Cerpen Siti Maria Ulfah
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
Aku terus mengaduk secangkir kopi dengan sembilan adukan, semerbak aroma serbuk hitam menjemput kekasihku dalam lamunan. Api yang meletupkan minyak di wajan, berhasil membuat bontot berubah keemasan. Tak ada tambang, emas mudah kugapai, dari adonan aci dan ikan hasil tangkapan nelayan. Kuhidangkan kopi dan bontot di meja kekasihku. Dia tersenyum. Kakiku melunglai dan tersandar pada kaki-kaki kayu yang kokoh itu.
Aku duduk di sampingnya, membisu menjadi bahasa cinta kita di pagi itu. Benar-benar dalam lamunannya, tak bisa aku rengkuh dalam imajinasiku. Secangkir kopi mulai memucat dan dia hanya meliriknya dengan tatapan yang kosong. Bontot kembali mengeras dan berkeriput. Sesekali dia melirik pada jaring-jaring yang mengering kerimping, sudah satu pekan ini jaring-jaring tak menyentuh air asin dan penghuninya. Dia pasti rindu, aku pun begitu, anakku ikut rewel karena uang jajannya aku kurangi. Dia pandai sepertiku yang bisa menahan aroma seblak masuk menorobos dinding rumahku, sedangkan dia senang bermain hingga membutuhkan minum agar tidak dehidrasi dan membutuhkan makanan untuk pengganjal perutnya di lapangan. Namun, beberapa hari ini dia memilih pulang hanya untuk seteguk air minum. Aku bisa apa.
“Mak, aku berangkat ke laut dulu yah,” ujar suamiku menghentikan lamunanku yang sudah berkilometer kedalamannya.
“Jaringnya tidak kau bawa Pak?” tanyaku sambil mencium tangannya. Dia tersenyum dan mengusap pelan rambutku. Langkah kaki dan mesin tuanya sudah tak lagi terdengar.
Aku kembali memandangi kopi yang memucat. Hatiku benar-benar menyatu pada kopi itu. Aku hanya dibuatnya bingung. Dia pergi di pagi hari dan pulang larut malam. Katanya pergi ke laut, tapi jaring-jaring tak dibawanya melaut. Lantas apa yang dia lakukan di sana. Menangkap ikan dengan jari-jemarinya? Atau jangan-jangan....
Ah, sial! Selama ini aku selalu diam. Dia malah asyik membuatku kebingungan. Suritem mana yang menyuguhkannya kopi hingga ia tak sudi melirik kopiku lagi. Guncangan hati mulai tak karuan.
“Astaga, ikan asinku,“ seribu langkah kakiku menorobos serangan awan abu menghitam.
Hujan turun, anakku tak kunjung pulang. Hujan membuatnya girang, lupa akan emaknya yang risau memikirkannya. Aku titipkan dia pada Tuhan pemilik hujan, membuat hatiku kembali tenang. Kadang sesekali melihatnya dari kejauhan, di bawah payung aku menyaksikan kebahagiaan.
“Luk-uluk hujan yang gede...!” seru bocah-bocah memanggil awan hitam untuk menemaninya lebih lama.
Di teras rumah, aku kembali menyaksikan hujan. Hatiku berkecamuk, berharap hujan membawanya mengalir jauh menyusuri sungai hingga ke laut sana. Sampaikan segala resah di hati kepada kekasih yang kian menyepi di pesisir pantai. Adakah putri duyung yang membuatnya terhibur hingga lupa pulang.
Langit memamerkan warna jingganya. Aku kayuh sepeda pink-ku dengan sekuat tenaga, jiwa, dan raga. Akanku dapatkan sosoknya yang asyik bercengkerama menghabiskan kopi dan mengumpulkan putung-putung rokok bersama kawan-kawannya di warung gambreng pesisir. Sialnya aku baru tahu, itu pun tetanggaku yang memberi tahuku karena suaminya juga ada di sana.
“Suparni, jika saja kulihat kau sedang asyik menggombal si janda pesisir, bergurau dengan kawanmu sambil memandang bibir merah dan lekukan badan yang semampai, habis kau!”
Jeritan hatiku terdengar melengking di telingaku. Mulutku berkomat-kamit sepanjang jalan. Tibalah aku di warung kayu itu. Sepertinya dia lebih dulu melihatku. Dia meninggalkan gardu, berjalan mendekati warung, dan membawaku jauh dari tempat itu.
Di atas batu yang tindih menindih, ombak yang kian menerjang, kakiku menyatu pada ombak yang terus menerus menyentuhku. Angin berembus kencang membawa lari semua amarahku. Aku dibungkamnya membisu. Kupandangi laut, tempat suamiku berjuang mencari ikan untuk dilelang dan ditukarnya dengan uang. Ombak laut bukan lagi ancaman dan alasan untuknya berdiam diri di rumah. Pagi dan petang, baginya peluang untuk meraih harapan dan dibawanya pulang. Aku memeluknya erat dan dia menatapku hangat.
Dia membawaku pulang, katanya ada kejutan. Bulan ini memang bulan kelahiranku. Ah, dia ingat juga.
“Kejutan apa, Yang?” tanyaku penasaran.
“Ini tentang dapur kita,” jawabnya yang membuatku semakin penasaran.
Dia menyatukan genggamannya pada jari lentikku, siapa yang mampu melepasnya. Walau hatiku berat meninggalkan deru ombak yang menenangkan. Mengingatkanku pada sepasang kekasih yang menanti senja, hingga buah hati hadir di tengah kebahagiaannya. Pesisir laut lontar menjadi bukti pelayaran sepasang kekasih.
Di bukanya pintu rumah, menuju ruangan yang menghadap layar kecil dan pipih.
“Lihatlah Neng, Itu Ki Jero,” ujarnya, setelah menyalakan televisi.
Mataku terbelalak. Tak ada warna dan aroma baru. Ku lirik dapurku dari jauh, masih terpampang komporku yang pandai menyembunyikan api.
"Siapa Ki Jero?" gerutuku dalam hati.
Aku dipersilakan duduk untuk dijadikannya teman diskusi. Kami sibuk menjuri para anggota forum kebakaran.
“Saya merasa dirugikan dengan adanya pagar laut, apakah boleh laut dipagar-pagar begitu” sahut Ki Jero.
Ki Jero beserta para nelayan Serang, merasakan kerugian, membuatnya meneliti lebih jauh manfaat pagar laut yang membentang sampai 30 kilometer, tak kunjung ia temukan manfaatnya. Menurut kapasitas ilmu dan pengalamannya yang sudah puluhan tahun menjadi nelayan. Aku melirik pahlawanku yang diam-diam memberiku kejutan.
Berbeda dengan Pak Jaya yang mengatakan pagar laut itu hasil swadaya masyarakat nelayan karena banyak manfaat di antaranya kerang hijau bisa tumbuh bergelantungan di sana dan bisa menahan abrasi. Pak Jaya merupakan koordinator JRP (Jaringan Rakyat Pantulan).
Ki Jero menahan tawa sepertinya, tatapannya tajam. Dia siap menerkam kapan saja, jika gaya tengilnya mengganggu pelayaran. Di sampingnya ada Pak Bejo, salah satu nelayan Desa Kihid. Hatinya terkoneksi dengan Ki Jero, mereka disatukan oleh laut. Penderitaanya menjadi penderitaan Ki Jero juga.
Segala pengaduan nelayan yang merasa dirugikan setelah adanya pagar laut yang menghambat aktivitas para nelayan dan pemakaian bensin lebih banyak dari biasanya. Keresahan para nelayan tidak direspons dengan baik dari pejabat desa sampai DKP provinsi. Katanya tugas mereka hanya melaporkan saja ke pemerintahan pusat.
Ki Jero dan para nelayan tidak akan membiarkan wilayahnya dipimpin oligarki. Pernyataannya selalu konsisten dari forum ke forum.
“Nelayan Kihid tidak merasa dirugikan, biasa-biasa saja, karena kayu-kayu di laut bisa di cabut jika menghalangi jalannya perahu,” ujar Pak Sugih mewakili nelayan Kihid di wilayah Tangerang.
“Saya yakin Anda bukan nelayan,” sahut Ki Jero.
“Saya memang bukan nelayan, tapi saya sudah menanyakannya kepada nelayan-nelayan Kihid,” sahutnya yang ternyata berprofesi sebagai Staf Desa Kihid.
“Tidak ada sejarahnya nelayan mengganggu alur melautnya sendiri,” sanggah Ki Jero.
"Nelayan memiliki hak mengakses dan mengontrol ruang hidupnya, menjalankan tradisi kebernelayanan sesuai apa yang diajarkan leluhurnya, dan memiliki hak perairan yang bersih dan sehat," ucap Bu Jana. Dia pengamat laut. Dia sudah beberapa kali observasi langsung dan menemui nelayan setelah adanya pagar misterius. Dia menemukan di bawah pagar ada karung berat sebagai penyanggahnya, dan itu merusak ekologi laut.
Pro dan kontra mengenai dalang di balik pagar misterius itu jadi santapan makanan malamku dan kekasihku. Benar-benar kenyang dan hampir mual. Aku melirik kopi hitam yang hampir mengering, hanya tersisa endapan ampas.
“Serius amat Kang, sampai-sampai kumismu itu berdiri menegang,” aku terkeukeuh melihatnya yang tak sedikit pun menggeser posisi duduknya, dan menghiraukan kopi hitam yang merekat pada kumisnya yang menebal.
“Kopimu itu harus selalu saya abadikan, Sayang.”
Jarinya menekan tombol off remot, layar televisi langsung menghitam. Forum debat demokrasi sudah usai.
“Suamiku, apakah pagar misterius itu ada kaitannya dengan PSN dan PIK Dua?”
“Makanya fokusmu jangan dibagi-bagi, mondar-mandir bak pandir yang menanak nasi tinggi-tinggi. Tonton saja lagi sendiri tayangannya sampai tuntas,” celotehnya yang mengalir tanpa hambatan.
“Tanyakan anakmu yang lupa menyimpan buku Iqra, dan menarik baju di lemari hingga berantakan,” sahutku.
“Sabar, Sayang, namanya juga anak-anak.”
“Iyah Kang. Kalo begitu, biar kamu saja yang menerangkan kembali padaku tentang pagar misterius yang ada kaitanya dengan PSN dan PIK Dua itu,” pintaku.
Dia melirik kopi yang sudah tak berisi. Hmmmm, dia selalu mencari kesempatan dalam kesempitan. Padahal dua gelas kopi beserta temannya sudahku hidangkan.
“Ya sudah, malam ini gak ada jatah,” ujarku sambil melangkahkan kaki, meninggalkannya sendiri.