Cerpen Siti Nasywa Aiman
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
“Pada akhirnya, keadilan tetap milik mereka yang berkuasa Hanan.”
Aku terkekeh mendengar ucapan temanku, Dhama.
“Berhenti berkata seolah kematianku adalah akhir dunia, Dhama. Lupa bahwa keluargamu juga berkuasa.”
Dhama menghela napas panjang, bangkit dari duduknya sebelum pamit pergi. Meninggalkanku sendirian, menatap langit-langit ruangan sambil menghitung sisa hariku di dunia.
***
“Bagaimana dengan para kepala daerah itu, Hanan?” Tuan Woo,Bosku, bertanya.
“Aman terkendali, Tuan. aku sudah pastikan mereka tutup mulut. Kalaupun nanti media mengangkat kasusnya dan menekan kepolisian untuk melakukan penyelidikan, mereka sudah siap menjadi kambing hitam.” jelasku
Tuan Woo tertawa senang, “kerja bagus, Hanan. Malam ini atur pertemuan dengan Tuan Ling dan Presiden. Pagar laut ini harus segera direalisasikan.” titahnya kemudian.
Aku mengangguk. Pamit undur diri dari hadapannya. Berjalan cepat ke luar ruangan, sambil menghubungi pihak-pihak terkait. Mengatur pertemuan eksklusif itu dengan cermat. Sebelum kembali sibuk dengan padatnya lalu lintas ibu kota.
***
“Kau yakin dapat menangani proyek ini dengan baik, Abas?”
“Tentu.” Abas, rekanku sekaligus kepala proyek ini menjawab dengan tenang dan yakin.
“Bahkan dengan tanggapan masyarakat luas?”
Abas mengedikkan bahu, “itu bukan masalah besar. Selagi pejabat-pejabat itu sudah setuju dengan proyek ini dan menerima uangnya, rakyat tak akan bisa apa-apa.”
Kami berpandangan sejenak lalu tertawa. Miris.
Beberapa hari setelah proyek ini mulai dikerjakan, masyarakat juga ikut mulai membahasnya. Entah dalam percakapan antar nelayan atau sekadar cuitan di media sosial.
“Bagaimana hasilnya, Hanan?” Tuan Woo bertanya, mengalihkan fokusku yang semula tengah memantau headline berita terkini juga respon-respon masyarakat.
“Seperti yang kita duga, kebanyakan masyarakat merespon negatif proyek ini.”
Tuan Woo mengangguk, “biarkan saja sampai beberapa hari kedepan. Itu urusan para kepala daerah itu. Biarkan uang-uang kita bekerja.”
Aku mengangguk memilih pamit dari ruangan Tuan Woo.
Dua hari berlalu, dan tak ada kemajuan apapun soal respon masyarakat luas. Apalagi kemarin justru ada nelayan yang dengan berani mendebat salah satu pejabat kami. Membuatku spontan melempar ponsel ke sofa setelah membaca laporan Abas.
Tuan Woo diam setelah mendengar laporanku, matanya sibuk memandang jendela besar di dinding ruang kerjanya.
“Biar kepala Daerah tempat nelayan itu tinggal di penjara. Bukannya mereka yang bilang siap menjadi kambing hitam? Penjarakan juga pejabat itu. Aku tak memerlukan pejabat bodoh sepertinya.”
Aku mengangguk, berbalik meninggalkan ruangan.
***
Abas menghela napas saat aku menemuinya untuk meminta laporan rutin seperti biasa.
“Ini tidak bagus, Hanan. Kita harus mengganti para Kepala Desa dengan sosok lain yang tak akan tergoyah dengan desakan warga.”
Aku mengangguk, “esok lusa aku pastikan sudah ada penggantinya.”
Setelahnya, aku pergi meninggalkan Abas dan hamparan air laut di belakang. Sembari menunggu supir menjemput, aku menghubungi bawahanku yang lain.
“Siapkan lima orang Kepala Desa yang baru.” aku berujar sambil membuka pintu mobil.
“Berikan saja satu milyar untuk setiap kepala. Pastikan mereka bekerja dengan baik. Jika mereka meminta uang untuk tutup mulut warga, berikan saja dua puluh juta bagi setiap keluarga.”
Bersamaan dengan mobil yang berbelok, aku menutup telepon. Bersandar pada kursi, memejamkan mata. Merasa pening.
Urusan pagar laut ini jadi kapiran. Masyarakat berusaha mempertahankannya. Sulit sekali dibujuknya. Apalagi nelayan yang kemarin mendebat di TV itu. Merepotkan.
Padahal apa sulitnya menerima ‘pesangon’ lalu diam. Semua beres. Semua diuntungkan. Dasar menyebalkan.
***
“Keluarkan berapapun uang yang diperlukan, Hanan. Tak masalah jika proyek ini terlambat. Semua itu tak akan sebanding dengan seberapa besar hasilnya nanti.” Tuan Woo berujar menanggapi laporanku.
Aku mengangguk, lalu menyerahkan secarik kertas padanya.
“Total pengeluaran sementara kita untuk proyek ini, Tuan. rinciannya sudah kukirimkan lewat email.”
“Setelah ini selesai, apalagi yang ingin tuan kejar? Maksudku dengan semua yang Tuan miliki, aku pikir kalaupun Tuan hanya ingin duduk diam menikmati masa tua itu tak jadi masalah. Tuan akan tetap kaya.”
Tuan Woo terkekeh, “andai saja semudah itu, Hanan.”
Tuan Woo bangkit, berdiri menatap jendela. Memandangi padatnya jalanan ibu kota di jam pulang kerja.
“Sebenarnya dulu ini hanya sebagai ajang balas dendam, Hanan. Guna membayar kematian kedua orang tuaku pasca kerusuhan di awal masa reformasi. Tapi kau tentu tahu bahwa tamak adalah sifat alamiah manusia. Dan aku justru membiarkan ketamakan itu merusak diriku sendiri. Membuatku tak kunjung puas atas apa yang aku miliki hari ini. Karenanya aku akan terus mengejar apapun yang belum aku punya. Tak akan berhenti sampai mati.”
Aku meremang mendengar jawaban Tuan Woo. Dimataku, kini ia persis seperti rubah licik yang biasa ada di dongeng kanak-kanak
***
Apa yang akan kalian lakukan jika berada dalam satu sel penjara dengan seorang pengusaha asing kaya raya? Ya, meski pada kenyataannya aku hanya tengah mengunjunginya. Pengusaha kaya yang juga merupakan salah satu investor dalam proyek pembangunan ibu kota negara yang baru.
“Aku tahu sejak awal kalau keadilan tak pernah memihak orang biasa sepertiku, Tuan Woo. Setidaknya tidak di negeri ini. Aku akan gagal, aku tahu persis hal itu sejak aku memutuskan untuk mengabdi padamu.”
Tuan Woo tak menanggapi ucapanku. Entah karena tak tertarik dengan topik percakapan, atau karena masih kesal denganku yang menjebloskannya ke penjara.
“Tapi aku tetap senang. Karena aku membuktikan bahwa rakyat kecil pun bisa melawan.”
Seorang polisi muda menghampiri sel kami. Dia Dhama.
“Waktunya kembali ke sel, Hanan.” ujarnya
Aku mengangguk, bangkit berdiri.
“Aku memang mengkhianatimu, Tuan Woo. Tapi aku tak pernah sekalipun berdusta. Semua hal yang pernah aku katakan padamu bukan sebuah kebohongan. Entah laporan rutin, atau identitasku yang seorang yatim piatu korban tambang PT mineral itu. Aku berkhianat dengan terhormat.”
Kalimat panjang itu menutup konversasi sepihakku dengan Tuan Woo, sebelum Dhama menutup pintu sel dibelakangku. Menggiringku ke ruang tahanan milikku.
“Hidup memang tak pernah seperti takdir yang kita tulis, Hanan.” dhama berujar sembari membuka kunci ruangan milikku.
“Tentu saja, Dhama. Kita bukan Tuhan.”
Setelah memastikanku terkunci, Dhama pergi meninggalkanku. Membiarkanku sendirian menghitung mundur sisa waktuku sebelum eksekusi mati besok pagi. Sembari berpikir alangkah malangnya diri ini. Terbuai pada janji di esok hari. Yang padahal kutahu bahwa hal itu tak akan pernah terjadi.
Karena ketamakan manusia itu abadi. Hanya hilang jika mati. Ikut dikubur dalam bumi
***
“Ini bukan cara balas budi yang baik. Tapi aku sudah muak pada janji soal kehidupan manusia yang katanya akan lebih baik itu. Karenanya maafkan aku, Dhama. Menjadi saudara angkatmu adalah suatu hal yang akan selalu aku banggakan seumur hidupku.”
Satu tarikan pelatuk dan Dhama berhenti memberontak. Ia telah mati. Di angan saudara angkat yang katanya begitu ia sayangi. Sayang sekali.
“Kerja bagus, Hanan.” Puji Tuan Woo yang sejak tadi berada di belakangku.