Saturday, March 8, 2025

Cerpen Lomba | Sydney Tobing | Karat dan Darah

Cerpen Sydney Tobing



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)


"Noda karat di telapak tanganmu dan darah kering di jemariku... Kita memang sepasang pendosa.”


Arnavi menyeringai lebar. Bibir biru keabuan nya merekah selayaknya luka basah. Cahaya rembulan yang sakit menyinari wajahnya membuat pucat kebiruan itu kini berubah kelabu. Rambut ikalnya yang panjang menjalar di atasa pasir, menyapu debu. Semua yang ada pada Arnavi terlihat menyeramkan dan indah, selayaknya laut yang bergemuruh.


Kubawa napasku dalam-dalam untuk memenuhi rongga paru-paru sembari menekuk lutut. Di depanku, lautan membentang selayaknya kain raksasa. Hitam pekat, bisu, dan mati rasa. Tapi di balik ilusi kosong itu, kulihat garis siluet mengerikan. Pagar laut setinggi tiga puluh meter. Pagar yang dulunya hanya berbentuk bambu.


"Benteng laut..." Aku terkekeh akan ironi. Kata-kata itu terasa pahit.


Arnavi tetap diam. Tubuhnya menyatu dengan batu karang tempatnya berada, mata Arnavi terpejam rapat dengan alisnya yang berkerut. Ku alihkan pandanganku, menatap kerak kecoklatan di telapak tangan. Campuran karat besi dan oli yang tak bisa hilang.


"Noda di tangan kita ini…" Aku menggosok telapak tanganku hingga kemerahan, berharap karat ini menghilang. "Milikmu berasal dari perlawanan, murka alam yang nyata. Sementara milikku? Hanyalah sebuah residu pengkhianatan."


Ombak menderu membanting diri ke karang, menyemburkan cairan kental sewarna karat yang menggelegak. Percikannya menyentuh kulit kami. Sepuluh tahun lalu, air di sini masih berwarna biru kehijauan. Air laut yang berkilauan ketika diterpa cahaya matahari. Kini, bahkan bau garam pun sudah terkubur di balik aroma besi berkarat.


“Manusia, sejak awal sudah seperti itu kan, Maja? Jika manusia tidak punya musuh, mereka akan menciptakannya. Mereka memerangi ras yang berbeda, mereka memerangi orang dengan kepercayaan berbeda, lalu sekarang… Memerangi alam mereka sendiri”


Aku mengangguk setuju, sedikit bernostalgia akan apa yang sudah kulewati belasan tahun kebelakang. Adalah benar apa yang dikatakan oleh Arnavi. Aku masih ingat dengan jelas,

 

dahulu pagar ini hanya berukuran sekitar 30 kilometer, membentang di sepanjang pantai utara. Ayahku merupakan nelayan yang sangat menentang hal ini. Di umurku yang masih muda dan tak mengerti apa-apa, aku melihat ayah dan ibuku bolak balik mengorganisir orang-orang untuk memprotes pagar laut sembari menyusun tuntutan agar pagar-pagar itu dilepas.


Setiap malam di rumah kami, aku, ibu, dan ayah saling berhimpit di kasur kapuk yang selalu hangat. Aku si bocah ingusan pada saat itu malu karena tak tidur di kamar terpisah. Kini, selimut butut dan kasur busuk itu justru menjadi hal paling penting dalam hidupku, mengingatkan pada usapan ibu di rambutku yang kemerahan terbakar matahari. Usapan itu selalu diawali dengan gerakan yang khas. Jari kelingkingnya mengaitkan tiga helai rambut, lalu menyisir perlahan seperti merapikan jala yang kusut. Aku merindukan sentuhan tangan ibuku.


"Rumah kita bernama laut," bisik ibu suatu malam saat badai mengamuk. Tangan ibu kembali menyapu rambutku dengan gerakkan khasnya "Laut adalah milik kita semua. Laut menyediakan makan untuk kita. Jaga baik-baik, Nak. Jangan sampai kita menjadi tuan rumah yang meracuni dapur sendiri.”


Ah… Rasanya aku sudah paham seratus persen mengapa ayahku berteriak-teriak tentang kepemilikan laut, meskipun saat itu rasanya aku masih tak paham akan hal-hal lain yang dengan tegas ayah tentang. Aku tak mengerti mengapa laut yang sebesar itu arusnya bisa berbelok dari jalur seharusnya hanya karena pagar bambu, aku juga tak mengerti mengapa ayah bersikeras jalur bagi nelayan bisa terganggu. “Padahal kan tinggal memutar saja.” Pikir ku dahulu.


Rasanya aku ingin memukul diri sendiri apabila teringat hal itu. Selesai bernostalgia, aku melemparkan kepalaku ke arah belakang, mataku terpejam rapat. Urat-urat halus di pelipis ku dapat dilihat dengan mata telanjang. Rambut yang tadinya semrawut menutupi wajah lelahku pun juga ikut terurai berantakan ke arah belakang.


“Dua puluh delapan pukulan benda tumpul, Arnavi. Dua puluh delapan, ditambah dengan leher dan punggung yang patah. Ayah mengira perlawanan bisa mengalahkan keserakahan.”

 

Napasku tercekik di antara tulang rusuk yang berderak, mataku terasa sangat panas. Air mata seakan berlomba untuk berdesakan keluar dari rongga mataku. Kumohon pada diri sendiri untuk Jangan menangis, tapi tubuhku berontak. Sakit sekali. Dadaku seakan ingin meledak, seluruh organ ku terasa berdenyut-denyut membayangkan apa yang terjadi kepada ayah sebelum meninggal. Mayatnya ditemukan mengambang di dekat pagar laut itu. Seakan menjadi peringatan bahwa siapapun yang menentang pembangunan pagar laut akan bernasib selayaknya menantang malaikat maut. Berakhir dengan pencabutan nyawa.


“Arnavi, seandainya aku yang dulu berusia delapan tahun itu sudah bisa bekerja, ibu tak akan makan nasi pemberian yang dibeli dengan darah ayah. Tapi kelaparan itu lebih kejam daripada tiran. Seandainya ayah meninggal pada saat aku sudah cukup dewasa untuk mencari pekerjaan lain dan ibu tidak tiba-tiba stroke, mungkin aku tak perlu ikut bekerja membangun pagar laut ini. Tapi semua sudah terlanjur. Ketika aku dewasa, pagarnya sudah terbangun ratusan kilometer. Aku tidak bisa melaut seperti ayahku karena pagar itu. Mau dipaksakan pun rasanya sulit karena ikan-ikan jadi sukar ditemukan. Aku menciptakan neraka, Arnavi. Aku menyusun sendiri neraka yang tidak hanya melahapku hidup-hidup, tapi juga orang lain”


Setelah mengeluh kepada Arnavi, keheningan kembali menyapa kami. Jeda antara dialog kami terisi oleh isakan-isakan pelan milikku. Wajahku berhias airmata yang aku sendiripun tidak tahu kapan mulai terjatuh.


"Manusia memang aneh," Arnavi menggeleng, memeluk kakinya sendiri sebelum menyambung ucapannya. “Ibumu dahulu berteriak-teriak untuk menolak pagar laut, tapi setelah ayahmu mati, ibumu menerima beras dari pembunuh suaminya. Kau dan ibumu makan dari tangan yang membuat ayahmu jadi mayat."


Arnavi menjeda sejenak. Angin malam membawa bau ikan mati dari kejauhan.


"Lebih aneh lagi..." Arnavi membuka mata perlahan, pupilnya membesar seperti bulan purnama. "Kau malah ikut bekerja untuk membangun pagar itu. Berkhianat pada ayahmu, laut, dan nelayan yang sama-sama kelaparan."

 

Wajahnya mendekat, memberi jarak sejengkal dari wajahku. Napasnya menyengat, tak kalah dengan kulitku yang dingin. Aku bisa lihat remang-remang insang kecil di lehernya. Tipis dan transparan seperti sayap capung.


"Kenapa, Maja?" bisiknya. Suaranya begetar. "Aku tak butuh jawaban. Tapi laut ingin tau, apakah beberapa karung beras yang didapatkan oleh kau dan ibumu sebanding dengan nyawa ayahmu?"


Aku menggigit bibir sampai berdarah. Menelan semua kepahitan dari lidah Arnavi.


Suara Arnavi semakin berat. Aroma garam dan lumut laut menyeruak darinya. "Kau pikir tak ada pilihan?" Tegasnya. "Pilihan tentu saja ada. Tapi kau mengambil yang paling enak. Jadi budak sambil tutup mata."


“Aku juga bingung, kenapa kalian manusia harus menjadikan uang sebagai sistem utama. Terpikirkan untuk menggantungkan keberlangsungan hidup pada lembaran kertas saja rasanya aneh. Kalian hidup hanya untuk mencari pekerjaan agar bisa ditukar oleh kertas yang hancur apabila diremas, lalu mati. Tidak masuk akal”


Dia menarik dirinya, wajahnya kembali dingin. "Tapi tak apa. Aku tak akan marah padamu.”


Aku rasa siapapun yang berada dalam kondisiku dan mendengarkan ocehan Arnavi akan sakit hati. Namun tidak, yang dia katakan adalah benar. Sekalipun aku dan ibu kelaparan, tidak seharusnya kami menerima bantuan dari orang yang membunuh ayah. Apabila ibu tidak terkena stroke, aku rasa ibu juga pasti akan mengatakan untuk tidak bekerja di pagar laut. Memalukan memang, menghidupi keluarga dengan merusak tempat tinggal sendiri. meracuni dapur sendiri, seperti kata ibu belasan tahun lalu. Tapi memang aku tak punya banyak pilihan. Atau mungkin ada, tapi aku yang mencari alasan.


Suara Arnavi menjadi lebih santai sekarang, mungkin karena aku yang hanya mangut-mangut mendengarkan ocehannya sambil sesekali mengelap air mataku dengan kasar.

 

"Tapi tahu apa aku? Aku hanya makhluk penjaga laut, bukan manusia. Kalian berjuang untuk hidup, aku berjuang untuk ini" Dia menunjuk ombak yang membawa sampah plastik ke kaki kami.


"Kadang aku bertanya," bisiknya "Siapa yang menaruh tugas ini di kepalaku? Tuhan yang kau sembah? Dia tak pernah menampakkan diri, tak pernah memberi perintah. Tapi di sini selalu ada bisikan laut harus selamat, bahkan jika aku hancur."


Senyumnya pahit. Gigi-gigi mutiaranya yang tajam terlihat jelas. "Tapi aku menolak mengakui diciptakan oleh Tuhan yang disembah manusia. Manusia menyembah Tuhan yang tak terlihat, tapi menghancurkan laut yang nyata. Munafik."


Aku menghela napas. Sudah biasa dengan pertanyaan-pertanyaan aneh Arnavi. Setiap kali kepalanya miring seperti burung laut kebingungan, pasti akan keluar ucapan seperti itu.


"Laut sudah lelah menyimpan mayat, Maja," ucap Arnavi, matanya menyipit menatap ombak yang menghantam karang. "Tapi hari ini, kau membantuku. Orang-orang yang meracuni laut itu... Kau bawa ke sini. Ke pantai ini." Suaranya datar, tapi jarinya yang bersisik menggenggam pasir hitam sampai berceceran.


Aku menunduk. Masih tercium bau besi dari darah orang-orang yang kubawa. Tadi malam, saat mereka sedang membuang limbah, Arnavi muncul. Aku diam. Hanya melihat.


"Terumbu karang dan ikan-ikan... Mereka bersorak," bisik Arnavi tiba-tiba. Bibirnya menyentuh telingaku, dingin seperti uap air pagi.


Dia berdiri, rambut panjangnya yang kusut tertiup angin.


"Aku rasa sudah cukup alam menahan kerusakan manusia. Kalian tidak akan pernah sadar, bahkan jika separuh dari kalian terbunuh, akan selalu ada manusia lain untuk dikorbankan demi uang kertas. Ini waktunya pembalasan, Maja. Alam akan mulai ulang semuanya. Tapi manusia…" Dia menoleh padaku, dan menatapku lekat-lekat. "Kalian tak akan ada di sana untuk melihatnya."

 

Arnavi mengangkat tangan memperlihatkan jari-jarinya yang bersisik. Dentuman rendah bergema dari dasar laut, menggetarkan pasir di bawah kaki kami. Pagar laut raksasa berderit, retakan menjalar di permukaan baja berkarat itu. Gelombang pertama menghantam, air laut naik membentuk tembok raksasa. Air kecoklatan bercampur hitam dihiasi sampah plastik dan jaring nelayan yang sudah membusuk.


Gelombang pertama menghantam dadaku dengan keras. Aku terhuyung, air garam yang bercampur oli busuk membanjiri tubuhku, menghantarkan rasa sakit menyengat pada luka di bibir yang kugigit sampai berdarah, tubuhku terpelanting. Garam membanjiri hidung, telinga, dan pori-pori. Tanpa saksi, alam dan malam bersekongkol dalam kesunyian yang kejam.


Tidak ada kesengsaraan, tidak ada perbudakan, tidak ada eksploitasi.


Akhirnya bumi bertahan hidup, menampakan keagungannya. Sementara aku? Aku mati hari ini.