Monday, March 3, 2025

Cerpen Lomba | Siti Lela Sari | Sengkuni

Cerpen Siti Lela Sari




(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Di sana tempat lahir beta

Dibuai dibesarkan Bunda

Tempat berlindung di hari tua

Tempat akhir menutup mata


Benar bahwa aku ingin hidup dan mati di negeri tercinta ini, di tanah airku. Tuhan sudah memberkati negeriku dengan hasil dari tanah dan laut yang melimpah. Tengok di sawah, padi tumbuh subur di sana. Sayur-mayur, buah-buahan, bahkan batang kayu yang berbuah bisa jadi camilan sehat. Lari ke laut, ada ribuan ikan dengan nilai nutrisi tinggi di dalamnya. Berenang bebas tanpa perlu diberi makan. Terumbu karang juga ada, cantik mempesona menarik perhatian ikan-ikan kecil yang genit sekali bermain di sana. Membuat manusia yang mampu menyelaminya menyadari bahwa kasih sayang Tuhan Mahaluas, sampai ke dasar laut. 


Tanah airku yang indah dan kaya berlimpah. Kata Ibu, Tuhan memberikannya gratis tis-tis-tis. Tanpa perlu membayar pajak kepada NYA. Hanya perlu menjaga, menjauhkan tangan usil untuk mencarut-marutkan tanah airku. 


Aku sangat percaya kata Ibu, aku mengalami sendiri tentang indahnya tanah airku. Aku si anak pesisir diberkahi kemampuan berenang yang baik, bersama teman-teman aku sering menyelami laut. Kami tahu area mana saja yang punya terumbu karang cantik. Sangat cantik. Hampir sama cantiknya dengan senyum di wajah Ibu.


Tapi hari ini, dongeng Ibu terhenti. Aku seperti bangun dari indahnya dongeng saat mendengar rengekan adik perempuanku sambil menarik daster lusuh Ibu.


“Mau makan, Bu.”


“Tunggu Bapak pulang, ya, Nak,” bujuk Ibu. 


Aku anak pesisir berusia dua belas tahun. Terpaksa berusaha mengerti apa yang tengah terjadi di tanah airku. Aku tahu bahwa ada pagar laut yang membatasi gerak kapal nelayan setempat. Yang akhirnya menambah pengeluaran dan mengurangi pendapatan. Bapak dan teman-temannya sudah pernah protes, namun tak digubris.


Dari dinding rumah sederhana kami, aku bisa mendengar suara isak Ibu yang penuh cemas. Berkali-kali Bapak dan teman-temannya bersitegang dengan warga setempat yang konon ikut andil dalam pemagaran di laut.


“Mereka bilang mereka juga butuh uang. Sekarang ini, hasil laut makin sedikit, terpaksa mereka memenuhi keinginan penguasa itu buat bikin pagar laut. Dibayar mereka, cash. Lupa kalau besok-besok mereka benar-benar tidak akan bisa melaut lagi.” 


Dan besoknya kapal sederhana bapak rusak. Tak bisa digunakan untuk melaut. 


“Tidak ada yang berani membongkar pagar laut itu. Bahkan pihak desa bilang, kalau kita berani mencabut satu batang bambu saja, kita akan dipenjarakan.”


Dan yang makin sering aku lihat saat bermain di laut adalah orang-orang yang tak aku kenal. Badannya besar-besar. Wajahnya seperti wajah orang seberang. Membuat aku dan teman-teman kikuk bermain di laut sendiri.


 Desas-desus itu makin panas di telinga. Bukan hanya telinga orang dewasa, kami, anak-anak yang bermain dengan indahnya terumbu karang di laut pun ikut panas. Setiap tempat bermain di mana ada orang tua di sana, maka desas-desus itu terdengar oleh kami – anak-anak kecil.


“Laut kita mau diurug, ya?”


“Jadi perumahan elit katanya.”


“Wah, tambah kota, dong daerah kita.”


Dari semua yang aku dan teman-teman terka sendiri, rasanya,  jika isu kawasan elit nan canggih itu akan dibangun di atas laut, bukankah bagus? Memberi kesempatan pada warga sekitar untuk menikmati hebatnya teknologi di kawasan elit itu. 


Tapi pemikiran orang tua kami tak begitu. Mereka makin gencar melayangkan protes. Mengadu ke sana, mengadu ke sini. Siang-malam tanpa henti. Yang pada akhirnya membuat pagar laut terpaksa dibongkar. Bapak dan teman-temanya berseru bahagia. Kapalnya tak perlu bahan bakar tambahan untuk melaut, bisa digunakan untuk beli beras, katanya. 


Aku kira yang akan kecewa dengan pembongkaran pagar laut ini hanya kami, anak-anak kecil yang kelak ingin sekali merasakan hidup di kawasan elit dan modern itu. Nyatanya, ada orang dewasa lainnya yang tak suka dengan pembongkaran pagar laut. 


Di televisi yang Bapak tonton dengan khidmat terlihat berita soal siapa pemilik pagar laut sebenarnya, orang-orang berdebat, membela yang mereka anggap benar. Aku tak begitu mengerti. Mereka sepertinya hanya berteriak sesuai keinginan mereka. 


Pagar laut ini padahal berguna buat mencegah abrasi. Kenapa mesti merasa terganggu, sih.


Ekosistem di perairan pantai ini sudah kurang bagus karena pembangunan di sekitar.


Di lain saluran Tv, seorang menteri bilang kalau pagar laut sepanjang 30,16 km ini telah memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan. 


“Pak, memangnya laut boleh punya sertifikat seperti rumah?” tanyaku polos. Aku tahu kalau rumah ini punya sertifikat saat Bapak berniat menggadaikan rumah kecil kami untuk biaya keperluan melaut setelah beberapa bulan Bapak sakit tak bisa melaut. Beruntung, masih ada saudara yang peduli membantu, hingga Bapak urung menggadaikan sertifikat rumahnya. 


“Harusnya tidak boleh. Hanya boleh di wilayah pesisir pantai, tidak boleh untuk lahan di atas laut.”


“Tapi, Pak, bukannya pagar laut sudah dibongkar. Kenapa masih ribut orang-orang di luar sana?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tinggi. 


Bapak memberiku senyum yang sulit aku artikan maksudnya. 


“Nak, orang-orang di sana sedang berusaha menunjukan kebenaran atas kejahatan yang tertutup.”


“Kejahatan? Apa membuat pagar laut itu termasuk kejahatan?”


Lagi-lagi Bapak memberiku senyum yang sulit aku artikan. 


“Nanti, entah lima tahun, sepuluh tahun, atau dua puluh tahun ke depan kamu akan mengerti. Tapi, pesan Bapak buat kamu, jangan jadi dari bagian sengkuni politik. Sekolah yang tinggi biar jadi orang cerdas dan selalu jujur.”


“Seng-kuni?”


“Iya. Pandai berkata-kata, manis sekali ucapannya seolah semua yang dikerjakan untuk kepentingan rakyat. Nama negara dicatut demi memuluskan kekuasaannya. Padahal, di belakang rakyat, mereka berkoalisi untuk mengeruk kekayaan tanah air demi kepentingan segelintir kelompok mereka saja.”


“Jadi, seperti pengkhianat, ya?”


“Betul. Jangan sampai, besar nanti kamu jadi bagian dari mereka. Pengkhianat itu lebih hina dibanding musuh yang menyerang secara terang-terangan. Kamu ingat kata Jendral Besar kita? Siapkan sepuluh peluru dalam senjatamu. Sembilan peluru untuk pengkhianat, satu peluru saja untuk lawan. Karena pengkhianat adalah musuh terbesar agama dan negara. Yang kamu lihat saat ini mungkin hanya pengkhianat-pengkhianat kerdil tanah air, bosnya kita belum tau. Konglomerat mana yang ingin mengeruk keuntungan dari tanah air untuk kepentingan gurita bisnisnya.”


Aku terjeda untuk merenungi ucapan Bapak. Sengkuni politik? Pengkhianat tanah air? Benarkah saat ini ada orang yang tega melukai tanah air demi kepentingan segelintir konglomerat? 


Aku kembali mengenang betapa tanah air ini dititipkan Tuhan pada manusia untuk dinikmati bersama. Apa sengkuni itu juga termasuk yang Tuhan berikan nikmat untuk menikmati tanah air?


Besok lusa, di depan televisi yang sama Bapak menatap berita di dalamnya dengan takzim dan sebuah senyum yang tertahan. Aku ikut menatap berita di televisi. Sosok dengan peci hitam yang bertengger di kepala, terlihat berkeringat saat ditanyai seorang pembawa acara diskusi politik. Sesekali ia mengelap wajah berkeringatnya dengan sapu tangan cokelat yang sudah setengah basah karena keringat yang diseka seperti tak mau berhenti menetes di pelipis dan sekitarnya.


“Memangnya berapa, sih, Pak harga Rubiconnya?”


“Cuma delapan ratus juta, Mas. Itu juga saya nyicil. Kalau beli langsung mah dari mana uangnya.”


“Nyicil juga, kan, lumayan kalau Rubicon. Memangnya gaji Kepala Desa berapa Pak, sampai bisa nyicil Rubicon?Ini perlu Bapak jawab supaya menjawab rasa penasaran warga.”


 “Jadi gini, Mas … itu juga saya ga langsung beli yang Rubicon. Awalnya, mobil Es-Em- Key. Setelah mobil Es-Em-Key lunas, itu saya jual buat DP Rubicon. Kan, kalau tipe jeep gitu saya blusukan masuk ke desa yang jalannya rusak juga bisa, nyaman.”


“Jadi bukan karena Bapak membantu mengurus sertifikat hak milik pagar laut itu?”


“Itu saya kredit, Mas.”


Aku ikut tertarik menonton karena melihat ekspresi Bapak. Orang dengan peci yang bertengger di kepala itu terlihat hati-hati sekali bicaranya. 


“Pak, apa dia itu sengkuninya?” tanyaku polos.


Bapak mengangkat bahu.


“Kita lihat saja, Nak. Besok lusa dia pakai rompi oranye tidak.”


Bapak terkekeh setelahnya.


“Kenapa, Pak?”


“Lucu. Dia jadi tumbal sengkuni-sengkuni di atasnya. Dalangnya. Konglomeratnya.”


Aku jadi berpikir, apa selain dia ada sengkuni tingkat tinggi? Ada orang lain yang ongkang-ongkang kaki memerintah, tanpa ingin bersentuhan langsung dengan hukum. Menjadikan sengkuni kerdil sebagai tumbal agar ia tak tersentuh hukum. Bungkam, maka selesai.