Saturday, March 1, 2025

Cerpen Lomba | Siti Patonah | Semut Pesisir Laut

Cerpen Siti Patonah



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Suara ombak memainkan melodi merdu. Menyapu pasir, berbalik kembali. Gelombang angin menambah riuh suasana pagi ini di pesisir laut. Matahari memancar hangat, memberikan sapaan pagi kepada manusia dan makhluk hidup lainnya. Terlihat barisan semut berjalan beriringan menyusuri jalanan pesisir. "Ini tumpukan apa banyak sekali?" tanyanya kepada semut yang lain. "Dilihat dari bentuk, sepertinya ini bambu," jawab semut yang lain.


"Biasa, manusia selalu ada-ada aja tingkah lakunya. Bambu-bambu mereka kumpulin sebanyak ini. Giliran kita masuk numpang istirahat di dalamnya. Dihabisi," curhat yang lain.


Para semut kembali berjalan beriringan. Semut yang berjalan paling pertama terlihat mengamati sekitar. "Semut 002 jangan lupa kasih sinyal kepada semut yang lain agar tidak lupa meninggalkan jejak feromon supaya kita tidak tersesat saat kembali ke sarang," perintah semut 001.


Semut 003 melanjutkan perintah sinyal ke rekannya di belakang begitu pun seterusnya. Sebagai semut pekerja, pekerjaan mereka sangat rentan kehilangan nyawa. Kadang kala ada rombongan yang tak kembali ke sarang saat sedang mencari makanan. Nyawa mereka sepele dimata makhluk hidup lain. Untungnya hari ini rombongan semut dapat kembali ke sarang dengan aman.


Ke esokan paginya mereka melakukan hal yang sama. Besoknya lagi dan lagi bahkan waktu berjalan, mereka tidak tahu seberapa lama. Sampai semut 002 berlari menghampiri rekannya "Aku bertemu tikus atap, hampir sedikit lagi nyawa hilang," gerutunya.


Para semut sibuk membagi beban makanan yang mereka bawa. Semut 001 terlihat tertegun.


"Kalian tahu, aku dengar para manusia berbicara, katanya di laut samping tempat tinggal kita sedang dibangun pagar laut," ujarnya. "Pantas tumpukan bambu itu tidak ada. Dipakai pagar ternyata." Semut 003 menimpali.


"Pagar bambu itu seperti yang ada di depan rumah-rumah manusia kan? kenapa ini ada di laut?" tanya semut 002. "Besok kamu coba tanya kepada burung di atas bebatuan dekat sarang kita. Bagaimana pagar laut di laut itu." Semut 001 memberi ide. Mendengar itu, semut 002 berjalan pergi mencari remahan makanan di sudut-sudut kecil kediaman manusia."Kalau begitu sama saja aku bunuh diri," keluhnya.


Waktu pun berganti, pesisir pantai kini riuh dengan berbagai manusia. Pembicaraan yang hanya bisa didengar oleh para semut di sela kerja mereka."30.16 km sejauh apa kalau kita berjalan?" tanya semut 002. "Sepertinya sangat jauh," jawab semut 001.


"Sejauh pesisir pantai ke rumah manusia?" tanya si nomer dua lagi."Sepertinya tak terhingga kalau pakai kaki kecil kita," 


Semut-semut pekerja berkerumun di bawah celah bebatuan. Menghindari manusia lalu lalang. Terinjak tidak baik buat keberlangsungan hidup mereka. Makanan belum mereka temukan, para manusia yang bergerombol datang hanya membawa banyak pembicaraan bukan remahan makanan. Semut yang terjebak terpaksa mendengar pembicaraan manusia.


"Manusia itu aneh sekali, walaupun perut mereka sudah kenyang, masih takut tidak bisa makan. Remahan makanan yang kita ambil karena berserakan di lantai pun tetap tak terima diambil. habis bangsa kita dibumi hanguskan." Semut 003 memulai obrolan.


"Mereka memiliki kuasa di atas makhluk hidup lain tapi ada lagi manusia yang merasa lebih berkuasa dari manusia lain bahkan mungkin Tuhan." Semut 001 menambahkan tidak kalah panjang. Para semut yang mendengarkan hanya terdiam. Semut 002 memantau keluar celah-celah bebatuan "Sepertinya kita akan berdiam di sini lebih lama. Tidak akan sempat mencari remah makanan," ujarnya.


Suara ombak beradu dengan argumen-argumen manusia. Berbagai tanggapan, pembelaan bahkan kebungkaman dan ketidak tahuan. "Masa, tidak ada yang tahu pagar laut sepanjang dan sebesar ini dibuatnya kapan dan untuk apa. Saya rasa tidak mungkin pagar ini bisa jadi dalam sehari semalam, memangnya ini legenda Bandung Bondowoso." Lengkingan suara manusia yang menggema. Kiranya para semut tidak mengerti seluas apa pergerakan manusia. Semut merasa tidak kalah jumlah populasi hanya kalah perihal langkah serta tubuh mereka lemah. Mereka lemah jika seorang diri tapi tidak saat dengan kawanan bangsanya sendiri. Mereka memiliki sifat saling membantu satu sama lain tapi manusia yang diberi akal lantas nurani masih mengambil keuntungan sendiri-sendiri.


Para semut diam di celah batu lama sekali. Kawanan mereka mungkin mengira mereka sudah mati terinjak karena lama tidak kembali. Semut 001 kembali melihat ke celah batu. Suasana terlihat mulai tenang, mereka pun mulai kembali ke sarang. Saat diperjalanan para semut melihat tumpukan bambu yang setengah basah. "Masuk kita ke sana, semoga saja ada makanan yang kita bisa bawa ke sarang," perintah semut 001. Para semut pun berhasil membawa makanan ke sarang. Bambu yang lama terendam air laut membawa serba-serbi makanan bagi mereka. Setelah itu kawanan semut kembali ke tumpukan bambu yang dicabut kembali dari laut untuk mencari makanan. Siklus hidup semut hanya untuk menjaga keberlangsungan koloni mereka. Sumber makanan menjadi salah satu yang utama. 


Saat semut pekerja sibuk mencari makanan di tumpukan bambu. Kepakan sayap mengagetkan mereka. Rombongan semut 001 berlari menuju celah batu tempat aman mereka bersembunyi. Paruh burung sibuk memakan kawanan mereka. Semut 001 tidak kaget melihat semut lain meregang nyawa. Pemandangan itu biasa, bagi mereka. "Saat bertemu sumber makanan kita para semut pun suka lupa dan mengkesampingkan bahaya apalagi manusia yang diberi nafsu. Apalagi saat nafsu menjelma menjadi sifat rakus akan kekuasaan dan perkara dunia. Dua hal berbahaya tapi siapa peduli," ujar semut 001.


Di atas batu kelepak sayap terdengar. Satu ekor burung hinggap. "Berceloteh di dalam celah batu. Sungguh ironis jadi seekor semut," ujar burung berkicau di atas batu. "Aku memiliki sayap, penglihatanku tajam dan pendengaranku hebat. Aku melihat seberapa panjang pagar laut membentang dan orang-orang yang terlibat. Hey, kau semut. Ironis jadi seekor semut hanya bisa sekadar bersembunyi di saat ribuan kata melesat ke sana kemari."


Burung berjingkrak ke sana kemari di atas bebatuan. Mengolok-olok semut yang tak berkutik di celah bebatuan. Walaupun semut memiliki keberanian, paruh burung bukan tandingan.


Burung kembali berkicau penuh kesombongan. "Kalian dengar dan sebarkan ke koloni kalian. Aku seekor burung mengetahui rahasia dari rahasia manusia itu sendiri," ujarnya nyaring. Kelepak sayap burung tidak lagi terdengar. Kawanan semut kembali ke sarangnya. Mengabarkan pesan yang dibawa oleh sang burung. Salah satu semut berujar "Untuk apa kita tahu kebenaran ini? Manusia tidak memahami bahasa semut karena terkadang kebenaran dari bahasa mereka sendiri pun mereka mendadak tuli,"


Semut 001 berjalan keluar sarang. Mendengar kegaduhan koloninya sendiri. Membicarakan pagar di lautan yang membentang memagari sebagian mata pencaharian. Membentang, memagari dualitas kehidupan di mana kekuasaan menelan ketidak mampuan, membungkam kebenaran.


"Bila manusia-manusia itu mampu mengerti bahasa kami seperti halnya Nabi Sulaiman, apakah mereka akan mendengarkan?"


Lesatan tanya seekor semut di tengah gulitanya kehidupan.