kembali melapor ke pihak kepolisian atas temuannya yang meresahkan tersebut.
Dua hari setelahnya hasil rundingan hal tersebut mulai membuahkan hasil. Aku melihat beberapa polisi datang ke rumah bersama paman untuk memanggil ayahku menuju ke pantai. Ternyata mereka ingin pergi untuk mengecek kembali keberadaan pagar laut tersebut. Aku pun bersama teman-temanku dan warga lainnya bersama menuju pantai untuk mengikutinya. Setelah beberapa lama menunggu, mereka telah kembali. Kami pun mendekat dan mendengar sedikit percakapan polisi itu dan ayahku. "Baik, kami akan segera memprosesnya. Kami juga sudah mendokumentasikan dan mencatat informasi yang telah bapak-bapak berikan mengenai pagar laut ini" ucapnya. Setelah itu kami pun pulang dan berharap bahwa pembongkaran pagar laut segera dilakukan. Saat aku di sekolah banyak teman-temanku yang juga ikut bercerita tentang masalah pagar laut ini. Bahkan saat guruku sedang menerangkan tentang batas-batas wilayah Indonesia dari ZEE beserta hukumnya, ia sempat menyinggung tentang pemberitaan pagar laut yang merugikan masyarakat. Disitu aku tersadar mungkin selama ini itu yang membuat hasil tangkapan ayahku berkurang dan tidak sama seperti sebelumnya.
Saat melihat pemberitaan ternyata hal ini sudah mulai meluas di masyarakat bahkan sampai masuk di televisi. Tapi, pagar laut tersebut ternyata belum juga dibongkar. Hal ini tentu meresahkan karena jika dibiarkan semakin lama maka pendapatan masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan akan terus berkurang termasuk ayahku sendiri. Aku juga melihat ayah yang sepertinya cukup sibuk karena harus bolak-balik menuju rumah pak RW untuk mendiskusikan hal ini. Banyak berita simpang siur kudengar bahwa pagar laut tersebut sebagai patokan penimbunan laut selanjutnya untuk proyek pembangunan dengan pemilik orang yang berkuasa dibelakangnya.
Namun, keesokan harinya akhirnya banyak polisi dan orang asing yang sepertinya sukarelawan datang untuk bersama warga membongkar pagar laut tersebut. Ternyata pembongkaran pagar laut ini sempat tertunda dikarenakan saat ayahku mencoba melaporkannya ke pihak kelurahan setempat, terdapat oknum yang menghalang-halangi prosesnya dan usut punya usut ternyata ia yang telah mengizinkan pembangunan pagar laut tersebut dengan bayaran yang cukup menggiurkan. Mereka juga ternyata punya koneksi dengan para petinggi lainnya untuk memuluskan rencana pembangunan tersebut. Tetapi karena pemberitaan yang semakin meluas memunculkan banyak dorongan protes massa yang mengecam dan meminta pembongkaran segera dilakukan.
Akhirnya setelah pembongkaran dilakukan, para nelayan bisa melaut kembali dengan tenang. Saat ayah pulang aku melihatnya menenteng sebuah kantong yang diberikan kepadaku. Setelah kubuka ternyata itu berisi sepatu baru untuk kukenakan ke sekolah. Dengan senyum merekah aku segera mencobanya di depan ayah. Aku senang ternyata ayah masih mengingat sepatuku yang rusak tersebut. Rasa terima kasih ku ucapkan kepadanya dan bersyukur bahwa masalah pagar laut tersebut telah terselesaikan. Bagi orang-orang yang tidak merasakan sulitnya menjadi seorang nelayan mungkin akan merasa biasa saja dengan kehadiran pagar laut tersebut. Namun bagiku anak seorang nelayan, disana aku dan keluarga menggantungkan diri dari pendapatan untuk hidup dan dapat bersekolah. Rasanya tidak adil jika hak kami tersebut dirampas padahal kekayaan alam Indonesia adalah hak milik seluruh rakyat bukan segolongan rakyat.