Cerpen Syarifa Utami
(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba) |
Kampung Pesisir—sebuah surga kecil di tepi lautan, di mana gemuruh ombak berbisik lembut menyerupai nyanyian alam yang abadi. Langit membentang luas tanpa batas, seolah memeluk lautan dalam keselarasan yang tak terucapkan. Di sinilah Ariel tumbuh, dalam pelukan keluarga sederhana yang dipenuhi cinta dan kebahagiaan.
Ayahnya, Pak Sapta, seorang nelayan tangguh yang meyakini bahwa laut adalah ibu yang murah hati, memberi tanpa meminta dan menyimpan rahasia tanpa mengeluh. Setiap pagi, Ariel dengan penuh semangat membantu menyiapkan perahu, merasakan kesejukan embun yang menempel di kayu-kayu tua, sementara ibunya sibuk menyiapkan bekal dan merapikan hasil tangkapan yang akan dijual di pasar.
Ketika senja menjelang, keluarga kecil itu selalu berkumpul di tepi pantai, di bawah langit jingga yang merona. Ikan bakar yang mengepul, tawa yang mengalun, desiran angin laut yang menyapu lembut, menciptakan momen yang begitu hangat. Matahari perlahan tenggelam di cakrawala, bagaikan bola emas yang larut dalam pelukan laut. Hidup mereka memang sederhana, di antara ombak dan pasir, tetapi kebersamaan itu menjelma menjadi kekayaan yang tak ternilai.
Namun—beberapa bulan terakhir, sesuatu yang ganjil muncul di perairan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. Sebuah pagar bambu berdiri kokoh, membentang sejauh mata memandang. Seakan-akan lautan yang luas kini terkurung dalam jeruji, membatasi langkah para nelayan, merampas kebebasan yang selama ini mereka genggam.
"Ulah siapa ini, Pak?" tanya Ariel dengan nada resah, menatap pagar itu dengan perasaan tak menentu.
Pak Sapta, nelayan tua yang telah mengarungi laut selama puluhan tahun, hanya menghela napas panjang. Matanya lelah menatap hamparan air yang kini terasa asing, seakan laut yang dulu bersahabat perlahan menjauh dari mereka.
"Entahlah, Nak. Pagar ini telah menghalangi jalur kita mencari ikan. Kalau begini terus, kita bisa kelaparan," ujar Pak Sapta.
"Pagar ini panjangnya bisa puluhan kilometer, menghalangi akses kita ke wilayah tangkapan biasa," tambahnya.
Laut yang dulu adalah ibu yang penyayang, kini terasa seperti penjara raksasa. Biasanya, perahu itu dengan mudah melaju ke tengah laut untuk menangkap ikan. Tapi kini, pagar misterius itu membuat banyak nelayan harus mencari jalur lain yang lebih jauh dan berbahaya. Ada yang mencoba membongkar beberapa bagian pagar, tapi keesokan harinya, pagar itu kembali berdiri seakan tak tersentuh, seperti makhluk hidup yang mampu menyembuhkan dirinya sendiri.
Desas-desus mulai beredar di kampung. Ada yang bilang pagar itu dibuat oleh orang kaya yang ingin menguasai laut. Ada pula yang percaya bahwa itu buatan makhluk gaib yang marah karena laut sudah terlalu kotor. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa ini adalah upaya sistematis untuk membatasi nelayan kecil dan menguntungkan pihak tertentu.
Angin berbisik lirih di antara riak ombak. Laut berkilauan di bawah cahaya bulan, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Biasanya, lautan tampak luas dan tak terbatas, namun kini terasa seolah terkungkung dan menyimpan rahasia yang tak terucapkan. Ariel duduk di atas perahunya, menatap jauh ke horizon, hatinya gelisah. Sesuatu telah berubah. Sesuatu telah mengurungnya.
Malam itu, Ariel memutuskan untuk mencari tahu sendiri. Ditemani lampu kecil dan dayung di tangannya, ia mengayuh perahunya mendekati pagar. Saat perahunya semakin dekat, suara gemeretak terdengar dari bambu-bambu yang bergesekan diterpa ombak. Ia memperhatikan lebih dekat—bambu itu ditancapkan kuat ke dasar laut dan dihubungkan dengan tali yang tampaknya sengaja dirancang agar tak mudah roboh. Jantungnya berdegup lebih kencang, bulu kuduknya meremang ketika ia melihat bayangan seseorang di kejauhan, berdiri di atas pagar, seperti hantu yang mengintai dalam keheningan malam.
"Siapa itu?!" teriak Ariel.
Bayangan itu tak menjawab. Ia hanya berdiri diam, seakan mengawasi. Kabut tebal tiba-tiba menyelimuti lautan dalam kegelapan. Saat kabut perlahan menghilang, bayangan itu sudah lenyap, meninggalkan Ariel dengan lebih banyak pertanyaan. Namun, sesuatu membuat napasnya tercekat, ada jejak kaki basah di perahunya, seolah seseorang sempat menaikinya tanpa ia sadari. Ariel menatap jejak kaki itu dengan perasaan tak menentu. Jantungnya masih berdebar ketika ia mendengar suara gemericik air di kejauhan, seolah sesuatu sedang bergerak di bawah permukaan laut. Ia menyorotkan lampunya ke arah suara itu, dan sesaat, ia melihat sosok hitam berkelebat di antara gelombang. Seperti bayangan yang tak ingin tertangkap, ia menghilang sebelum Ariel bisa melihatnya lebih jelas.
Esoknya, berita tentang peristiwa semalam menyebar di kampung. Warga mulai mendesak pemerintah untuk bertindak. Setelah berbulan-bulan tanpa jawaban, akhirnya sekelompok petugas datang untuk menyelidiki. Mereka berpendapat bahwa pagar itu sengaja dibangun oleh sekelompok orang untuk membatasi akses nelayan kecil dan menguasai wilayah laut secara ilegal. Fakta lain yang terungkap, pagar seperti ini pernah ditemukan di beberapa wilayah lain dan sempat menjadi perhatian nasional.
Saat para nelayan dan petugas bergotong royong mencabut bambu-bambu yang tertancap, kejadian menegangkan pun terjadi. Pak Sapta yang tengah mencabut salah satu batang bambu di permukaan laut, tiba-tiba terhuyung. Wajahnya pucat, tubuhnya gemetar.
"A-aada yang menarik kakiku!" teriaknya panik.
Para nelayan langsung menoleh. Ariel bergegas mendekat, matanya membulat saat melihat Pak Sapta seolah ditarik sesuatu dari dalam air. Ombak bergulung-gulung kecil, namun tidak ada seorang pun yang terlihat di sekitar sana. Pak Sapta meronta-ronta, mencoba menarik kakinya dari cengkeraman tak terlihat itu. Beberapa nelayan mulai panik, dan bersiap mendekat untuk menolongnya. Namun, saat Pak Sapta akhirnya berhasil menarik kakinya dengan sekuat tenaga, tubuhnya terjengkang ke belakang. Celananya tersangkut di bambu, membuatnya terombang-ambing dalam posisi yang tidak karuan. Para nelayan menahan napas, menunggu sesuatu yang mengerikan muncul dari air. Suasana yang semula mencekam berubah seketika. Tawa pecah di antara para nelayan, saat melihat seekor gurita besar yang menempel erat di pergelangan kaki Pak Sapta.
"Pak, yang menarik kaki bapak itu bukan hantu laut, tapi gurita!" seru seorang nelayan sambil tertawa terpingkal-pingkal.
Pak Sapta yang masih terbalik berusaha melepaskan gurita yang lengket di kakinya.
"Dasar gurita kurang ajar! Hampir saja jantung saya copot!" gerutunya.
Beberapa nelayan tak kuat menahan tawa. Bahkan seorang petugas hampir tercebur ke laut karena terpingkal-pingkal melihat ekspresi Pak Sapta yang masih bergelut dengan gurita itu. Suasana yang sebelumnya tegang berubah menjadi lebih ringan.
Namun, di tengah kegembiraan itu, seorang petugas menemukan sesuatu yang mencengangkan. Di beberapa batang bambu yang sudah mulai terlepas, ada simbol aneh yang terukir rapi. Bentuknya menyerupai mata yang tengah mengawasi, dengan guratan seperti tombak di sekelilingnya. "Ini bukan sekadar pagar biasa," gumamnya.
Malamnya, Ariel keluar rumah. Ia merasa ada yang mengawasi, dari kejauhan, di tengah laut yang mulai pasang, ia bisa melihatnya. Sosok hitam berdiri di bekas lokasi pagar, menatap ke arahnya. Kali ini, jelas bahwa itu bukan sekadar bayangan.
Pagar itu memang telah dibongkar, tapi misterinya masih tertinggal. Warga Kampung Pesisir bisa kembali melaut tanpa hambatan, tapi Ariel tahu, sesuatu masih mengintai dari kejauhan. Namun, dari kejadian ini, ia dan para nelayan belajar sesuatu yang lebih berharga—bahwa keberanian dan kebersamaan adalah kunci dalam menghadapi tantangan. Mereka mulai lebih aktif memperjuangkan hak mereka sebagai nelayan tradisional, bekerja sama dengan organisasi lingkungan, dan berusaha menjaga laut agar tetap lestari.
"Laut ini bukan hanya tempat kita mencari nafkah, tetapi juga warisan untuk anak cucu kita," kata Pak Sapta. Kata-kata yang selalu diingat oleh Ariel. Kini Ariel semakin yakin bahwa ia tidak hanya bertahan hidup dari laut, tetapi juga harus menjaga dan memperjuangkannya.
Sejak saat itu, para nelayan Kampung Pesisir tidak hanya melaut untuk mencari ikan, tetapi juga menjadi penjaga laut. Mereka tak lagi hanya mengandalkan pemerintah, tetapi juga berjuang bersama agar hak mereka tidak diambil begitu saja. Pagar laut mungkin telah runtuh, tetapi semangat mereka tetap berdiri tegak, lebih kuat dari sebelumnya.
Di tengah malam, saat Ariel kembali menatap lautan dari jendela rumahnya, ia melihatnya lagi. Sosok hitam itu berdiri di tepi air, lalu perlahan menghilang di antara ombak, meninggalkan pertanyaan yang tak akan pernah sepenuhnya terjawab.