Cerpen Tashbita Kamilah
| (Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)
14 September 1998
Hujan mengguyur tanah Jakarta sejak pukul 4 pagi tadi. Membasahi permukaan tanah sebuah kompleks pemakaman, dibuatnya tanah itu licin hingga mengharuskan para pelayat untuk berhati-hati saat melangkah. Helios tampaknya paham betul dengan suasana duka yang bergelayut pagi ini sampai ia enggan menampakkan dirinya. Bau petrikor menari di sekeliling hidungku. Di bayang retinaku, terlihat sebuah makam baru yang jenazahnya belum lama kusholatkan. Boleh jujur, sanubariku saat ini tak tahu harus merasa apa. Aku diam seribu bahasa di antara kerumunan pelayat dan ratusan liter air matanya. Kawanku mungkin tengah berbahagia di hari duka ini. Sang jenazah adalah mantan kekasihnya. Kawanku pamit dari tugasnya sebagai homo sapiens 4 bulan lalu. Usianya lebih panjang dari yang kukira, apalagi karibku ini penderita TBC yang menyerang pernapasannya lebih dari 5 tahun. Cukup hebat bagi seorang penderita gangguan pernapasan berat.
Awan membiarkan hujan turun lebih deras. Para pelayat kocar-kacir ke sana kemari untuk berteduh. Tak sedikit yang pamit pulang, termasuk aku. Aku dan istriku berjalan keluar dari TPU itu sambil menggenggam payung. Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri. Selepas itu, kuputuskan untuk rehat sejenak. Sialnya, teringat aku akan ucapan karibku. Ia meminta bahkan memohon agar aku membaca naskah novelnya dan melanjutkan penulisan naskah tersebut sepeninggalnya. Tadinya naskah itu kubiarkan mangkrak dan nyaris bersemayam di tempat sampah. Naskah itu berjudul “Kardinah”. Aku membaca tiap untaian kata dan kalimat yang temanku rangkai. Naskah ini rupanya berisikan perjalanan hidup kawanku-Saga sedari ia hidup diurus panti asuhan di daerah pesisir, merantau ke Jakarta dan menjadi Office Boy di berbagai tempat. Aku tersentuh membaca kisahnya, tak kusangka ia punya pengalaman hidup lebih abu-abu dari yang kukira.
Ada bagian menarik yang membuat dadaku ikut sesak saat membacanya. Yaitu tentang asmaranya dengan seorang gadis keturunan Nippon bernama Kardinah. Kardinah dan Saga ialah sesama pencinta laut dan berharap suatu saat nanti setelah keduanya wafat, mereka dapat menyatu dengan laut. Seingatku selain Saga memintaku untuk melanjutkan naskahnya ia juga meminta agar naskahnya diterbitkan. Tadinya kusangkal permintaan itu, aku mengomel dan mengatakan “Kenapa tidak kau sendiri yang melakukannya!?”, dia diam saat kubentak dan tak merespons sama sekali. Aku ingat betul kejadian itu, tepat 3 hari sebelum Saga wafat. Meskipun Saga hanyalah tukang bersih-bersih namun kecakapannya melampaui diriku yang seorang PNS. Sayangnya, nasib beruntung tidak berpihak padanya. Usai membacanya, aku berpikir bahwa naskah ini tak boleh menjadi mutiara di pinggir jalan. Aku bekerja keras demi Saga bisa dikenal melalui naskah ini.
****
14 April 1997
Ahsan bertandang dengan niat membesukku di rumah sakit. Kira-kira sudah sebulan lebih aku cuma terlentang di penjara penyakitan ini setelah operasi panjang. Yang ada di pikiranku bukanlah kesembuhan melainkan gajiku. Sudahlah tidak seberapa, dipotong pula karena aku tidak masuk kerja selama 2 bulan lamanya. Rugi bandar. Tak apa, toh dokter bilang hidupku tak bertahan lama. Buat apa harta banyak-banyak? Aku tak punya siapapun. Orang tua? Istri? Anak?
Tidak punya
Bakteri Tuberkulosis ini sudah menggerogoti paru-paruku. Menjadikanku sosok monster ceking kurang gizi yang kepayahan bernapas dalam 5 tahun terakhir. TBC ini timbul pun karena salahku pula yang merokok sejak awal SMA. Ahsan dan istrinya tiba di kamarku. Kami berdialog dan bersenda gurau. Ini sungguh mengurangi kebosanan yang terselubung di penjuru daerah isolasi ini. Aku dibawakan buah-buahan segar dan sayur lodeh. Kusuapkan lodeh itu ke mulutku. Teks proklamasi kemerdekaan seolah baru dibacakan. Begitulah enaknya lodeh ini di mulutku. Tak macam masakan rumah penjagal ini. Selalu saja rasa bom radioaktif Hiroshima dan Nagasaki.
Keji
Ahsan bilang ia juga ingin mengenalkan istrinya padaku. Ia bercerita kalau ia dan istrinya bertemu di Kota Tua. Aku ikut senang mendengarnya. Bagaimana dengan diriku? Sudah penyakitan, miskin pula. Nisa mana pun tentunya ogah dipinang olehku. Tak disangka waktu membesuk telah habis dan mereka berpamit pulang. Kesepian menggantikan kehadiran Ahsan dan istrinya. Aku menantikan lagi kedatangan Ahsan dan istrinya.
21 April 1997
Aku berjalan untuk kembali ke kontrakan bobrokku di Jagakarsa pasca dinyatakan membaik oleh dokter. Diantara rumah-rumah mewah yang berdiri menghiasi jalan tentulah terdapat gang kecil kumuh nan busuk. Gajiku sebagai Office Boy tidak cukup untuk menyewa tempat yang lebih layak dibanding tempat tinggalku sekarang. Apalagi setelah banyak potongan gaji. Nasi sudah jadi bubur memang. Padahal pengurus panti asuhan dulu mengatakan padaku kalau aku punya masa depan cerah di Jakarta. Mungkin inilah yang ia maksud : bekerja di ibukota dan mendapat gaji yang cukup setidaknya untuk sendiri, bekerja di kedinasan namun belum tentu pekerjaan dan jabatannya sesuai dengan yang diharapkan. Ya, aku memang bekerja di kedinasan, kantor PNS tepatnya. Bukan sebagai pegawainya, melainkan OB. Disuruh ini itu pun aku sudah biasa. Tak bisa kuterka dokter elok yang bikin hatiku tertawan olehnya menaruh perasaan serupa padaku. Kami akhirnya menjadi dekat. Kardinah namanya, dara turunan bangsa Nisei pencetus romusha. Acap kali ia menyambangiku kala tengah bekerja sambil menenteng lodeh buatannya. Pertanyaan yang kerap ia tanyakan padaku, “Bagaimana rasanya jadi anak di pesisir?, saya ingin merasakannya pula”
Kujawab “Ya, saya bersyukur pernah jadi anak pesisir yang terbawa sampai ibukota. Kalau tidak begitu macam mana saya bertemu awak?”, Kardinah tertumbuk pandangan tersipu malu dengan jawabanku. Kami sering berbincang bersama dan lama kelamaan asmara yang kami pupuk kian tumbuh.
Mungkin setahun lamanya kami dekat . Suatu hari lepas bekerja namaku diteriakkan oleh seorang rentenir di depan kontrakanku, aku belum mengembalikan hutangku padanya. Ia membawa 2 anak buahnya yang kekar macam anjing buldog yang siap menghajarku. Kuputuskan untuk putar balik. Aku lalu menelepon Kardinah melalui telepon umum. Aku ingin berjumpa dengannya sebagai peralihan kepanikanku. Kami lalu bersemuka di taman kota dan mengobrol tentang laut. Aku beruntung dipertemukan dengan wanita seperti Kardinah yang menerimaku apa adanya. Saat tengah asyik bersenda gurau Kardinah dengan lesu mengatakan padaku kalau ia dilamar oleh seorang Nakoda. Ia meremas jaketnya sendiri dan bilang andai kata kami masih bisa bersama dengan menolak lamaran nakhoda tersebut. Kusangkal ide Kardinah, saat itu pun kukatakan padanya untuk berfokus pada lamaran nakhoda tersebut, bukan padaku. Kardinah marah dan membentakku “Bukankah dirimu telah berjanji jika kita bisa bersama, saya bisa mengusahakan itu, Saga!.” .
“Awak perlu tahu kalau ini bukan seperti laut. Ada pagar tinggi nan besar yang membatasi saya, saya tak mungkin melampauinya. Sedang nakhoda itulah yang benar layaknya laut tak berpagar,” begitulah jawabku. Ingin kujambak mulutku sendiri saat itu setelah melihat Kardinah menangis cua. Kutinggalkan Kardinah di taman itu dan pulang ke kontrakanku.
9 Mei 1998
Aku menyinggahi kediaman Ahsan sekadar bercerita kepadanya tentang kejadian minggu lalu. Ahsan hanya menghela napas. Dia bilang aku telah membuang mutiara dari laut dalam ke jalan raya. “Kau tampak tak sehat, apa TBC-mu semakin teruk?”, tanya Ahsan khawatir. Kujelaskan bahwa aku pindah berobat ke rumah sakit lain. Dokter spesialis di rumah sakit itu mengatakan hidupku betulan sebentar lagi, perkiraan usiaku hanya sampai bulan ini. Batuk darah kini menghiasi masker yang kupakai. Tak lagi ada operasi yang dapat menyembuhkanku. Ahsan terdiam mendengar eksplanasiku.
“Buatlah dirimu betulan bahagia bulan ini”, begitulah katanya.
Aku lalu pulang ke rumah dan menulis naskah ini lagi. Perasaanku berkata, ini mungkin yang terakhir kalinya. Hingga keesokan harinya kuserahkan naskah ini pada Ahsan. Ahsan menolak dan mengomeliku. Tak apa, aku ikhlas dan senang bisa mendengar sobat karibku mengomeliku sebelum aku mati. Sejuta maaf ingin kusampaikan pada si ayu Kardinah, andai kata aku adalah si nakhoda itu. Pasti Kardinah bahagia di tanganku. Cerita tentang laut tak berpagar di benak kami boleh jadi nyata. Labuan Bajo, Raja Ampat, pantai Anyer, pantai Segara Ayu bahkan indahnya Maladewa bisa diraih kalau hidupku adalah si nakhoda. Wahai Kardinah, berbahagialah.
***
Begitulah kutipan bagian favoritku dalam naskah Saga. Saga sendiri berarti laut. Saga betulan menepati janjinya soal dirinya akan menyatu dengan laut tak berpagar. Pada 14 Mei 1998, seorang rentenir menghampiri kediamannya, Saga lalu membayar hutangnya. Entah dendam mengerikan macam apa yang dipunyai si rentenir, ia menganiaya Saga habis-habisan. Saga berlari tunggang langgang dalam keadaan setengah nyawa. Ia diboyong oleh rentenir itu dan diceburkan ke laut. Pada hari yang sama pula, adik Kardinah ikut mati terbakar di pusat perbelanjaan karena amukan massa. Kukatakan pada Kardinah bahwa Saga telah mati diceburkan ke laut. Mungkin inilah yang membuat Kardinah sempoyongan selama 4 bulan terakhir hingga jatuh sakit dan wafat 3 hari sebelum pernikahannya dengan si nakoda.
14 Mei 2001
Novel berjudul “Kardinah: Laut Tak Berpagar” terbit pada 2001. Buku ini cukup laris di pasaran. Aku dari dulu percaya dengan kecerdasannya, Saga pasti bisa dikenal. Seumpama Allah menakdirkan Saga untuk hidup lebih lama, ia bakal diwawancarai berjibun awak media. Sampai sekarang, aku tengah bertanya-tanya pasal nasib Saga dan Kardinah. Bisakah mereka sekarang ada di dalam tiram dan mencorakkan 2 mutiara di laut Maladewa impian mereka.
Tidak ada yang tahu.