Thursday, March 13, 2025

Cerpen Lomba | Teresia Cahyani Lantur | Jejak yang Tak Hilang

Cerpen Teresia Cahyani Lantur



(Disclaimer: Redaksi NGEWIYAK tidak mengubah/mengedit isi naskah lomba)  


Siang itu, ruang rapat Biara Santa Teresa dari Kalkuta terasa lebih sunyi dari biasanya. Beberapa suster duduk mengelilingi meja kayu panjang, berkas-berkas laporan keuangan terbuka di hadapan mereka. Suster Helen, selaku pemimpin biara, menatap angka-angka dalam laporan sebelum akhirnya mengangkat wajah.


“Saya telah menerima laporan keuangan biara dari bagian keuangan. Berdasarkan data yang saya peroleh, pemasukan kita tahun ini cukup meningkatkan drastis dibandingkan tahun sebelumnya” ucap Helen. “Seperti yang kita tahu, ini semua tidak terlepas dari banyak sekolah yang menyewa tempat di biara ini untuk retret dan kegiatan keagamaan lainnya.” Terangnya. Beberapa suster yang turut hadir di rapat tersebut mengangguk setuju.


“Jumlahnya meningkat cukup signifikan dibandingkan tahun lalu,” lanjut Suster Maria. “Syukurlah, itu berarti semakin banyak orang yang mempercayakan biara kita untuk pembinaan rohani.”


Suster Helen tersenyum tipis. “Benar. Dan karena dana yang kita miliki mencukupi, saya ingin mengusulkan sesuatu. Tahun ini, pimpinan pusat memilih Suster Ermel untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Saya ingin kita menggunakan sebagian dari dana ini untuk membiayai studinya.”


Hening sejenak. Beberapa suster tampak terkejut, sementara yang lain tampak mempertimbangkan usulan tersebut.


“Suster Ermel?” ulang Suster Agnes, sedikit ragu.


Helen mengangguk. “Saya tahu ini mungkin terdengar mendadak, tapi kita semua tahu bahwa sebelum berada di biara, Ermel bercita-cita menjadi dokter. Saya ingin memberinya kesempatan untuk mengejar impiannya yang tertunda.”


Suster Maria mengangguk setuju. “Saya rasa itu ide yang baik. Ermel memang memiliki kemampuan dan semangat yang besar di bidang itu.”


“Kalau begitu, kita sepakati bahwa dana ini akan dialokasikan untuk pendidikannya,” ujar Helen.


Para suster mengangguk, menyetujui keputusan tersebut.


Sebelum rapat berakhir, Suster Maria menambahkan dengan nada hati-hati, “Tapi mengingat jumlah dana yang kita miliki cukup besar, kita harus memastikan keamanannya. Kasus pencurian di beberapa biara lain meningkat belakangan ini. Kita tidak boleh lengah.”


Suster Ella, yang sejak tadi diam, tertawa kecil. “Ah, Suster Maria, ini biara. Siapa yang akan mencuri di tempat suci seperti ini? Tidak mungkin ada yang berani melakukannya.”


Beberapa suster saling pandang, sementara Helen hanya tersenyum tipis, seolah tidak ingin berdebat.


“Bagaimanapun juga, lebih baik berhati-hati,” ujarnya akhirnya. “Kita akan memastikan uang itu disimpan dengan aman."


______


Sore itu Ermel sedang menyiram tanaman di taman biara. Ia nampak tengah bersenandung ria sembari menyiram dan mencabuti rumput liat yang berada di sekitaran taman. 


"Suster Ermel, suster dipanggil oleh Suster Helen. Beliau sudah menunggu di ruangannya." Beritahu suster Ella pada Ermel.


Ermel mengangguk, meletakkan peralatannya, lalu bergegas menuju ruang pemimpin biara.


"Permisi, Suster Helen. Suster mencari saya?"


Helen tersenyum tipis. "Duduklah dulu."


Ermel menatap penuh tanya ketika Helen menyerahkan sebuah amplop coklat kepadanya.


"Ini surat dari pimpinan biara di Italia. Tahun ini, mereka memilih suster untuk mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan," ujar Helen. "Saya tahu betapa besar impian suster Ermel dulu untuk menjadi seorang dokter. Saya rasa ini bisa menjadi jalan untuk kembali mengejarnya."


Ermel menatap amplop itu dengan kebingungan.


"Suster Helen," ucapnya lirih, "umur saya sudah tidak memungkinkan lagi untuk mewujudkan mimpi itu. Dan… saya berada di sini bukan tanpa alasan."


Helen menghela napas. "Saya paham kekhawatiran itu. Tapi apakah suster yakin tidak ingin mempertimbangkannya? Bukankah suster percaya bahwa yang terjadi di masa lalu adalah kehendak Tuhan? Bukan kesalahan siapapun bahkan suster Ermel sendiri."


Ermel terdiam.


"Pikirkanlah baik-baik. Pimpinan meminta jawaban dalam seminggu. Besar harapan saya, suster mau mengambil kesempatan ini." lanjut Helen. Lalu, dengan suara lebih pelan, ia menyerahkan satu amplop lain. "Ini dari ibumu."


Ermel menatap surat itu lama. Tanpa berkata apa-apa, ia bangkit dan berpamitan.


___


Malam itu, di dalam kamarnya, Ermel menatap surat dari ibunya. Tangannya gemetar saat membukanya.


Halo dokter Ermel. 


Ah, maaf, Suster Ermel maksudku.


Sepertinya aku tak perlu berbasa-basi yah. Aku juga merasa, aku tak perlu mengingatkanmu kembali tentang penyebab dari semua kekacauan dalam hidupku selama beberapa tahun terakhir ini. Ermel, tidakkah ada secuil rasa bersalah dalam dirimu? Tidakkah kamu berpikir untuk bertanggung jawab? Bertanggung jawab untuk semua kesialan yang menimpa aku dan adikmu. Kesialan yang harusnya bukan menjadi tanggunganku, melainkan kamu, yang sudah menyebabkan kesialan itu datang. Kamu dengan segala ambisi tak jelasmu itu. Kamu dan keinginanmu menjadi dokter itulah yang menyebabkan ayahmu meninggal. KAMU PEMBUNUH! Camkan itu.


Ermel menarik napas panjang. Isi surat itu tidak jauh berbeda dari surat-surat sebelumnya—penuh amarah dan tuntutan. Ia lelah. Ditaruhnya surat itu di meja, lalu ia merebahkan diri, menatap langit-langit kamar dengan perasaan berat. Penyesalan itu kembali menyelimuti Ermel. Memori indahnya bersama sang ayah, kembali memenuhi Ermel. Sungguh ia merasa sangat lelah. kapan ia berhenti menunggu semua rasa sesal ini. Jejak itu tak pernah mau hilang, terus menghantuinya.

___


Pagi harinya, Ermel terdasar dari tidurnya kala cahaya matahari mulai menunjukkan intensitasnya. Setelah merasa siap memulai hari, Ermel lalu bergegas menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat mendapati sesuatu yang aneh dan cukup menarik perhatiannya. Di atas nakas kamarnya, ada beberapa lilin yang menyala juga foto dirinya. Ermel terdiam. Ia tidak pernah meletakkan fotonya di kamar ini. Jantungnya berdegup kencang.


“Siapa yang menaruh ini?” gumamnya pelan.


Belum sempat berpikir lebih jauh, kehadiran Suster Helen secara tiba-tiba dan kini sudah berdiri di ambang pintu mengalihkan pikirannya. Memandang heran pada ekspresi pimpinannya itu yang lebih serius dari biasanya.


“Suster Ermel, bisa ikut saya sebentar,” ujarnya tanpa banyak penjelasan.


Tanpa bertanya, Ermel mengikuti langkahnya.


Semakin lama, langkah mereka membawanya ke tempat yang membuat tubuhnya menegang—kuburan biara.


Dari kejauhan, ia melihat ibunya dan adiknya duduk di depan sebuah pusara.


Semakin dekat, semakin jelas tulisan yang terukir di batu nisan itu.


“Ermelia Prasasti.”


Ermel terdiam. Suara di sekitarnya memudar. Jari-jarinya gemetar.


“Apa… yang sebenarnya terjadi?” bisiknya, tapi tak ada yang menjawab.


Di kejauhan, ibunya masih duduk diam di depan nisan itu, menunduk dalam duka yang begitu nyata.


Langit mendadak terasa lebih berat.


Sebelum Ermel sempat memproses semuanya, Helen kembali berbicara dengan nada tenang.


“Dua orang pelaku perampokan sudah ditangkap,” ucapnya. “Namun, dari dua orang itu, mereka tidak terbukti melakukan tindakan lain selain pencurian. Masih ada satu orang yang belum ditemukan. Seseorang yang diduga terlibat lebih dalam.”


Ermel merasakan sesuatu yang dingin merayap di punggungnya. Ia ingin bertanya, ingin memahami semuanya, tapi suaranya seakan menguap di udara.


Di depan sana, ibunya tetap diam. Angin berembus lembut, membawa keheningan yang menggantung, membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab tetap bergelayut di udara.