Zul menolak kembalian ongkos ojek dari lelaki tua yang mengantarkannya pada kampung halaman masa kecil. Sepergi tukang ojek itu, sehampar kenangan pahit menyambutnya: seorang bocah lelaki yang tidak diizinkan polisi melihat isi kantung jenazah, meski bocah lelaki itu memohon-mohon sebab sudah sepuluh hari tak melihat bapaknya. Lekas bocah itu digiring warga agar tak menghalangi kerja petugas. Ibu-ibu mengusap dada si bocah, memintanya agar tabah.
Zul mendekat ke pantai. Tampak dari jauh, jembatan bambu—sebutan darinya untuk pagar bambu yang diuruk pasir tengahnya—tempat Zul berburu kerang-kerang dulu, sudah dirobohkan sebagian. Dia sedikit puas. Zul menyusur tepian sembari menenteng sepatunya. Dari kejauhan dia lihat juga seonggok perahu terparkir dengan bendera berkibar-kibar. Senyumnya mengembang saat nampak di matanya seorang perempuan sedang berusaha menjinakkan anak rambutnya dari terpaan angin kencang.
"Yul!"
Perempuan itu menempelkan telapak tangannya setara alis membentuk sikap hormat. Zul berlari kecil. Tepat di hadapan perempuan itu senyum Zul melebar. Tapi hingga beberapa saat, mata perempuan itu masih terus memindai. Nampak sekali belum ada arsip ingatan tentang lelaki di hadapannya.
"Kamu Yul, kan?" Zul berusaha memastikan bahwa dirinya tidak salah orang, hanya perempuan ini saja yang susah mengingat.
Perempuan itu mengangguk. "Ini, Zul. Ingat? Zul dan Yul si bocah pemburu kerang?"
Mulut perempuan itu menganga kemudian. Dia terbahak dan memukul-mukul pundak Zul. Perempuan itu menaruh jala di tangannya dan mempersilakan Zul duduk di bibir perahu. "Banyak yang berubah ya,” ujar Zul setelah sekian detik kehabisan basa-basi kabar.
Yul mengangguk. "Setelah kepindahan kamu, ada banyak yang berubah." Dia menengok. "Kamu bisa lihat rumah-rumah penduduk sekarang lebih bagus.”
"Sangat pesat dong perkembangan ekonomi di sini?" Yul tersenyum, kemudian menanggapi, "Itu karena kepala desa peduli. Masing-masing kepala keluarga diberikan uang kira-kira setara satu unit motor matic, jadi mereka gunakan uang itu untuk renovasi rumah, begitu."
Geming. Yul menatap Zul yang tersenyum kecil memandang jembatan bambu.
"Kamu pasti kaget karena jembatan bambu yang dulu jadi tempat kita lari-larian lalu mengubur kerang-kerang pada pasirnya sekarang makin panjang."
"Tapi sekitar dua kilometer dari sini, bambu-bambu itu dirobohkan aparat. Katanya ilegal."
Zul masih terdiam.
"Padahal mereka saja yang berlebihan."
"Maksudnya berlebihan?"
"Zul, kamu tahu, kan jembatan bambu ini sudah ada sejak kita dapat pelajaran biologi pertama kali, hingga tadi aku tak mengenalimu lagi," tambah Yul, "Enggak terjadi apa-apa," pungkasnya.
Zul menarik napas. Dia sadar bahwa perintah pamannya agar dia kembali mengunjungi kampung ini adalah benar. Pamannya bilang dia pasti menemukan apa yang dia cari selama ini.
"Kamu senang berarti karena misi aparat dalam pencabutan bambu itu tak diteruskan?"
"Aku tidak merasakan apa-apa, Zul. Bapak bilang, hidup ini tak perlu dirasakan."
"Aku rasa, kamu pun seperti itu setelah kehilangan bapakmu, kan?"
"Kamu tahu sendiri, enggak ada anak yang baik-baik saja menjalani hidup setelah kepergian orangtuanya. Mereka tidak akan pernah sembuh."
"Kamu kehilangan bapakmu, aku kehilangan mimpiku. Kita sama saja."
"Maksudmu, kamu tidak jadi kuliah ilmu kelautan? Em, masih sama, kan mimpimu?"
"Iya sama. Aku masih ingin jadi pengamat kerang, terumbu karang, rumput laut dan ilmu-ilmu tentang laut lainnya. Sayangnya, Bapak tidak setuju aku kuliah. Jadi aku menerima saja takdirku sebagai kasir kios ikan Bapak di pasar," ujar Yul sambil tergelak.
Zul ikut terkekeh. "Setidaknya itu juga menyenangkan bukan? Tidak perlu mengkritisi negara seperti mahasiswa-mahasiswa kota yang suka berdemonstrasi di depan gedung DPR, setidaknya kamu tak pernah hidup dalam kegelisahan, Yul."
Yul tergelak makin keras. Zul melihatnya. Jika boleh dia jujur, Yul bukan Yul kecil yang menamaninya dulu berburu kerang.
"Untuk apa kamu ke mari?" tanya Yul lirih. Matanya mengedar. Tajam sekali.
"Rezim telah berganti, siapa tahu tak hanya di pasar seseorang diawasi.”
Zul pun turut memindai sekitar. Dia tidak menemukan siapa-siapa di pinggir pantai. Hanya ada dia dan Yul. Namun, gelagat Yul masih tak bebas. Gelagatnya seperti seseorang yang sedang menghindari kamera pengintai. Tubuh Yul sejengkal lebih dekat dengan Zul. Yul membawanya pada sebuah pagi di pasar ikan dari bibir perahu yang mereka duduki.
Aroma ikan asap selalu menguar pada pagi yang terus memaksa Yul tersenyum lebar dan berlagak ramah pada para pengunjung. Pasar itu tak jauh dari pantai dan pemukiman mereka. Pasar itu lebih banyak dikunjungi warga kota yang ingin mendapat ikan asapan ataupun ikan segar yang harganya lebih miring dari pasar pusat kota. Lapak Yul tak hanya menjual ikan-ikan, tetapi juga spesialis kerang. Di pagi yang selalu tak disukai Yul itu, terjadilah perkara yang lebih buruk dan tak pernah Yul bayangkan sebelumnya selain berpura-pura ramah.
Yul pikir, preman-preman pasar hanya akan menggampar seorang pedagang yang tidak membayar pajak keamanan. Rupanya bukan. Preman-preman itu lebih tega memukuli pedagang yang menceritakan nama Aiguo ke pembeli tentang laut yang dipagar. Usai pembeli itu pergi, preman pasar langsung menyikat habis penjual gurita asap hingga tak sadarkan diri. Yul mendengar preman itu mengancam agar siapapun tak sesekali menyebut nama Aiguo pada pengunjung pasar. Para pedagang mengiyakan agar diri mereka aman. Yul tak sengaja melihat, preman-preman itu berbincang pada orang-orang berotot dan berkulit putih. Yul pikir dan yakini, preman itu sedang menyetorkan laporan.
“Kita akan bertemu lagi. Lusa. Menjelang senja dan kalau kamu mau, kita akan berburu kerang lagi untuk yang terakhir kali sebelum aku balik ke kota.”
Yul mengangguk dan menjauh dari Zul, mendekat ke arah ibunya. Zul melihat Bu Lis, yang nampak tak suka dengan kehadirannya menemui Yul. Zul bangkit dari perahu dan berteduh di bangunan kosong bekas kantor penjaga pantai. Zul membuka ponsel. Muncul beberapa notifikasi dari aplikasi berita. Salah satunya sang kepala desa P, kampung keberadaannya saat ini mengelak akan keterlibatannya dengan pensertifikatan laut ilegal itu.
“Pagar itu sudah lama, kami tidak merasa dirugikan juga. Bedanya, dulu pendek sekarang panjang gitu saja. Fungsinya untuk mencegah abrasi. Iya, kalau di perairan lain saya tidak tahu.” —
“Ndak ada dana kompensasi, kami hanya disantuni, karena warga kampung sini ekonominya sangat kurang waktu itu. Ini amanah. Ya, amanah.”
Tangan Zul mengepal. Ingatannya melayang pada masa ketika mendiang Bapak dan Ibunya bertikai.
“Walid itu kades baru, amatir dia. Meski kita dijanjikan uang banyak, tapi uang haram. Bapak menentang Walid. Pagar bambu itu ketika makin panjang, gerak para nelayan akan terbatas, Bu!”
“Tapi itu ada rutenya, Pak. Udahlah tidak hanya Bapak saja, kan. Seluruh nelayan itu ikut Pak Walid dan mereka bakal kecipratan uangnya. Kita ini masih kekurangan, Pak. Sadar diri dong. Ikut aja rapat itu dan dukung mau penguasa sama orang cina itu.”
“Tidak, Bu! Perkara salah tidak bisa dimaklumi! Ibu jangan cuma tergiur dengan uang!”
Bapak Zul pergi dalam keadaan marah. Dia menarik perahu ke laut. Sepuluh hari lamanya tak pulang. Hingga jenazahnya ditemukan sudah tak utuh. Tak ada tindakan autopsi karena petugas meminta biaya tambahan untuk itu. Petugas meyakinkan Zul dan ibunya bahwa itu murni kecelakaan laut, tak perlu dilakukan autopsi.
Buru-buru Zul usap air matanya dengan lengan kemeja. Dia lekas ke rumah inapnya yang sudah jauh hari dia sewa.
***
Sore itu, Zul dan Yul kembali bertemu. Wajah Yul semringah menenteng dua ember kecil, akan tetapi mendadak murung ketika menatap Zul membawa ranselnya seperti mereka pertama bertemu.
“Aku tidak bilang Ibu jika akan bertemu denganmu. Apa data penelitianmu sudah cukup?” tanya Yul setelah melihat ransel Zul.
Zul turunkan ransel dan meraih tangan Yul. Dia letakkan sarung tangan karet ke telapak tangan Yul. Mereka segera berlari menyambut kecipak ombak. Mengulang masa kecil. Mereka membuat kesepakatan untuk saling berlomba mengumpulkan banyak kerang. Tawa Zul kembali membuncah, akan tetapi, kebahagiaan akan kenangan itu tak dapat berlama-lama hinggap di hati Zul.
Langit makin jingga. Zul menggandeng Yul untuk menjauhi pantai. Mereka masuk pada bangunan bekas penjaga pantai itu lagi. Wajah Zul mendekat pada Yul. Mata Yul memejam, napasnya memburu. Itu dirasakan Zul. Kerang-kerang masih di ember kecil.
“Kita adalah sahabat, Yul.”
“Tapi tidak selamanya.”
Yul membuka mata. Zul menjambak kasar rambut Yul yang setengah tergerai.
“Kamu bingung?” tanya Zul menekan.
Zul bercerita: Setelah Bapaknya tak pulang sepuluh hari lamanya dan berakhir ditemukan menjadi mayat, Zul mencuri dengar Walid bicara di telepon bahwa misinya berhasil. Beberapa perahu asing menggulingkan perahu bapak Zul. Kemudian perahu bapak Zul dijauhkan dari tubuhnya. Itu sebab bapak Zul tak dapat menyelamatkan diri.
Yul benar-benar terisak tanpa suara.
“Bapakmu membunuh bapakku karena Bapak satu-satunya nelayan yang menentang pembuatan pagar! Bapakmu yang gila dengan uang pemerintah dari Aiguo, orang yang katamu namanya tak boleh disebut di pasar ikan itu menghabisi nyawa bapakku karena bapakku adalah ancaman bagi mereka, Yul!”
Yul makin terisak.
“Aku tahu akar masalah ini setelah aku dewasa, dan aku punya keberanian karena paman yang mendukungku. Husen. Nelayan yang menyuarakan kebenaran. Tapi, aku tidak akan biarkan bapakmu membunuhnya karena kupastikan bapakmu sibuk berduka. Atas wafatnya putri tercinta.”
Zul menekan leher Yul dengan kuat. Tepat mengenai urat nadi lehernya. Mata Yul membuka lebar hingga akhirnya menutup rapat. Keringat muncul di dahi dan pelipis Zul. Dia keluarkan tambang cokelat dari ransel. Dia ikatkan pada penyangga atap bangunan lalu melilitkannya ke leher Yul. Rambut Yul tergerai menutupi wajahnya. Satu perahu nelayan nampak dari kejauhan. Zul gegas keluar bangunan dengan sarung tangan yang masih melekat. Zul berjalan menjauhi pantai. Sebuah pesan masuk. Paman Husen mengirim lokasi keberadaannya.
“Menuju ke sana, Paman.” Zul membalas dan berlari cepat. (*)