Saturday, March 15, 2025

Cerpen Lomba | Sujatrini Liza | Teritip Tak Pernah Ingkar Janji

Cerpen Sujatrini Liza



 | (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


Tubuhku terguncang hebat. Awalnya, sempat terpikir olehku kalau tubuhku sakit, tapi ternyata bukan tubuhku yang bermasalah, melainkan tempatku melekat. Tentu saja aku tidak takut kalau rumahku bakal terlepas dari tambatannya, karena rumahku menempel dengan kuat. Bahkan gelombang sedahsyat apa pun takkan membuat aku dan rumahku terpental atau pun hancur berantakan. Namun, aku bertanya-tanya apa gerangan yang terjadi. Selama ini belum pernah ada getaran sehebat ini. 


Getaran itu lalu berhenti sesaat. Aku lalu melihat sekelilingku dengan penglihatanku yang terbatas. Rumah-rumah tetanggaku tampak tenang. Sepertinya kejadian barusan sama sekali tak berarti apa-apa.  Aku pun merasa lega, meskipun sempat cemas sesaat, memikirkan kembali apakah keputusanku untuk mendirikan rumah di tempat ini benar-benar tepat. 


Ingatanku kembali ke saat aku masih berupa larva bertubuh transparan lembek. Waktu itu aku bersama kawananku berenang mengarungi arus laut yang kencang. Rasanya menyenangkan. Ini adalah langkah awal untuk menyambut kedewasaan. Sambil berenang, kami mencari tempat yang layak untuk ditinggali. Semula kami berjanji untuk tinggal saling berdekatan, tapi seiring arus yang membawa kami, pikiran kami pun mulai berubah. Kami tak lagi memiliki tujuan yang sama.


Teman-temanku mencari tempat yang besar dan kokoh. Sebagian besar mencari lambung kapal agar bisa berlayar seumur hidup. Bahkan ada yang nekat menempel di punggung penyu agar  bisa ikut dalam perjalanan hidup binatang itu. Bukankah membosankan tinggal di satu tempat terus-menerus dengan pemandangan yang sama? Asal tahu saja, pemilihan tempat tinggal ini sangatlah penting, karena hanya bisa dilakukan satu kali. Begitu memilih, kami tidak bisa pindah lagi dan akan terus hidup di tempat yang sama hingga akhir hayat. Sungguh sebuah keputusan yang berat. 


Namun, pada akhirnya pilihanku berbeda dengan kebanyakan teman-temanku. Pilihanku jatuh pada salah satu batang bambu yang berderet di suatu perairan dangkal. Bambu-bambu itu tidak ketahuan asal-usulnya. Mereka sudah jelas bukan penghuni laut, tapi entah kenapa bisa berdiri di sana. Sebenarnya tempat itu mencurigakan, tapi kupikir hanya tempat ini yang jarang penghuninya. Itu artinya aku tidak perlu berebut makanan dengan tetanggaku. Selain itu, aku bisa memperluas cangkangku tanpa risau akan berdesakan dengan cangkang tetangga yang lain. Namun, kini keraguan mulai muncul. 


Guncangan yang tadi kualami membuatku mempertanyakan keberadaan bambu tempatku melekat. Sebenarnya makhluk apa ini? Kalau benar bukan berasal dari laut, kenapa mereka bisa ada di sini. Jumlah mereka pun banyak dan menancap hingga ke dasar perairan dengan kokoh. Sudah pasti mereka tidak tumbuh dari dasar laut. Pasti ada yang mematok bambu-bambu tersebut, dan kemungkinan besar pelakunya adalah makhluk serba bisa bernama manusia. Entah apa tujuannya. Kurasa mereka tidak hidup di perairan seperti yang kutinggali. Mereka juga tidak bisa hidup di dasar laut. Jadi apa guna bambu-bambu ini? Anehnya, ada juga sebagian dari kaum mereka yang merasa terganggu dengan tonggak-tonggak ini. Katanya, pergerakan perahu mereka jadi terganggu. 


Menurutku, perilaku manusia memang aneh. Serba kontradiktif. Aku berandai-andai seperti apa rasanya jika bisa menjadi mereka. Yang aku tahu kami sering menjadi makanan mereka. Kurasa kami mirip plankton yang sering kami santap. Apakah kami memang seenak itu?


Aku juga menduga tiang-tiang yang terpasang ini nantinya akan digunakan sebagai fondasi rumah, seperti aku juga menggunakan bambu ini sebagai tempatku melekat. Ah, badanku mulai terasa aneh. Sepertinya aku terlalu banyak berpikir. Sebelumnya aku tak pernah berpikir sekeras ini. Aku butuh energi, sehingga aku mulai mengeluarkan cirri -ku yang berupa tentakel-tentakel untuk menangkap plankton-plankton yang berkeliaran.  Untung saja manusia tak punya cirri sepertiku. Kalau tidak, mereka bisa semakin ganas.


Keesokan harinya guncangan itu datang lagi. Kali ini disertai kebisingan yang tidak seperti biasanya. Beberapa kapal kecil mondar-mandir di sekitar kami. Jumlah manusia yang berada di perairan pun lebih banyak dari biasanya. 


“Cabut yang ujung dulu!” 


“Jangan pakai tangan. Susah! Pakai tugboat  saja!”


Oh, apa ini? Gerakan air di sekitarku mulai terasa aneh. Padahal aku sudah berencana untuk membuahi tetanggaku, meskipun sel-sel telurku sendiri juga sudah siap dibuahi. Begitulah dilema hermafrodit. Apa pun itu, tampaknya hari ini gagal rencanaku. Tidak akan ada pembuahan. Aku kembali was-was. Suasana ini menyalakan tanda bahaya di tubuhku. Aku takut. Aku mulai menyesal tinggal di tempat ini. Seandainya aku mengikuti teman-temanku menempel pada lambung kapal, atau tempurung penyu. 


Tiba-tiba bambu yang kutinggali goyah dan tercabut dari dasar perairan. Hal ini sungguh di luar dugaan. Kepercayaan diriku goyah. Aku mulai meragukan kemampuan perekatku. Apa yang terjadi? Sepertinya bambu tempatku berada mulai diseret membelah laut. Aku pun ikut bergerak dengan cepat. Tentakelku melambai-lambai, bukan karena ingin menangkap plankton tapi karena panik. Kali ini aku benar-benar takut terpental ke laut lepas. Aku juga takut cangkangku hancur. Aku belum pernah tahu apa yang harus kulakukan seandainya aku terpaksa mencari tempat tinggal lagi. Apa aku bisa mati? Tidak ada jawaban yang muncul, kecuali suara bising kapal yang terus menarik bambuku. 


“Tolooooong!” begitu aku ingin  berteriak dalam bahasa manusia.


Namun semua tetanggaku tidak ada yang bergerak. Kurasa mereka juga merasakan ketakutan  yang sama. Apakah ini tsunami? Seandainya iya, kenapa semua manusia itu tidak tampak panik. Perhatian mereka sepertinya hanya terpusat pada bambu-bambu yang terpasang di laut.


Tak lama kemudian, bambuku terangkat ke udara, jauh dari air. Aku terkesiap. Operkulum -ku seketika menutup, reaksi spontan jika aku tidak berada di dalam air. Aku berharap mereka akan kembali menjatuhkan bambuku ke dalam air. Kali ini hanya cangkangku yang bisa melindungi diriku. Namun, bambu itu malah dipindahkan ke tempat lain yang jauh dari air. Aku merintih dengan caraku  sendiri. Terbayang lagi lambung kapal. Seandainya aku bisa memutar waktu.


“Kotor, nih, bambunya!”


“Tapi masih bisa dipakai, kok! Bambunya masih kuat.”


“Hiih, kotornya!”


“Banyak teritipnya. Jijik!”


“Tapi enak, nih, dimasak balado.”


“Kalau begitu kumpulkan saja. Banyak, nih. Kalau digabung semua bisa sepanci!”


Aku mulai merasa tidak enak. Cangkangku semakin menutup erat melindungi tubuhku agar tidak kekeringan. Apakah aku akan berakhir di atas piring seseorang? Membayangkannya saja aku tidak berani. Lalu bunyi-bunyi itu mulai mengusikku. Bunyi gesekan pisau pada kulit bambu. Bunyi yang paling ditakuti kerabatku.


Namun aku yakin mereka tak bisa menyingkirkanku begitu saja. Aku berharap semua tetanggaku juga melakukan hal yang sama. Kami, teritip, akan terus bertahan di tempat kami, apa pun yang terjadi.


______


Ket.:

cirri =   Serabut berbulu pada teritip yang berfungsi untuk menangkap plankton.

tugboat  = Kapal tunda, yaitu kapal kecil yang digunakan untuk menarik atau mendorong kapal lain.

operkulum =Struktur kaku (tulang) yang berfungsi melindungi bagian tubuh hewan.